Tampilkan postingan dengan label Opini dan Resensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini dan Resensi. Tampilkan semua postingan

Of Mice and Men (sinopsis dan transkrip)

 


  (Jika video tidak tampil, silakan klik  https://youtu.be/ueKMM1EY__0 )

 

Halo Sobat buku. Kali ini saya akan membahas sedikit tentang Of Mice and Men karya John Steinbeck.


Sinopsis

Di sebuah kolam George dan Lennie berhenti. Mereka dalam perjalanan menuju sebuah pertanian. Kedua pria ini sangat berbeda dari segi penampilan karena George bertubuh lebih kecil daripada Lennie. Namun, dia sangat pintar, sementara Lennie memiliki disabilitas mental. Sambil beristirahat, George mengingatkan Lennie jika terlibat masalah, Lennie harus kembali ke kolam ini dan menunggu dirinya. Selanjutnya mereka berbincang tentang impian memiliki pertanian atau peternakan sendiri.

Di hari berikutnya mereka tiba di peternakan yang dijalankan oleh Curley tua dan anaknya, Curley muda. Agar diterima, George berbohong bahwa dia dan Lennie bersaudara. Mereka kemudian bertemu pekerja lain yaitu Candy dan Slim.

Istri Curley muda di waktu berbeda menemui George dan Lennie. Karena kelihatan genit, George meminta Lennie menghindarinya. 

Ketika ngobrol dengan Slim, George mengaku sebenarnya dia dan Lennie bukan saudara, tetapi teman. Mereka harus pindah dari pekerjaan sebelumnya karena Lennie dituduh memperkosa seorang perempuan. Sebenarnya Lennie hanya ingin menyentuh baju lembut yang dipakai perempuan itu. Dia memang menyukai segala benda yang lembut. 

Di waktu lain, Candy tidak sengaja mendengar obrolan tentang peternakan impian George dan Lennie. Dia pun bergabung dan mereka berjanji akan merahasiakannya. 

Di lain hari ketika para pekerja diperbolehkan bepergian, Lennie tidak sengaja membunuh anak anjing pemberian Slim. Lennie memang sulit mengontrol tenaganya sehingga sudah berkali-kali membunuh kelinci dan tikus peliharaannya. Tanpa dia sadari, istri Curley masuk dan mencoba berbincang. Mengetahui kecelakaan itu, dia mencoba menghibur Lennie. 

Dia mengakui hidupnya dengan Curley mengecewakan dan sebenarnya ingin jadi bintang film. Lennie mengakui suka mengelus benda-benda yang lembut.  Jadi, perempuan itu menawarkan Lennie untuk menyentuh rambutnya. Lennie menariknya terlalu keras dan menyebabkan istri Curley panik. Karena Lennie ikut panik, dia membekap dan membuat perempuan itu tewas. Sadar dirinya membuat masalah, Lennie lari ke kolam.

Tak lama kemudian, para pekerja kembali. Curley muda sangat marah mengetahui istrinya tewas dan merancang pencarian. George dilibatkan. Namun, dia berhasil sampai di kolam sebelum rombongan Curley tiba. Di sana dia bertemu Lennie. Mereka berbicara tentang impian mereka lagi. Namun, diam-diam George mengarahkan pistol dan menembak Lennie. 


Analisis

Novela karya John Steinbeck ini pertama kali terbit tahun 1937 yang kemudian dianggap sebagai buku kontroversial  karena dituduh penuh kekerasan, kata-kata kasar, vulgar, dan antibisnis. Sekurang-kurangnya buku tipis ini telah 54 kali diajukan untuk disensor. Ceritanya sendiri berlatar Amerika di masa Depresi Besar, tepatnya di California, yang sarat pekerja migran pertanian.

 

Tema

“Orang-orang seperti kita, yang bekerja di peternakan, adalah orang-orang paling kesepian di dunia.” -- George (halaman 23)

Kesepian adalah tema utamanya. Kehidupan pekerja migran biasanya jauh dari perkotaan dan terisolasi. Slim, istri Curley, Candy, mereka mengaku kesepian.

Kedua tentang impian. George, Lennie, Candy, Slim, istri Curley memiliki impian masing-masing yang gagal ataupun mustahil. 

Ketiga, masalah Kekuasaan. Sebagai anak pemilik peternakan, Curley muda sangat arogan.  

Keempat, setiap orang predator bagi orang lain. Lennie membunuh istri Curley. George membunuh Lennie. Curley junior mati-matian mau membunuh Lennie. Ini semua menunjukkan bagaimana sifat alami manusia baik karena situasi, justifikasi, maupun keadilan.

Tema lainnya adalah tentang kentalnya  persaudaraan para pria yang digambarkan oleh George dan Lennie. 

 

Penokohan

Menurut saya, dinamika hubungan George dan Lennie sangat menarik. Dialog di antara mereka sering menggunakan kalimat yang diulang-ulang dan ini sebenarnya permainan kata yang menarik. Selain itu dialog mereka umumnya pendek-pendek. Ini tentu agar Lennie lebih memahami pembicaraan.

Tokoh lain yang menurut saya menarik adalah istri Curley muda. Tokoh ini seolah-olah perayu dan tak punya otak. Padahal hidupnya penuh sandiwara dan sebenarnya cerdas. 


Dilema moral

“Lepaskan topimu, Lennie. Anginnya sejuk.” -- George (halaman 140)

Tragedi cerita ini terletak pada bagaimana George membunuh Lennie. Ini bukan karena George ingin, tetapi karena situasinya. Daripada Lennie dibunuh geng Curley muda, lebih baik dia yang membunuh tanpa membuat Lennie kesakitan. 

Tapi, apakah secara moral ini benar? Tentu pembacalah yang harus memutuskan. 


Protes

Of Mice and Men merupakan protes sosial terhadap ketidakadilan yang diterima kelas pekerja dan orang-orang yang tidak punya kekuasaan ekonomi. Lennie dan George mewakili mereka, sementara Curley tua dan muda mewakili kapitalisme. 

Jadi, mengapa kamu perlu membaca buku ini?

Hal pertama yang menarik dari buku ini adalah tokoh-tokohnya yang realistis. Semasa remaja Steinbeck yang memang tinggal di California, sering membantu di peternakan sehingga dia memahami betul kehidupan kelas pekerja. Selain itu tokoh-tokohnya juga tidak sempurna. Hal ini semakin mendekatkan cerita pada realitas. 

Karena bentuknya novela, buku ini hanya terdiri dari sekitar 30.000 kata dalam bahasa Inggris. Versi terbitan Indonesia hanya terdiri dari 143 halaman. Gak tebal, kan?

Of Mice and Men memicu penulis lain untuk menulis novel protes sosial. Gerakan sastra ini mempunyai pengaruh yang cukup penting pada masa tersebut. Dan sampai sekarang, novela dan novel yang mengandung protes sosial tetap ditulis oleh sastrawan dan dramawan.

Setelah terbit sebagai buku, Steinbeck kemudian mengadaptasikannya sebagai drama tiga babak pada tahun 1937. 

Demikianlah sinopsis dan analisis Of Mice and Men. Selamat membaca dan sampai bertemu pada analisis lainnya.


Narasumber:

https://www.youtube.com/watch?v=BQtiStdDaYw

https://www.sparknotes.com/lit/micemen/summary/

Britannica, The Editors of Encyclopaedia. "Of Mice and Men". Encyclopedia Britannica, Invalid Date,
https://www.britannica.com/topic/Of-Mice-and-Men-by-Steinbeck. Accessed 20 August 2021

SparkNotes Editors. “SparkNotes: Of Mice and Men.” SparkNotes.com, SparkNotes LLC, 2005,
https://www.sparknotes.com/lit/micemen

Wikipedia. "Of Mice and Men"
https://en.wikipedia.org/wiki/Of_Mice_and_Men#Themes

Mengapa Kamu Perlu Menonton Film Independen



Salah satu cara mendapat ide-ide cerita menarik dan seksi adalah menonton film independen. Terutama, cari film pendek. Film pendek independen punya taruhan yang besar: karena pendek, efeknya buat penonton harus besar. Semakin pendek durasinya, semakin besar impact yang harus dirasakan penonton.

Kedua, film independen menawarkan cerita dan tema yang biasanya lebih masuk akal ketimbang Hollywood. Prinsipnya, Hollywood itu jual mimpi Amerika. Jadi, yang dibutuhkan adalah tampilan 'prop' yang megah, baik fisik maupun digital. Itu sebabnya film-film Hollywood kebanyakan berasa artifisial. Hanya sedikit penulis/sutradara Hollywood yang punya idealisme.


Kalau kukuh maunya film Hollywood, tontonlah film keluaran tahun 70-an. Film di era ini ceritanya cerdas. Apalagi ada geng 5 sutradara pemberontak yang mengobrak-abrik gaya Hollywood saat itu (Coppola, Lucas, Scorsese, Spielberg, dan De Palma). Kubrick dan Woody Allen bukan gengnya mereka, tapi termasuk yang berpengaruh besar. Contoh film pada era ini: Taxi Driver, The Deer Hunter, The Godfather, Apocalypse Now, Kramer vs. Kramer, Rocky, Network, Annie Hall, dan The Sting.


Sutradara film Hollywood yang cukup seksi, sporadis tersebar di era 90 sampai pertengahan 2000. Sebut saja Spike Jonze, Spike Lee, Quentin Tarantino, dan Sofia Coppola. Jujur nih, 10 tahun terakhir saya tidak merasa ada yang sungguh wow dan hanya 1 sutradara yang menarik perhatian saya: Jordan Peele. Empat sutradara ini punya gaya dan visi yang jelas. Film-film mereka punya rasa film indie.


Film indie menawarkan hal yang sama: visi dan gaya. Bedanya, biasanya dari segi dana lebih kecil. Dan inilah kenapa film independen menarik: keterbatasan membuat orang jadi kreatif. 


Film (dan cerita yang bagus) bukan karena efek yang wah. Yang minimalis sering kali lebih punya efek wah.


Beberapa film indie yang tergolong pendek bisa ditonton di Youtube. Film-film yang saya rekomendasikan ini memiliki plot twist, alur, warna, simbolisme yang menarik. Berikut 5 di antaranya:

1. The English Teacher

Cerita tentang guru bahasa Inggris yang mengajar orang asing. Ending yang sangat menarik.


2. The Silent Child (Pemenang Oscar)

Menceritakan tentang sebuah keluarga yang anak bungsunya tunawicara dan tidak mendapatkan pendidikan dan perhatian yang layak


Dua orang yang tak saling kenal bertemu beberapa kali dengan takdir yang tak terduga.

4. Coin Operated (animasi)
Biar durasinya pendek, film anak-anak ini sangat menarik.

5. Snack Attack (animasi)
Berdurasi pendek, film ini menceritakan bagaimana seorang nenek marah pada anak punk yang memakan biskuitnya. Namun, apa hanya itu masalahnya?

Kelemahan Novel Online Masa Kini

 


 Tulisan ini merupakan opini saya dari sebuah pertanyaan di Quora tentang kelemahan novel Indonesia di Wattpad atau media lainnya. Sebagai kenang-kenangan dan arsip, jawaban saya atas sebuah pertanyaan akan saya pos di blog.

Saya tambahkan dari yang sudah ada:

  1. Pengarang jumawa yang kalau dikritik bisa ngamuk atau fans-nya (saya lebih suka menyebut 'dayang-dayang') yang maju perang. "Pokoknya cerita saya sudah sempurna" atau malah defensif: "Kan, saya masih pemula". Kritik masih dianggap tabu dan menjatuhkan. 
  2. Kemampuan berpikir kreatif yang masih anjlok. Cerita satu pengarang mirip-mirip dengan yang lain, serasa baca fotokopian. Apa yang lagi tren ditiru. Yang penting instan terkenal. Akhirnya cerita biasa saja.
  3. Karena mengharap yang serba instan, isi bukan prioritas. Tulisan berantakan, PUEBI nol, logika jongkok tidak mengapa. Yang penting dibaca 15 juta kali.
  4. Usia 13 - 15 tahun sudah jago bikin cerita selengkengen. Bahkan tidak malu-malu bikin promo di grup-grup di FB. Namanya cerita selengkengan ya jangan harap ada kualitasnya. Itu pun saya dengar banyak diterbitkan oleh penerbitan, meski bagian lendirannya dibuang.
  5. Untuk yang sudah berumur sama saja, nulis cerita selengkengan berbalut malam pertama, pelakoran, perkosaan, inses, dan sejenisnya. Ini biasanya di grup emak-emak menulis.
  6. Cerita superklise yang dimulai dengan bangun tidur, hari pertama sekolah, tabrakan terus jadi suka. Atau super-salah kaprah seperti psikopat bucin, CEO yang kerjanya cuma ngurusin sekretarisnya (gak jelas perusahaannya di bidang apa, tidak pernah ada jargon ekonomi, yang penting perutnya ada 12 roti deret).
  7. Selera pembaca yang ingin cerita yang ringan, bahkan pernah saya lihat meminta cerita minim (atau bahkan tanpa) konflik. Jadi tidak ada bedanya dengan sinetron televisi dengan target penonton gak mau mikir dan bisa sambil menyetrika.

Dengan tren dan keinginan seperti di atas, ya jangan mengharap cerita di Wattpad (dan beberapa aplikasi yang terkenal dengan iklan berbau perlendiran) bagus. Ini berbeda dengan sistem di Storial, Kwikku, atau Cabaca yang memang didampingi editor (beneran). Tidak adanya kontrol membuat orang bebas menulis apa saja dan karena budaya instan, jauh lebih penting eksistensi ketimbang kualitas. Plus ketidakbolehan untuk dikritik membuat pengarang hidup dalam tempurungnya.

 

Itu jawaban saya yang hanya melengkapi jawaban-jawaban yang sudah masuk. Saya tidak bilang cerita di Wattpad jelek semua. Namun, inilah wajah mayoritas kualitas tulisan di Wattpad: tema seragam, isi fotokopian, ketidakmampuan berpikir logis dan kreatif, mengutamakan eksistensi sehingga urusan moral (dan hukum) nanti saja dipikirkan. Yang penting dibaca 15 juta kali, kan?

Punya opini sendiri? Boleh tulis di kolom komentar.

Per-bully-an: Antara Fiksi dan Fakta

 


Beberapa bulan yang lalu saya mengadakan riset kecil-kecilan tentang bully (perundungan) sebagai stereotip dalam cerita remaja. Dari situ saya mendapat banyak masukan. Ketimbang menjawab dari sisi fiksi, lebih banyak yang cerita bagaimana perundungan yang terjadi di sekitar responden. 

Untuk memudahkan, saya akan bagi pembahasannya jadi dua bagian. Dari segi fiksi dan fakta lapangan.

Fiksi

Meski kebanyakan cerita fiksi terbit profesional, banyak remaja yang sekarang menulis cerita di platform seperti Wattpad. Komunitas yang menjadi sasaran tanya saya juga komunitas penulis dan pembaca Wattpad (Forum Wattpader Indonesia) dengan respon dari usia remaja hingga dewasa. 

Dari tanggapan mereka, rasanya kebanyakan cerita remaja menggambarkan perundungan dilakukan oleh 
-remaja yang cantik atau ganteng
-populer dan atau kaya
-biasanya tidak sendirian, memiliki geng.
-di dalam geng itu biasanya si 'bos' yang aktif merundung. Yang lain ikut-ikutan.
-bad boy atau bad girl, tetapi tidak sesuai dengan definisi bad boy yang sebenarnya.
-anak donatur sekolah atau anak pejabat
-ada pembaca yang merasa bahwa tokoh perundung dihadirkan hanya demi membuat konflik dan agar pembaca bersimpati pada tokoh yang dirundung
-bertubuh kekar (cowok)
-perundung cewek cenderung ke body shaming
-pelaku orang yang cerdas (misalnya juara olimpiade matematika) 
-queen bee dan atau pintar dandan
-pelaku adalah kakak kelas (cewek atau cowok) 

Saya rasa, tanggapan dari Dian Fajarianto perlu saya kutip di sini:
"Taktik bully-annya banyak sih. Tapi secara garis besar ada yang main fisik, main verbal, dan make trik psikologis (mengucilkan, nge-prank, ngejebak, dan apa pun yang bisa menghancurkan harga diri korban). Pem-bully cowok biasanya suka main fisik/kekerasan. Tipe yang sering dipake itu Jerk Jock (anak tim olahraga yang songongnya bukan main, apalagi mereka punya keunggulan fisik dibanding tokoh lain).

"Pem-bully cewek biasanya pake taktik verbal. Ngata-ngatain, bikin target merasa bersalah meski nggak tau salahnya apa, dan menjelek-jelekkan apa pun dalam diri korban yang tak disukai pelaku. 

"Kedua tipe pem-bully itu, kalo populer, juga bisa pake taktik psikologis nonverbal kayak menghasut orang banyak buat mengucilkan korban, atau bikin korban nggak nyaman di kelas/sekolah (gaslighting). Taktik ini yang paling berbahaya sebenarnya. Karena susah membuktikannya daripada bullying fisik dan verbal (fisik bisa aja ada bekasnya, ucapan bisa direkam atau screenshot, kalo itu cyberbullying). Parahnya kalo orang-orang udah merasionalisasikan tindakan mereka dan berpikir bahwa pelaku memang benar, menganggap korban pantas di-bully, bahkan orang yang gak ada kaitannya pun bisa ikut nge-bully.

"Karena ketiadaan bukti itu, biasanya guru/ortu lepas tangan dan menganggap, "Ah, cuma candaan biasa". Perlu kepekaan memang, tapi orang yang peka bakal dicap baperan, gak ngerti lelucon, dan bisa jadi korban berikutnya. Gitu aja terus sampai tau-tau ada yang wafat."

 

Fakta

Sedikit terkejut saya mendapati bahwa di dunia nyata, perundungan masih mirip-mirip dengan versi buku, tetapi variannya lebih luas.
-remaja cantik atau ganteng, tetapi bisa juga dilakukan oleh mereka yang tampangnya biasa saja
-merasa cantik atau ganteng, merasa populer, termasuk merasa pintar, kaya, dll.
-populer atau kaya tidak selalu jadi patokan. Sering juga pelaku adalah dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Yang kaya jadi korban palakan dan yang miskin dirundung secara fisik.
-tergantung situasinya, perundung bisa saja sendirian atau berkelompok. Kadang di dalam kelompok itu ada kelompok yang lebih kecil lagi.
-sindir-menyindir dan bersikap dramatis (cewek)
-tidak tertutup kemungkinan bahwa pelaku anak yang pintar dan berprestasi. 
-pelaku bisa jadi kakak kelas.
-bentuk perundungan bisa fisik maupun verbal.
-memiliki benda tertentu (misalnya motor) sehingga merasa hebat
-orang atau kelompok yang dianggap berbeda dianggap sebagai musuh.

Menyikapi

Cukup menarik bahwa fiksi dan fakta sepertinya saling silang. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya sendiri: apakah ini bentuk life imitates art atau art imitates life?

Hal yang tadinya saya anggap fiksi yang bombastis, ternyata ada dalam dunia nyata. Kalau saya pikir-pikir, banyak memang, kasus perundungan fisik yang mengerikan di dunia nyata. Tidak sedikit korban perundungan yang tewas akibat kekerasan tersebut. Begitu pun dampak psikis kepada korban, yang jika terlalu dalam sakitnya, bisa membuat mereka memutuskan bunuh diri. 

Harapan

Saya sengaja tidak menulis soal mengapa orang melakukan perundungan. Saya pikir, tugas penulis adalah mencari tahu hal itu sendiri. Yang menjadi perhatian saya adalah 
-apakah penulis yang masih remaja menganggap merundung sebagai hal yang biasa?
-apakah penulis yang masih remaja mampu memasukkan nilai moral ke dalam cerita?
-apakah penulis-penulis belia ini memahami secara serius dampak psikologis dari perundungan?

Saya harap cerita berbasis perundungan bukan demi keren-kerenan cerita. Hal ini tentu mudah dipahami oleh penulis dewasa yang menulis cerita remaja. Bagaimana dengan penulis remaja yang cara berpikirnya belum mendalam? 

--- Catatan: Terima kasih untuk FWI dan anggotanya yang telah memberi respon positif untuk pertanyaan saya.

Perlukah Cast dalam Fiksi?

 


Saya memang tidak suka cerita dengan cast.

Pertama karena kesannya si penulis 'malas' mikir. Kesannya, lho.

Kedua, karena risiko tinggi bagi yang dijadikan cast. Misalnya dijadikan objek fantasi seksual atau pelecehan. Pernah saya lihat beberapa bulan lalu ada remaja cewek yang memberi komen di postingan si seleb bahwa dia ingin melihat si cast ini telanjang. Mengerikan.

Ketiga, rawan pencemaran nama baik. Kalau cast-nya dijadikan tokoh baik-baik atau sehat-sehat saja, mungkin masih gak masalah. Kalau ditulis kena Ebola kan berabe. Bisa bikin geger. Atau kalau dibuat selingkuh, kan bisa dikira itu beneran.

Keempat, rawan jerat hukum. Kalau si seleb gak nyaman dengan apa yang ditulis, bisa saja dia menuntut. Bisa jadi, meski ceritanya baik, si seleb menuntut karena merasa tidak pernah mengizinkan namanya dipakai. Satu lagi, andaikan kalian mendapat keuntungan (royalti dan bentuk finansial lain) dengan memakai si dia sebagai cast, sementara dia tidak dapat apa-apa, itu bisa jadi masalah hukum. Kalau kalian kaya raya bisa bayar pengacara, ya silakan aja lanjut. Kalau gak, mending pikir sejuta kali.

Ada situasi-situasi lain yang perlu dipertimbangkan. Misalnya reaksi media sosial. Jangan sampai sebagai pengarang kalian dirundung atau dilaporkan oleh pihak ketiga. Ujung-ujungnya kan masalah hukum. Pertimbangkan juga bahwa netizen Indonesia belum banyak yang belum 'cerdas' dalam menanggapi cerita fiksi. Banyak pembaca yang menganggap fiksi itu sungguhan. Fiksi pelakoran saja dianggap kejadian nyata. Bisa-bisa mereka akan berpikir bahwa kelakuan cast memang seperti di dalam cerita.

Buat saya, menjadikan seleb sebagai cast cukup di dalam otak pengarang saja. Jangan kasih tahu pembaca. Ini rahasia kecil yang menyenangkan. Saya selalu berprinsip: biarkan pembaca memiliki imajinasi sendiri seperti apa atau seperti siapa si tokoh dalam cerita. Lagian, seneng amat sih kelien ngatur-ngatur?

Resensi: Rengkuh

 


Judul: Rengkuh
Pengarang: Susi Nurkhofsyah
Penerbit: Laksana/Diva Press
Halaman: 286
Cetakan: pertama, 2020


Cerita Rengkuh mengambil latar di perkampungan dengan kesulitan ekonomi yang harus diatasi tokoh-tokohnya. Radif, tokoh utamanya, seorang anak yang cuek, yang lebih senang bermain ketimbang belajar. Ini sangat berbeda dengan Ratna yang sangat senang membaca, cerdas, dan kritis. Mereka berteman sejak kecil, tepatnya sejak Ratna dan kakak-kakaknya dititipkan ke rumah nenek mereka. 


Ratna sendiri mengagumi ibu Radif yang bisa membiayai dirinya sekolah. Apa yang dilakukan ibu Radif membuat Ratna punya tekad untuk bekerja ke luar negeri, tepatnya menjadi TKW.


Sementara itu Radif akhirnya memutuskan bekerja dengan kehidupan yang tidak begitu layak. Akhirnya dia memutuskan untuk 'tobat', menyelesaikan sekolah, lalu kembali bekerja sambil kuliah. Dia kemudian bertemu seorang perempuan yang kelak dinikahinya.


Problem Pedesaan

Sebagai orang kota, saya tidak dekat dengan problem orang di pedesaan. Saya jelas tidak akan bisa membayangkan kehidupan yang miskin, yan sebenarnya itu seperti apa. Tetangga nyinyir, biang gosip, dan berita yang mudah tersebar barangkali bukan hal yang terlalu asing, tetapi bagaimana pola pikir kehidupan di desa, bagaimana ekonomi diputar, jelas menarik untuk dibaca. 

Rengkuh memiliki hal tersebut. Detail cerita bekerja sebagai TKW (dan tenaga kerja pria) di luar negeri, misalnya, sangat detail. Orang awam mungkin hanya menganggap dan menjadi pembantu/asisten rumah tangga di luar negeri ya tinggal berangkat dengan pelatihan ini dan itu. Ternyata banyak aspek yang perlu diperhatikan, termasuk soal hukum. 

Beberapa bulan setelah membaca Rengkuh, saya mendapati berita David vs. Goliath antara TKW dan seorang taipan di Singapura, yang sempat menjadi isu penting. Menarik bahwa proses hukum dan apa yang terjadi dalam Rengkuh, selaras dengan kehidupan nyata. Berita tersebut bisa dibaca di https://www.bbc.com/indonesia/dunia-54241517

 

Sudut Pandang

Dari segi cerita, saya rasa sudah cukup baik. Sebagian besar sudut pandang dari tokoh Radif, menggunakan 'aku' sehingga terasa sangat personal. Setelah lebih dari setengah, baru ada sisi dari Ratna, juga menggunakan 'aku'.

Kritik saya, karena cerita memakai narasi 'aku', tetapi judul bab pakai angka, terjadi kerancuan. Pembaca masih mengira ini cerita dari Radif, ternyata pindah ke Ratna. Apalagi karena dari awal semuanya narasi Radif. Pembaca seperti tidak diberi tanda-tanda. Jadi, ke depannya saya harap ada pemisahan yang jelas antarbab, misalnya dengan menjadikan nama tokoh sebagai judul, jika menggunakan beberapa sudut pandang dalam cerita.

Selebihnya, lebih baik langsung beli sendiri untuk kepuasan membaca sendiri.

Tilik: Film yang Berbahaya

 

 

Melawan opini umum, saya merasa film Tilik membosankan. Ini contoh cerita yang terlalu mengandalkan dialog yang jadi 'tell, not show', minim konflik, hampir tidak ada progres plot, dan ada plot hole. Tentu pendapat saya bukan pendapat populer (unpopular opinion).


Sebelum sampai pada postingan ini, saya sempat mencari tahu apakah penafsiran saya soal ending benar (Dian memang 'main dengan om-om', tepatnya jadi pacar Pak Lurah). Setelah dikonfirmasi, saya berkesimpulan film ini berbahaya.

Kita balik dulu ke soal membosankan.
1. Mengandalkan dialog.
Tidak semua orang bisa seperti Tarantino. Tarantino bisa bikin dialog soal lagu Madonna (film Reservoir Dogs) dan obrolan ini gak membawa ke mana-mana selain sebuah introduksi cerita. Namun, obrolan ini menarik karena bersifat interpretasi, filsafat, dan berbenturan dengan topik lain yaitu soal ngasih tip ke pelayan dan soal daftar nama. Ada tiga hal dibicarakan secara simultan oleh sekian banyak tokoh. Meski seperti tidak punya makna, obrolan ini memberi pemahaman awal tentang beberapa tokoh dan nilai yang masing-masing mereka anut.

Film yang hanya mengandalkan dialog kalau tidak digarap dengan cermat, mudah membosankan karena biasanya bersifat telling (memberi tahu). Ini yang terjadi dengan Tilik. Semua pengetahuan kita soal Dian hanya lewat gosip. Kita mendapat gambaran karena Bu Tejo memberi tahu. Belum lagi ada 'ceramah' soal gosip tidak baik dan fitnah. Khas sinetron. Film dan buku lokal belum bisa keluar dari sifat menggurui.

Kenapa dialog-dialog film Tarantino dan film lain seperti Closer, Crash, bahkan In The Mood for Love terasa enak? Karena ada gaya film di situ. Obrolannya lancar, tapi ada kesan bahwa ini bukan obrolan yang real (misalnya ada pengulangan kata, ada pertanyaan yang dibalas pertanyaan, ada panjang pendeknya, ada tempo dan tonasi). Sementara dialog dalam Tilik masih sama dengan sinetron. Realistis. You don't get the beauty of film dialog.

Lima menit pertama, cerita Tilik masih ok. Saya langsung drop setelah adegan break di musholla (satu-satunya momen diam dan transisi dengan sinematografi yang cukup baik) mereka kembali bicara soal Dian. Pertama karena lagi-lagi mereka hanya memberi tahu. Kedua, karena memberi tahu, tidak terjadi progres. Di ending, si Bu Tejo cuma memuji-muji di depan Dian. Tidak ada konflik. Tiga puluh menit cerita tidak ada konflik.

Tadinya saya berharap bahwa obrolan Bu Tejo ingin suaminya jadi lurah bisa menimbulkan konflik. Ternyata juga tidak.

Bahkan adegan Dian dan Pak Lurah juga tidak cocok disebut konflik. Dian cuma memberi tahu tentang perasaan dan keinginannya.

2. Tidak ada plot
Perhatikan. Semua tokoh hanya MEMBERI TAHU. Namun, tidak satu orang pun maju untuk menghadapi konflik. Tidak seorang pun berani mengkonfirmasi pada Dian. Tidak ada plot utama dalam cerita ini. Semua kejadian (muntah, kebelet pipis, ditilang) hanya situasi sekunder yang kalaupun tidak terjadi, cerita tetap berjalan. Mereka tetap akan sampai ke rumah sakit, Bu Lurah tetap di ICU, dan tidak seorang pun akan mengkonfrontasi Dian.

3. Tokoh flat
Kenapa tidak ada konflik? Karena tokohnya tidak digarap. Semua tokoh tetap dengan pendirian masing-masing. Tidak seorang pun mengalami perubahan jadi lebih baik ataupun lebih buruk.

Bandingkan dengan sebuah film pendek (saya lupa judulnya) bergaya Orwellian. Di sebuah sekolah seorang guru berkata 2+2=5. Mulanya anak-anak menolak. Setelah ketua OSIS dan jajaran otoriternya masuk dan membunuh satu murid, baru kelas itu menerima 5 sebagai jawaban. Namun, ada satu anak yang sudah menulis 5 di bukunya, tertegun, lalu menggantinya jadi 4. Lihat bahwa dengan sinopsis sependek ini saya bisa memperlihatkan konflik dan bagaimana satu tokohnya dinamis (mengalami perubahan).

4. Pesan moral bermasalah
Kalau melihat ending-nya, saya menangkap pesan moralnya begini: bergosip itu baik dan terbukti benar.
Ada kesan penulis skenario berusaha membuat plot twist, tetapi saya tidak melihat ini plot twist. Saya lebih melihat ending-nya sebagai konfirmasi semua perkataan Bu Tejo benar. Padahal penonton tahu cara Bu Tejo salah. Namun, dengan ending seperti ini, tentu penonton dipaksa menerima 'kenyataan'.

Yang berbahaya sih, kalau penontonnya dari grassroot sampai menengah, ya. Film alat propaganda yang mudah dicerna karena ada bahasa visual dan audio. Karena ending-nya seperti ini, bagi kalangan tersebut bisa diartikan bahwa gosip itu baik dan informasi dari internet lebih banyak yang benar, jadi tidak perlu disaring. Kesimpulan ini malah jadi berlawanan dengan usaha di awal cerita bahwa gosip itu buruk dan informasi perlu disaring.

Sejujurnya, cerita ini cukup 10 menit dengan catatan ending harus berbeda. Saya setuju film ini memperlihatkan watak orang Indonesia yang tukang gosip. Namun, saya tidak setuju dengan epilog film ini.  Sebagai penonton saya merasa dibodohi.

Samurai Seven: Siapa Pemenang Sebenarnya



Inilah salah satu cerita terbaik yang pernah saya tonton. Baik versi asli maupun anime sangat menarik. Seven Samurai (1954) memiliki beberapa keunggulan, termasuk tema besar dan penokohannya. Temanya besarnya universal dan abadi, yaitu perjuangan petani untuk hidup. Sebagai kelompok sosial yang rendah, petani harus memastikan ketersediaan beras bagi kota, sementara mereka ditindas bandit dan tetap miskin. Dari segi penokohan, ketujuh 'ronin' (samurai kerja lepas, tanpa tuan, atau freelance) dalam cerita ini memiliki karakterisasi yang jelas perbedaannya satu sama lain.

Secara implisit, Seven Samurai atau versi animenya Samurai 7 (2004) memberi fokus yang besar pada nasib wong cilik yang nyaris tidak memiliki suara dan kekuatan sampai harus menyewa samurai freelance untuk menjaga desa dari geng bandit yang memeras mereka. 

Cerita dan Plot

Versi anime

Alur bergerak dari sebuah desa yang memutuskan untuk melawan geng bandit. Rencananya, mereka menyewa sekelompok ronin yang mau kerja demi makanan (saya selalu mengenang versi animenya, "Will work for rice!"). Setelah menemukan satu pentolan samurai, ia segera mencari enam orang lain. Penduduk desa sebenarnya tidak menyukai dan memercayai mereka, tetapi berkat persiapan yang dilakukan para samurai ini, termasuk melatih penduduk untuk menggunakan senjata, mereka mulai mendapat kepercayaan. Dalam dua serangan, beberapa penduduk desa dan samurai gugur. Pada pertempuran ketiga, akhirnya mereka menang. Akan tetapi, kemenangan itu dicapai dengan tewasnya dua samurai samurai. Tinggal tiga yang masih hidup. Desa pun berpesta. Pemimpin samurai menyadari dalam hal ini, penduduk desalah pemenangnya. 
Untuk sinopsis lengkap bahasa Indonesia bisa dibaca di sini.

Sebagai sebuah film yang panjang, Seven Samurai memiliki keunggulan dengan menampilkan ironi, sarkasme, dan penggambaran (imagery). Hampir semuanya berhubungan dengan status sosial (samurai merupakan kelas yang lebih tinggi daripada petani dan menjadi 'konflik' tersendiri untuk disewa petani), keadilan dan kelembutan (etos samurai), proteksi (kisah penculikan perempuan oleh para bandit), harapan, kematian, dan soal nasib.

Ceritanya sendiri bergerak dalam plot paralel, terutama dalam adegan perang, antara desa dan bandit. Selain masalah desa dan bandit, ada plot-plot personal. Misalnya ada samurai yang darah aslinya petani, tetapi berusaha keras kelihatan seperti samurai sejati. Ada kisah cinta antara samurai termuda dan kembang desa yang ditentang ayah si gadis. Ada sedikit gambaran antara hubungan pertemanan lama si ketua suamurai dan temannya yang keduanya veteran perang. Ada petani yang istrinya diculik (dan kalau gak salah diperkosa juga), tetapi tetap mencintainya. Ini yang membuat cerita yang kelihatan sederhana. Namun, ia memiliki kompleksitas.

Sutradara

Karya-karya Kurosawa Akira tergolong visioner dan memiliki sinematografi yang apik. Ia terkenal sebagai sutradara yang karyanya dianggap fenomenal dan sepertinya sering dijiplak. Django (1966) dan Magnificent Seven (1960) boleh dibilang contoh jiplakannya. Kalau kalian cek Wikipedia di bagian Legacy, daftar film yang digadang sebagai jiplakan, terinspirasi, maupun homage bagi Seven Samurai bersifat lintas negara, kultural, dan generasi. Star Wars dan A Bug's Life, termasuk di dalamnya. 

Seorang teman saya pernah berkata, mungkin hanya dua film Kurosawa yang tidak pernah dibajak: Ran (1985) dan Dreams (1990). 

Narasumber

"Mengapa film Seven Samurai dianggap sebagai film terbaik?" oleh Anne Bilson untuk BBC Culture. Artikel terjemahan. 14 November 2018.
https://www.bbc.com/indonesia/vert-cul-46175940
(diakses 27 April 2020)

"Seven Samurai" oleh GradeSaver
https://www.gradesaver.com/seven-samurai
(diakses 27 April 2020)

"Seven Samurai Summary" oleh Shmoop. 
https://www.shmoop.com/study-guides/movie/seven-samurai/summary
(diakses 27 April 2020)

Contagion: Sebuah Prediksi yang Akurat

 


Ada yang sudah nonton film Contagion? Film yang lumayan lawas ini dibesut Steven Soderbergh pada tahun 2011 dan digadang sebagai film.

Sinopsis

Beth Emhoff sakit parah setelah beberapa hari pulang dari Hong Kong. Anaknya juga meninggal tak lama kemudian. Situasi ini dianggap janggal. Suaminya Mitch segera dikarantina, tetapi dia ternyata imun, begitu juga anaknya yang lain, Jory.

Di Hong Kong, Leonora Orantes dan pejabat lokal Sun Feng menyelidiki pergerakan Beth selama di sana.

dr. Cheever dari Departemen Pengontrolan Penyakit mengirim dr. Erin Mears untuk menginvestigasi. Tugasnya termasuk menegosiasi birokrat lokal untuk melakukan pencegahan. Setelah kontak dengan beberapa orang, Mears sakit. Chicago di-lockdown. Kepanikan, penjarahan, dan kekerasan terjadi. Mears akhirnya meninggal.

Di tempat lain, Ally Hextall dan Ian Sussman bekerja mencari akar virus dan membuat vaksin. 

Sementara itu, Alan Krumwiede—seorang 'pakar teori konspirasi'—mengklaim bahwa bunga forthysia adalah obatnya. Hal ini menyebabkan kegaduhan karena orang-orang mencari obat tersebut. Ia kemudian ditangkap karena telah memalsukan sakit demi menjual penawar tadi.

Sun Feng menahan Leonora agar desanya mendapat vaksin. Ally, di lain pihak, menyuntikkan vaksin uji coba pada dirinya sendiri dan tidak mengalami efek tertentu. Vaksin segera dibuat dan pembagiannya dilakukan lewat lotere berdasarkan tanggal lahir. Saat itu jumlah kematian di Amerika telah mencapai 2,5 juta jiwa dan 26 juta di seluruh dunia. Representasi WHO di Hong Kong memberikan vaksin pada Sun Feng. Leonora dibebaskan. Ia kembali pada Sun Feng setelah mengetahui vaksin tersebut hanya placebo.

Pada akhir cerita, diperlihatkan bagaimana ketika  pepohonan yang ditebang membuat sekelompok kelelawar terbang. Satu di antaranya makan pisang yang sisanya jatuh dan dimakan seekor babi. Babi itu kemudian dijagal dan dimasak oleh chef. Menyukai makanannya, Beth minta bertemu. Mereka bersalaman. Dari sanalah semua berasal.

Riset

Film ini sendiri memang tidak main-main. Dari segi riset, pelaku film menggandeng orang WHO untuk memberi masukan. Penulis skenario, Scott Z. Burns, melakukan riset berbulan-bulan tentang ilmu pandemi. Burns juga mengatakan idenya menulis Contagion didapat dari ayahnya yang cemas terhadap kemungkinan flu burung jadi pandemik. Dia tidak ingin membuat cerita yang konvensional dan meminta saran dari seorang epidermologis, dr. Larry Brilliant. Selain itu dr. Dr. Ian Lipkin, seorang dokter yang berhasil mengidentifikasi banyak penyakit baru, ikut menjadi konsultan dalam film ini.

Sudut Pandang Cerita

Dari sisi cerita, penggunaan POV-3 jamak membantu penonton melihat berbagai aspek dan konflik yang terjadi di berbagai tempat.

Beth Emhoff mewakili suspect zero. Mitch dan anak perempuannya mewakili cerita orang sehat yang terjebak dalam lockdown. Mereka juga menjadi saksi bagaimana situasi berubah menjadi kacau karena penjarahan. Cheever dan Mears mewakili bagaimana birokrasi bekerja dan bagaimana pejabat tidak antusias untuk melakukan pencegahan. Mears juga mewakili pekerjaan dokter di lapangan yang memakan nyawanya sendiri. Alan mewakili dunia obat alternatif, hoaks, dan tuduhan konspirasi. Sun Feng dan Leonora memperlihatkan cara kerja penyelidikan termasuk konflik politik global soal vaksin. Sementara Ally dan Ian memperlihatkan bagaimana proses penemuan vaksin.

Teknik narasi ini diperkuat dengan dialog yang padat. Meski ada istilah teknis, penjelasannya cukup gamblang dan tidak terkesan sebagai film edukasi ataupun propaganda.

Ketegangan

Sayang saya tidak sempat mencatat sumbernya, tetapi sebelum ribut-ribut COVID-19, sekitar setahun sebelumnya, ada simulasi komputer bahwa jika terjadi pandemi, sekian banyak orang akan terinfeksi dan sekian akan meninggal. Kita mungkin menganggap remeh pandemi, tetapi bagi para ilmuwan, itu hanya soal waktu.

Mengapa Contagion lebih menakutkan ketimbang cerita zombie? Mungkin karena kita tahu zombie hanya fantasi. Virus lebih nyata dan telah beberapa kali jadi contoh pandemi. Yang jelas nyata, tetapi tidak bisa dikontrol jauh lebih menakutkan. Itu sebabnya Contagion lebih memberi dampak.

Musuh atau Situasi?

Ada pengarang yang menganggap penyakit sebagai penjahat (villain). Saya tidak sependapat. Penyakit adalah situasi. Jika penyakit dan virus adalah tokoh, harus ada interaksi yang jelas, dialog di antara keduanya, bahkan si virus harus melawan berbagai vaksin. Setidaknya, pembaca, pendengar, atau penonton harus bisa memahami mengapa si penyakit memilih si korban dan mengapa dia sangat ingin menginfeksi manusia. Tentu saja, kita tidak akan pernah mendapat jawaban 'manusiawi'. Penyakit tidak akan pernah berbicara atau bernegosiasi. Sama seperti alam. Manusia tidak punya arti ketika alam 'memutuskan' untuk gempa atau tsunami. Bedanya, penyakit bisa dicegah. Untuk itu saya tetap berprinsip bahwa penyakit adalah konflik eksternal dari alam. 

Dalam Contagion, meski konflik utamanya bersifat eksternal, konflik internal juga terjadi. Inilah momen 'cerita' dari tokoh-tokohnya. Beth ternyata berselingkuh. Dari Hong Kong, dia tidak langsung ke rumah, tetapi ke kota selingkuhannya. Mitch mati-matian ingin melindungi anak perempuannya. Sebelum meninggal Mears mencoba memberi selimut pada pasien di sebelahnya. Leonora memutuskan untuk kembali ke desa Sun Feng. Cheever mendapatkan vaksin untuk dia dan istrinya, tetapi memutuskan untuk memberi vaksin jatahnya pada seorang anak. Ally memutuskan untuk menguji vaksin pada dirinya sendiri karena terlalu lama jika harus ikut protokol. Sedangkan Alan mewakili ketamakan dan kericuhan yang ditimbulkan media sosial. 

Konflik eksternal dan internal ini menyatu sehingga cerita yang ditampilkan cukup kuat dan menuai banyak pujian.

Pada beberapa universitas dan mata kuliah tertentu, banyak dosen juga menyertakan film ini sebagai bagian dari kurikulumnya. Ini menunjukkan bahwa film ini cukup akurat.

Pelajaran

Untuk penulis skenario dan pengarang, catatan terbesar yang bisa diambil adalah keberanian penulis naskah untuk melakukan riset berbulan-bulan. Berbulan-bulan, lho. Keberanian untuk mengambil risiko riset yang begitu lama memberi hasil nyata. Contagion sebuah cerita yang memberi prediksi akurat bagaimana manusia bereaksi pada pandemi.

Jika kalian ingin membuat cerita yang terasa nyata, jangan takut melakukan riset mendalam.

Narasumber

Contagion (2011 film)
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Contagion_(2011_film)

"How the makers of ‘Contagion’ saw an outbreak like coronavirus coming" oleh Soumya Karlamangla di Los Angeles Times. 11 Maret 2020
https://www.latimes.com/california/story/2020-03-11/coronavirus-contagion-outbreak-accuracy-movie (diakses tanggal 12 Maret 2020)

Hamlet (sinopsis dan analisis)


Sinopsis

Hamlet seorang pangeran yang ayahnya telah meninggal selama beberapa waktu. Ibunya kemudian menikah dengan pamannya, Claudius, yang sekarang menjadi raja. Hamlet benci pernikahan itu.

Suatu malam, Hamlet bertemu hantu yang memintanya membalas dendam karena dialah sang raja yang dibunuh oleh Claudius. Hamlet pun bersiap. Namun, dia bukan tipe orang yang terburu-buru. Ia banyak merenung. Hal ini membuat cemas sang ratu, Gertrude, dan mengutus teman-teman Hamlet untuk mencari tahu. Polonius, seorang pejabat rumah tangga istana, menduga Hamlet sedang tergila-gila pada putrinya, Ophelia. Namun, Hamlet tidak tertarik. Ia menyuruh Ophelia pergi ke biara wanita.

Ketika lewat grup teater keliling, Hamlet mendapat ide untuk mengetes apakah Claudius si paman bersalah atau tidak. Dalam pertunjukan itu ada sebuah adegan yang dibayangkan Hamlet begitulah cara Claudius membunuh ayahnya. Ketika melihat adegan itu Claudius langsung pergi. Bagi Hamlet, inilah buktinya. Hamlet kemudian hendak membunuh pamannya, tetapi sang paman sedang berdoa. Hal itu membatalkan niatnya karena menurut Hamlet jika Claudius mati saat berdoa, arwahnya akan menuju surga.

Setelah itu Hamlet berhadapan dengan ratu di kamar. Ia tidak tahu kalau Polonius menguping dan ketika mendengar keributan, Hamlet menghunuskan pedangnya sebagaimana ia mengira Claudius yang bersembunyi. Polonius mati. Akibatnya Hamlet segera dikirim ke Inggris. Namun, diam-diam Claudius memerintahkan teman-teman Hamlet yang akan menemani perjalanan itu untuk memastikan Raja Inggris menghukum mati Hamlet.

Kematian Polonius membuat Ophelia hilang akal dan bunuh diri. Laertes, anak Polonius, pun marah setelah Claudius meyakinkan bahwa Hamletlah pembunuh keduanya. Claudius memanfaatkan situasi ketika Hamlet harus kembali karena kapalnya diserang perompak. Ia pun memanfaatkan kemarahan Laertes yang ingin membalas dendam. Sebuah duel direncanakan. Pada pedang milik Laertes, Claudius membubuhkan racun. Sebagai rencana cadangan, jika Hamlet yang menang, gelas anggurnya telah dibubuhi racun.

Hamlet tiba saat pemakaman Ophelia. Merasa sangat berduka, Hamlet menyerang Laertes dan mengatakan bahwa sebenarnya ia sangat mencintai Ophelia. Setelah kembali ke kastil, ia meyakini bahwa salah satu dari mereka harus mati karena kematian bisa datang kapan saja. Tak lama kemudian, datanglah utusan Claudius yang mengatur duel antara Laertes dan Hamlet.

Duel pun berlangsung. Hamlet berhasil melukai Laertes, tetapi menolak anggur yang ditawarkan Claudius. Malah, Ratu Gertrude yang meminumnya lalu tewas. Duel kembali berlangsung. Kali ini menyebabkan Hamlet terluka. Namun, ia masih hidup. Pertarungan terus berlangsung dan akhirnya Laertes terluka oleh pedang beracunnya. Sebelum tewas, ia memberi tahu bahwa Claudius bertanggung jawab atas kematian sang ratu. Hamlet menusuk Claudius dengan pedang beracun lalu memaksanya minum sisa anggur. Claudius tewas. Hamlet sendiri mati tak lama kemudian.

Kalian baru saja mendengarkan sinopsis superpendek dari Hamlet. Cerita tragedi ini dianggap sebagai karya Shakespeare yang paling kompleks, paling sering dibahas, dan paling sering diproduksi entah dalam bentuk film, televisi, maupun radio, terutama di masa modern. Tapi kenapa?

7 Alasan Mengapa kamu harus membaca Hamlet


1. Relevan

Apa yang ditampilkan dalam Hamlet merupakan permasalahan abadi manusia. Ada pembunuhan, dendam, keserakahan, konspirasi, tipu daya, dan pergumulan batin.

Claudius menginginkan kekuasaan. Ia mengkudeta raja yang sah. Hantu raja dan Hamlet dendam pada Claudius. Hamlet merencanakan pembalasan. Claudius memanipulasi Laertes dan berkonspirasi membunuh Hamlet untuk mengamankan kejahatannya. Melakukan duel demi harga diri plus tipu daya pembunuhan, hanya berakhir dengan kematian.

Relevan? Sering mendengar atau membaca kasus seperti ini? Ya. Dalam masa modern/ harta dan kekuasaan masih menjadi pemicu nafsu. Kita banyak mendengar kasus pembunuhan yang berbasis penguasaan atau kekayaan, juga demi harga diri. Dan semua itu membuat kita bertanya-tanya, mengapa mereka melakukannya.

2. Tema

Sebenarnya, apa sih tema besar Hamlet? Saya yakin kalian langsung bisa menebaknya. Ya. Balas dendam. Sepanjang cerita berisi pemikiran tentang membalas dendam. Namun, baru menjelang akhir cerita dendam itu dilaksanakan.

3. Karakter

Apakah Hamlet jahat? Menginginkan kematian dan membalas dendam, tentu bukan perbuatan terpuji. Saya pikir Hamlet seorang antihero jika bukan karakter abu-abu. Ada pergeseran dari tokoh baik menjadi gelap. Dia masih memiliki moralitas. Namun, sepertinya dia terjebak dalam pikirannya.

Claudius, di lain pihak memainkan peranan antagonis merangkap penjahat (villain) dan meskipun dia menyadari perbuatannya salah, dia tidak melepaskan diri. Di sinilah tragedi sebenarnya berawal. Seandainya Claudius mengakui kejahatannya dan mengusahakan rekonsiliasi dengan Hamlet, mungkin meski tidak berakhir happy ending, tingkat tragedinya tidak sekelam akhir yang kita lihat.

4. Dilema

Hamlet menyadari kejahatannya ketika dia ingin memastikan Claudius mati masuk neraka. Kenyataan Claudius berdoa menjadi dilema moral bagi Hamlet.

Ia juga mengalami krisis eksistensial dalam beraksi, dan pikiran-pikiran soal kematian:
To be or not to be—that is the question:
Whether ’tis nobler in the mind to suffer
The slings and arrows of outrageous fortune,
Or to take arms against a sea of troubles
And, by opposing, end them ...
(Hamlet, Act 3, Scene 1.)

(Melakukan atau tidak—itu pertanyaannya: Apakah lebih mulia berpikir untuk menderita dari
Pengumban dan panah keberuntungan yang memalukan,
Atau mengambil senjata/ melawan lautan masalah
Dan, secara bertentangan, mengakhirinya.)

5. Moral

Siapa yang paling diuntungkan dalam cerita ini? Tidak ada. Tidak satu tokoh pun mendapat keuntungan.

Obsesi Hamlet membuatnya lupa ada sisi lain kehidupan. Laertes terbawa amarah dan dendam sehingga mudah dimanipulasi.

Mungkin korban yang paling sia-sia adalah Ophelia. Pikirannya polos dan hanya jadi komoditas Polonius untuk menguatkan posisinya dalam hirarki kerajaan.

Bagaimana dengan Hantu? Ya, dendamnya sudah terbalas. Namun, apakah sepadan dengan membawa kematian bagi istri dan anaknya? Bukankah keinginannya terdengar egois?

Mungkin pertanyaannya jadi lebih besar:
Apakah membalas dendam menjadi satu-satunya cara menyelesaikan masalah?
Apakah membalas dendam harus dengan membunuh?

6. Terbuka pada interpretasi

Cerita Hamlet tergolong terbuka untuk perdebatan, lho. Makanya banyak ahli yang mempertanyakan perihal psikologi, kebiasaan, sosiologi, dan aspek lain yang terkait dengan cerita ini.

Misalnya ada perdebatan apakah Hamlet gila, sekadar terbawa nafsu, atau terobsesi? Kenyataan dia mengingkari perasaannya pada Ophelia buat saya menunjukkan dia orang yang waras dan penuh kalkulasi. Dia juga seorang pemikir sehingga monolognya filosofis.

Lalu apakah Ophelia benar-benar bunuh diri atau jatuh ke air? Apakah tenggelam merupakan simbolisme atau metafora atas kejadian lain?

Bagaimana dengan Ratu Gertrude? Sepertinya dia memang terlibat perselingkuhan karena diisyaratkan oleh Hantu. Namun, apakah dia terlibat persekongkolan pembunuhan? Dia terlihat kaget ketika Hamlet menuduhnya. Apakah dia tahu kalau anggur untuk Hamlet sebenarnya sudah diracun? Mengapa dia berkata

"I will, my lord; I pray you, pardon me" (Act 5, scene 2.)
Saya akan (meminumnya), Yang Mulia.

7. Fakta

Hamlet adalah drama terpanjang Shakespeare yang butuh 4 jam penampilan. Tapi jangan salah, Hamlet adalah cerita blockbuster dari masa Shakespeare sampai sekarang. Alasannya? Barangkali Pangeran Hamlet adalah refleksi dari diri kita sendiri yang diam-diam curiga, diam-diam berkomplot dengan kematian, dan siap membalas dendam. Setidaknya dalam pikiran kita.

7 Hal yang Jangan Kamu Lakukan pada Episode Pilot



Peringatan: tonton dulu episode 1 sinetron ini sebelum baca komentar saya. Maxstream bisa diunduh di Google Play. Setelah terpasang, di bagian pencarian tinggal ketik judulnya. Tidak perlu login (pengalaman saya pakai wifi) bisa langsung nonton. Selebihnya, artikel ini mengandung beberan (spoiler) dan dibagi jadi dua tayangan.

Beberapa minggu yang lalu saya ngasih komen langsung pada salah satu tim produksi "Cerita Dokter Cinta". Versi yang ada di sini lebih fokus pada dunia penulisan, terutama bagaimana menulis episode pembuka (pilot episode) televisi.

Saya hanya nonton episode 1 karena episode pilot selalu penting buat saya. "Cerita Dokter Cinta" (saya singkat jadi CDC) episode 1 bercerita tentang sekelompok koas yang datang untuk menjalani hari koas di rumah sakit. Setelah malam, akhirnya mereka bisa bersantai sejenak, mendengarkan acara radio "Dokter Cinta". Dokter yang mengepalai kelompok koas ini juga pulang, mengurus ibunya yang sudah pikun. Itu saja intinya dalam 16 menit tayang. 

1.Tidak ada konflik (yang jelas)

Perhatikan blurb atau logline CDC yang dipasang di Maxstream:
Kisah dokter Obygin Ryan, …, dalam membantu persalinan pasien dan mengatasi persoalan cinta di antara mereka yang penuh konflik


Saya tidak tahu di mana letak konfliknya karena episode pilot tidak punya konflik sama sekali. Semuanya hanya setup dan pengenalan tokoh. Buat saya, 16 menit itu bisa dipangkas jadi 5 menit karena naskahnya tidak efisien. 

Ada beberapa adegan bagus yang bisa dijadikan konflik, ternyata hanya tempelan. Misalnya, Ryan sedang membantu ngasih CPR lalu masalah selesai begitu saja. Adegan selanjutnya, dia sudah di depan koas untuk briefing. Coba kalau pasiennya mati dan dia terlambat menemui koas, pasti lebih menarik karena ada konflik batin sehingga adegan ketika bersama ibunya akan lebih emosional. Kalau adegan ini digarap, kita bisa melihat bahwa Ryan adalah tokoh utama. 

2.Adegan superklise

CDC masih terjebak dengan pola seperti ini:
-tokoh utama terlambat bangun
-tabrakan dengan tokoh lain
Silakan baca selengkapnya 10 Pembuka Cerita yang Klise.

3.Tokoh tidak tergarap

Siapa yang sebenarnya jadi tokoh utama di sini? Si cewek kesiangan atau Ryan? Kesannya tetap si cewek kesiangan yang jadi tokoh utama karena penonton digiring untuk mengikuti dia dari rumah hingga di rumah sakit. Kalau dilihat dari poster dan prolog, seharusnya Ryan yang lebih banyak dapat porsi. Bahkan, walaupun ceritanya terdiri dari banyak tokoh, tokoh utamalah yang seharusnya memimpin cerita pada episode pilot.

Masalah lain dalam sinetron (lokal dan luar) adalah menghadirkan tokoh lucu untuk menyegarkan cerita (walaupun saya tahu dalam CDC nanti dia punya masalah). Yang fatal adalah mereka harus ditampilkan konyol dari awal entah dengan ekspresi yang kelihatan bodoh atau perilaku yang cocok untuk ditertawakan. Lebih fatal lagi jika … (ke poin selanjutnya)

3.Adegan/informasi/dialog sia-sia

Adegan komedi yang ditempel paksa jelas sia-sia. Contoh lain dalam CDC misalnya adegan makan di lorong dan kedua koas bertukar makanan. Apa fungsi adegan ini? Tidak ada. Apakah bertukar makanan bikin keracunan? Tidak. Apakah karena habis pegang makanan terus bawa bakteri ke pasien (tidak cuci tangan)? Tidak. Adegan ini hanya ditutup dengan seorang perawat memanggil mereka untuk kembali kerja. Artinya, ketimbang percakapan konyol, adegan ini bisa digarap lebih baik. 

Contoh dialog/monolog sia-sia lainnya adalah ketika si cewek terlambat terbirit-birit ke dapur sambil bergumam, "Kesiangan, kesiangan, kesiangan!" Monolog ini jelas tidak penting karena penonton sudah tahu si tokoh kesiangan cukup dari gayanya terbirit-birit.

Adegan dokter cewek nyanyi (dengan peralatan superprofesional) juga tidak jelas maksudnya apa. Apakah dia merangkap Youtuber atau punya podcast? Kalau demi backsound, tidak perlu juga harus dia yang nyanyi.

4.Setup yang tidak tergarap, ketidaklogisan

Buat saya, alasan kenapa adegan makan di lorong dan adegan si dokter nyanyi tidak masuk akal karena tidak adanya setup yang jelas. Penonton tiba-tiba disuguhkan dengan mereka duduk dan membuka makanan. Padahal kalau ada setup mereka cuma punya waktu singkat untuk makan dan tidak bisa ke mana-mana selain di lorong, penonton cerewet seperti saya tidak akan protes. Yang terjadi, saya protes karena makan di lorong dan bisa terlihat pasien, jelas tidak profesional. Ketimbang ngobrol soal tuker makanan, di sini juga bisa diset bagaimana penonton perlu tahu kalau si dokter ini bisa nyanyi dan main gitar (karena peralatannya kelewat pro). 

Yang paling parah dalam CDC, fakta bahwa mereka hari itu kerja sekian jam untuk pertama kalinya, diletakkan menjelang akhir cerita. Karena di awal tidak ada penjelasan ini, saya pikir ini hari normal koas dan 'kebetulan' ada yang telat. Apalagi semua tugas koas selesai dengan mulus. Jika fakta ini diletakkan di depan, akan jelas mengapa para koas yang jadi fokus dalam episode ini. Ini yang akan menjadi goal (tujuan) Ryan: berhasil membimbing semua koas. Sayangnya ini tidak ditunjukkan dalam cerita. 

5.Perpindahan scene tidak mulus

Berkaitan dengan poin ke-11. Adegan Ryan memberi bantuan darurat, terasa tidak masuk akal karena scene tidak digambarkan utuh. Misalnya, CPR cuma dua detik lalu lebih banyak adegan dengan alat kejut jantung. Karena penggalannya tidak rapi, yang terbiasa nonton "Doctor-X", "E.R.", "House M.D.", dll, pasti merasa janggal. Ketimbang dibikin maraton sebagai 1 scene, sebenarnya adegan ini bisa dibuat paralel dengan kejadian lain: koas yang terlambat masih di dalam lift dan kelompok koas lain sudah menunggu di ruang lain. Tiga kejadian … dan sebenarnya bisa menaikkan tensi ketegangan karena orang akan lebih penasaran apakah si pasien mati atau tidak. 

6.Lokasi yang tidak masuk akal

Saya mengerti bahwa cerita ini sebuah cerita romantis, tapi tolong jangan mengada-ada. Baru kali ini saya melihat rooftop dijadikan tempat bersantai yang indah di sebuah rumah sakit. Lebih gila lagi, tidak ada atap di atas sofa (pergola, misalnya)  dan setahu saya rumah sakitnya tidak terlalu tinggi. Debu, hujan, dan kuman ancaman nyata. Dan masa sih kalau hujan petugas kebersihan harus selalu repot gotong sofa ke tempat aman? Ketimbang ke rooftop, lebih masuk akal mereka ke kedai kopi keren di rumah sakit. 

Jangan bikin set demi keindahan sinematografi. Rumah sakit tidak indah. Itu kenyataan. Jadi, buatlah cerita yang kuat untuk menampilkan keromantisan dari tokoh-tokohnya.

7.Menggurui

Adegan Ryan saat briefing yang mengingatkan tugas dokter di atas komersialitas, jelas tidak penting. Lebih penting dalam adegan ini dijelaskan siapa dan apa tugas mereka. Lagipula, seharusnya anak koas sudah tahu ekspektasi dunia kedokteran seperti apa. Kalau pun ada yang tetap mengutamakan uang, bukankah itu jadi konflik menarik? (Semoga di episode lain memang ada yang kemaruk uang)

Baca juga tentang Pesan Moral (yang Menggurui).

Penutup

Kalau diasah, cerita ini bisa luar biasa menarik. Saya rasa masalah penulis naskah lokal memang masih terlalu berbasis sinetron dan belum bisa keluar dari sistem yang lama. Penonton sinetron di televisi adalah penonton murni eskapis sehingga kualitas cerita tidak penting. Sebenarnya sayang. Platform penayangan sudah bagus karena bisa mendapat penonton spesifik dan menemukan penonton yang—dalam bahasa saya—'eskapis, tapi mau mikir', seperti mahasiswa, pekerja muda perkotaan, dan kelompok ekonomi menengah ke atas. 

Semoga proyek sinetron berbasis internet lainnya bisa tampil lebih edgy dan memorable. Begitupun semoga proyek dari PH yang digawangi Ichwan Persada ini di masa depan lebih baik.

Catatan

Sebuah episode pilot harus:
-sudah jelas premisnya apa
-sudah tergambar genre dan target penontonnya
-jelas siapa tokoh utama dan antagonisnya (gak harus villain)
-sudah jelas karakterisasi tokoh-tokohnya seperti apa
-sudah ada pencetus masalahnya
-sudah jelas konflik utamanya apa
-ada kejadian yang sangat menarik

Semua Ikan di Langit: Genre Fabel, Parabel, atau Absurdist?


Novel yang ditulis oleh Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie ini pemenang Sayembara Novel DKJ 2016 dan memang unik. Inti ceritanya tentang sebuah bus Damri yang berkelana mengikuti seorang anak kecil ke mana pun ia ingin. Dari situ, bus belajar tentang si bocah yang selalu ia sebut sebagai "Beliau" dan bertemu makhluk-makhluk lain seperti kecoak bernama Nad, pohon, dan kucing, selain manusia biasa. Tokoh penting dalam cerita ini, baik benda mati maupun hidup dapat berbicara seperti manusia. Dari segi isi, cerita berbicara tentang tuhan secara metafisika (tidak berbasis pada agama atau kepercayaan tertentu), tentang moral, dan tentang cinta kepada Tuhan.

Kebanyakan resensi menyebut cerita ini absurd alias tidak masuk akal. Saya kok gak setuju, ya. Memang ceritanya terjadi di mana-mana. Kadang di bumi, kadang di luar angkasa. Kadang orang yang ditemui kelihatan absurd, seperti si Membingungkan karena penampilannya sungguh ajaib. Ada juga kejadian juga cukup fantastis. Misalnya membuat galaksi dari permen.

Beberapa kualitas ini mengingatkan saya pada buku

Xenoglosofilia: Keterasingan kepada Bahasa Sendiri


Kemampuan berbahasa adalah kunci untuk bisa menyampaikan ide dengan baik. Tanpa adanya ini, seberapa baik pun suatu ide yang kita punyai, niscaya sulit untuk menyebarkannya.

Penggalan paragraf di atas adalah jawaban Ivan Lanin ketika ditanya mengapa ia tertarik kepada bahasa Indonesia di dalam bukunya Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?. Alasan ini sama persis dengan alasan kenapa saya ngotot pengarang harus bisa berbahasa yang baik dan benar. Sehebat apa pun idenya kalau tidak bisa mengungkapkannya lewat tulisan, ide itu tidak akan tersampaikan. Mulai dari yang doyan menyingkat kata (misalnya mengganti ‘-nya’ dengan huruf x yang sering saya baca sebagai ‘kali’); kalimat yang luar biasa panjang, tetapi tidak jelas intinya apa; bahasa campur aduk dalam satu kalimat; termasuk yang suka menulis dialog dalam format penulisan drama, semua ini bisa merusak ide jika dibiarkan.

Kembali ke buku Ivan Lanin, sebelum bicara lebih jauh, mungkin ada yang bertanya, xenoglosofilia itu artinya apa. Cukup menarik, kata ini belum masuk KBBI V 0.2.1 Beta yang saya unduh sekitar bulan April. Namun, kata negrofilia telah ada. Buat yang pernah baca ulasan saya tentang film “Get Out”, mungkin sempat terpapar dengan ide ‘ketertarikan pada orang kulit hitam’. Negrofilia sendiri memang sebuah istilah yang artinya ketertarikan berlebihan kepada orang kulit hitam. Sementara itu, xenoglosofilia berasal dari kata xeno (asing) dan glosso (bahasa). Keduanya adalah bahasa Yunani. Jadi xenoglosofilia bisa kita artikan sebagai ketertarikan berlebihan kepada bahasa asing.

Dari segi isi, karya Ivan Lanin ini memang banyak membahas kata-kata asing yang

Game of Throne S8E3 — Antara Perang, Timing, dan Plot




Peringatan: artikel ini mengandung spoiler yang cukup detail.

Sebenarnya saya sudah gatal mau nulis soal Game of Thrones (GoT) dari tayangnya episode pertama musim terakhir (S8E1), tapi pembahasan soal E1 dan E2 bisa ditunda karena menurut saya E3 cukup penting untuk dibahas. Sebagai gambaran umum, musim ke-8 dibuka dengan semua sekutu Stark tiba di Winterfell. Artinya, kita melihat reuni besar, pertemuan banyak tokoh yang dulu sempat berselisih pada satu tempat. Pada E2 reuniannya sedikit memuncak dengan kedatangan Jaime, tapi dengan cepat tema reuni berbaur dengan tema ‘malam terakhir’. Semua tokoh penting melakukan refleksi dan mempersiapkan mental untuk perang. Sesuai prediksi, E3 menjadi episode pertarungan paling berdarah dan terpanjang, selama 1 jam 16 menit menurut hitungan saya.

Ada beberapa poin besar di sini:
- pembagian babak
- plot
- momen emosional
- tempo cerita
dan semuanya yang saling terkait.

Penulis, sutradara dan editor cerita GoT mengakui bahwa E3 tergolong sulit karena peperangan terjadi di beberapa lokasi. Mereka harus memastikan cerita tetap menarik (karena adegan peperangan yang terlalu panjang akan melelahkan penonton), alur tidak melulu perang-mundur-perang-mundur, dan harus ada cerita yang disampaikan. Editor cerita, David Hill, menuturkan bahwa mereka membuat 3 konsentrasi (babak) cerita: pertahanan dinding jebol, para wight merangsek ke dalam, sampai akhirnya mereka menguasai sebagian besar benteng (kastel).

Untuk memudahkan ilustrasinya, saya paparkan pembagian berdasarkan lokasi, tokoh dan kelompok orang pada awal cerita:
- di luar benteng (pasukan Dothraki dan Jorah, Unsullies, wildlings termasuk Tormund, Sam, The Hound, Edd, Beric, Podrick, Gendry, Jamie, dan Brianne),
- menara pengawas (Ser Davos dan Aria),
- di sebuah bukit ada para naga (termasuk Daenerys dan John),
- rubanah (Varys, Misandae, dan Tyrion),
- Godswood (Bran dan Theon), dan
- gerbang (Lyanna Mormont).

Setelah pasukan Dothraki disapu bersih, plot langsung mengalir. Daenerys yang tidak bisa menerima kematian mereka langsung menerbangkan diri bersama naganya. Artinya, dia meninggalkan rencana perang dan ini mengubah semua dinamika cerita. Dari sini, cerita kembali dipecah. Ada adegan perang di luar tembok dan perang di udara (naga).

Situasi semakin memburuk setelah Night King memerintahkan para wight untuk menjadi jembatan agar bisa menyeberangi parit api. Cerita yang tadinya memberi porsi hampir sama pada tiap orang di luar benteng untuk tampil di layar, sekarang berubah fokus menjadi situasi defensif hidup atau mati di dalam benteng. Sansa disuruh turun ke rubanah oleh Arya. Grup Theon mempersiapkan diri. Lyanna menunggu gerbang didobrak. Suasana kaos total. Sampai di titik ini, kita telah menyelesaikan babak pertama.

Miguel Sapochnik, sutradara untuk S8E3, mengatakan mereka membagi cerita jadi tiga genre. Babak pertama merupakan suspensi dan pembangun cerita. Miguel menandaskan bagian ini menggunakan teknik build up cerita monster ketika monsternya belum terlihat. Dalam hal ini, saya lihat segalanya dimulai ketika Dothraki habis dibantai  dalam senyap. Namun, wajah para wight belum terlihat. Hal ini menciptakan ketegangan dan kegelisahan pada wajah tokoh-tokoh lain.

Babak kedua memberi fokus pada Arya hampir 80 persen. Pertempuran di atas dinding terus memaksanya mundur. Di tempat lain The Hound kehilangan nyali dan Beric yang melihat Arya dalam kesulitan segera bertanya pada The Hound apa yang mau ia lakukan. Dari sisi karakter dan lokasi, Arya bergerak turun melewati lorong hingga tiba di perpustakaan. Genre berubah menjadi genre horor, dengan suasana gelap dan senyap, kontras terhadap suasana di luar yang kaos dan berlatar api. Bagian ini paling menegangkan karena hampir sepanjang cerita Arya harus bertahan sendiri. Sedikit banyak, saya malah teringat dengan gim “Resident Evil” dan sejenisnya. Lokasi sempat beralih pada The Hound dan Berick yang mencari Arya. Mereka bertemu di satu titik dan membarikade sebuah ruangan. Di dalamnya ada Melisandre.

Bagian ketiga menjadi genre action. Perang di udara terjadi ketika  Danearys dan John harus melawan naga berapi biru, Viserion, milik Night King. Dany sempat membakar Night King, tetapi gagal. John coba menyerang, alih-alih Night King malah menghidupkan orang-orang yang baru mati untuk mengepung John. Sementara itu, rubanah yang diyakini sebagai tempat teraman menjadi ladang pembantaian karena sihir Night King ikut membangkitkan mumi-mumi leluhur keluarga Stark. Di taman Godswood Theon dan para ironborn mati-matian menjaga Bran sampai tinggal Theon dan Bran yang tersisa hidup. John yang tadinya di luar benteng berhasil masuk. Ia melaju melewati rekan dan tokoh lain yang nyawanya sudah di ujung tanduk. Namun, usahanya pergi ke Godswood terhalang oleh Viserion. Jorah bertahan di luar benteng bersama Dany dan kedua naganya yang terluka. Night King berhadapan dengan Bran. Sebagai puncak dari situasi yang sudah luar biasa genting dan tak tertolong ini, Arya menjadi penyelamat karena sukses membunuh Night King. Wight dan Nightwalker berjatuhan jadi debu.

Kita baru selesai memecah adegan, plot, babak. Namun, buat saya bedah GoT belum kelar di sini.

Jika kita menarik garis yang lebih panjang, sebenarnya episode 3 ini dibagi 5 bagian:
- Pembuka: Sam menuruni tangga dan berpapasan dengan Tyrion, sementara persiapan final untuk perang tengah berlangsung.
- Wight menjebol benteng (genre suspense)
-Arya melawan zombi di perpustakaan (genre horor)
- Semua adegan perang di luar dan di halaman benteng, rubanah, dan Godswood (genre action)
- Penutup: Melisandre menyongsong pagi

Bayangkan, kita membuat grafik. Cerita bergerak naik dengan pelan di bagian pembuka kemudian temponya naik dengan stabil di bagian awal suspense dan meningkat drastis saat pertahanan jebol. Ketegangan bertambah saat masuk ke genre horor, turun sebentar dengan adanya dialog Arya—Melisandre. Begitu masuk ke genre action, tempo dipacu makin cepat sampai momen Arya membunuh Night King. Baru setelah itu tempo turun sampai adegan penutup selesai.

Cooling Down Pendek

Namun, tidak mungkin membuat cerita hanya terus-terusan naik tempo dan tingkat ketegangannya. Penonton butuh cooling down pendek di antara adegan ketika berhadapan dengan suspense tingkat tinggi. Hal ini dilakukan dengan memberi gambar-gambar yang diam atau indah. Contohnya dalam babak ‘genre suspense’ dan ‘genre action’), sesekali gambar hanya memperlihatkan langit biru di atas awan, dengan dua naga mengepakkan sayap seperti kupu-kupu. Adegan seperti ini, meski tidak lebih dari 4 detik, memberi jeda buat penonton untuk mengambil napas sebelum lanjut ke adegan yang menegangkan lagi. Jadi, jika kita kembali lagi pada grafik, ada gelombang naik turun kecil di antara ketegangan.

Cara lainnya adalah dengan memberi drama. Sekali lagi, berpegang pada kata-kata para penulis, sutradara, dan editor cerita: cerita harus tetap disampaikan. Kita harus mengingat bahwa adegan perang minim kata dan biasanya hanya monolog perintah untuk melakukan sesuatu. Jadi, kehadiran dialog yang tenang, membantu penonton untuk merasakan bahwa masih ada sisi manusiawi di tengah perang.

Adegan di dalam rubanah dan Godswood sebenarnya menjadi cooling down dari ketegangan di luar. Tempat-tempat yang sunyi seperti ini membantu sensori penonton untuk rileks.  Isi percakapan antara Tyrion—Sansa dan antara Theon—Bran selain jadi faktor cooling down, juga pembangkit emosi. Tyrion dan Sansa cukup canggung dan berjarak sejak mereka bertemu kembali di S8E1. Untuk pertama kalinya Sansa bisa tersenyum dan memuji Tyrion dalam episode ini. Sementara itu, percakapan Bran dan Theon menjadi titik emosional pamungkas, semacam pengakuan Bran atas loyalitas Theon yang sempat hilang. Intinya, penonton diberi kesempatan untuk bersimpati pada tokoh-tokoh tertentu.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, inilah beberapa hal yang bisa dipelajari dari GoT S8E3 dalam membuat episode perang:
- tempo itu kunci. Mulailah dengan tempo pelan lalu bangun ketegangan.

- ketegangan terjadi karena masalah baru muncul dan tidak bisa diselesaikan. Pastikan selalu berpegang pada prinsip sebab akibat.

- jika cerita dan tokoh terlalu banyak dan kompleks, beri fokus pada individual atau grup tertentu.

- jika sebuah plot sudah mencapai titik puncak, beri sedikit cooling down sebelum ke pindah adegan menegangkan selanjutnya.

- selalu ingat bahwa perang itu kejam, brutal, dan tidak indah.

- selalu ingat, dalam situasi berat, ada drama kemanusiaan.

- beri harapan, baik palsu maupun yang sebenarnya. Dalam GoT saat Dany membakar Night King, Dany berharap Night King mati, tetapi tidak terjadi. Penonton juga berharap John yang menyelamatkan Bran, tetapi harapan ini kandas.

- pada peperangan yang menentukan, pastikan ada tokoh yang mati. Setiap tokoh memiliki tujuan. Jika harus mati dalam perang, buat dia mati.

Selamat menulis.


Narasumber:
“Game of Thrones”. Musim ke-8, episode 3. Produksi HBO. Tayang dan ditonton tanggal 29 April 20019.

“The Game of Thrones—Season 8 Episode 3—Game Revealed” oleh GameofThrones. 29 April 2019. Akses pada tanggal 1 Mei 2019.
https://youtu.be/_3M0Xt97aFI

Feminisme dalam Sastra dan Film



Minggu lalu saya membahas film “Sucker Punch” dan “Stratosphere Girl”. Beberapa pekan sebelumnya saya membahas sedikit soal “The Handmaid’s Tale”. Dalam pembahasan kemarin, saya sempat menyerempet satu kali, menggunakan kata feminisme.

Kita sering menggunakan kata tersebut. Saat ini, kadang feminisme dijadikan olok-olokan, seolah-olah kesetaraan gender sudah bukan masalah atau perempuan malah dianggap kelewat menuntut persamaan. Kadang feminisme disamakan dengan lesbian dan antipria.

Untuk memahami feminisme modern, kita harus kembali ke tahun 1949, Prancis. Simone de Beauvoir, seorang feminis dan filsuf, menulis buku “The Second Sex”. Buku ini luncur 4 tahun setelah perempuan bisa ikut pemilu di Prancis. Isinya berbicara tentang perempuan yang dihukum karena seksualitasnya atau dijadikan objek. Misalnya, perempuan dituduh penyihir karena cantik. Perempuan dibenci karena dianggap terlalu menggoda, terlalu menggairahkan, atau malah tidak menggairahkan sama sekali. Bahkan, kadang seksualitasnya dianggap sebagai ancaman (too sexually threatening). Perempuan dituntut untuk melahirkan, mengerjakan tugas domestik, dan tinggal di rumah. Ketika kembali bekerja, di masa itu, upahnya tidak memadai dan pekerjaannya hanya paruh waktu.

Namun, mungkin kita harus mundur sedikit lagi. Gerakan feminisme (modern) saat ini sudah pada gelombang keempat. Gelombang pertama fokusnya pada kesetaraan dan harus ditarik mundur ke abad 19—20 awal. Pada masa tersebut, perempuan menuntut bisa ikut memilih dalam politik, misalnya di Inggris dan Amerika. Ketimbang di Indonesia yang relatif tenang dengan Kongres Wanita yang kemudian kita sebut Hari Ibu (belum bicara soal hak memilih), tuntutan di Amerika dan Inggris mendapat reaksi negatif yang disertai tekanan dan penangkapan. Situasi ini, cukup ditangkap oleh film “Iron Jawed Angels” (meski beberapa plotnya fiktif). Puncaknya, pada tahun 1920, Kongres Amerika meloloskan Amendemen ke-19 yang memberi hak pada wanita untuk memilih. Amendemen ini menjadi pencapaian besar dalam gerakan pertama.

Jika kita kembali pada pandangan Simone de Beauvoir, saya rasa film “Mona Lisa Smile” contoh yang tepat. Film yang dibintangi Julia Robert dan Kirsten Dunst ini merupakan contoh kehidupan tahun 1950-an sebelum gelombang kedua feminisme datang. Dalam film ini, perempuan diharapkan berkeluarga lalu tinggal di rumah dan mengurus suami. Sekolah tinggi tidak perlu. Pencitraan domestikasi sangat penting, bisa dilihat pada iklan dan pin-up yang populer saat itu.

Tahun 1963, buku “The Feminine Mystique” karya Betty Friedan terbit. Betty menentang seksisme yang mengajarkan bahwa perempuan itu tempatnya di rumah dan jika mereka tidak bahagia sebagai istri (ibu rumah tangga), itu karena mereka yang rusak dan salah. Namun, menurutnya, kesalahan itu tak sepenuhnya ada pada wanita, tetapi pada dunia yang menolak perempuan mengekspresikan kreativitas dan intelektualitasnya.

Menurut Constance Grady, penulis di Vox.com, “The Feminine Mystique” tidak revolusioner dari segi ide. Namun, bagaimana buku itu terjual 3 juta kopilah yang membuatnya luar biasa. Boleh dibilang buku ini sampai di tangan para ibu rumah tangga, lalu diteruskan ke teman-teman mereka, dan begitulah rantainya memanjang. Buku ini membangkitkan kesadaran tambahan, bukan hanya kesetaraan politik, tetapi perempuan juga butuh kesetaraan sosial yang selama ini memarjinalkan perempuan sebagai pelengkap dan tugasnya cukup di rumah. Puncaknya pada pengakuan, secara teori, terhadap kesenjangan gaji, hak untuk menggunakan pengendali kehamilan (tahun 60—70-an) baik untuk yang menikah maupun yang tidak, termasuk persoalan KDRT, marital rape (perkosaan yang dilakukan pasangan menikah), dll.

Buku dan film “The Stepford Wives” pertama kali terbit tahun 1972, ditulis oleh Ira Levin (pria, lho!) kemudian dibuat versi filmnya tahun 1975. Film ini, seingat saya, juga menginspirasi Jordan Peele dalam mengerjakan “Get Out”. Dianggap sebagai novel sci-fi satir, sementara filmnya masuk kategori horor, “The Stepford Wives” bercerita mengenai perempuan sudah bisa bekerja (melampaui ekspektasi Simone de Beauvoir), tetapi perempuan penurut yang lebih dipilih (kembali ke permasalahan gelombang kedua feminisme). Suami-suami di daerah Stepford menganggap istri sebagai dekorasi (trophy wife). Saya rasa cerita ini cukup mewakili tema feminisme tahun ‘70-an.

Tahun 1980-an, Amerika dipimpin oleh Reagen yang konservatif. Feminisme saat itu dianggap membosankan dan “lebay”. Ada anggapan kalau perempuan yang tak bahagia, pembenci pria, dan kesepian itu pasti feminis. Pandangan ini menghantui sampai sekarang, tetapi sekaligus menjadi dasar kebangkitan feminisme gelombang ketiga.

Sebelum bicara tentang gelombang ketiga, saya singgung sedikit bahwa “The Handmaid’s Tale” terbit tahun 1985. Isinya secara garis besar membahas hak reproduksi, ‘objektifikasi’ perempuan, dan kekuasaan negara. “The Handmaid’s Tale” telah dibuat versi film (1989), balet; terakhir jadi serial dan versi novel grafis (atau komik) akan terbit.

Gelombang ketiga terjadi tahun 1991. Tidak terlalu jelas sebenarnya batasan gelombang kali ini. Namun, menurut artikel Grady, salah satu pencetusnya adalah kasus Anita Hill yang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Gambaran kasus ini lumayan jelas dalam film “Confirmation”, produksi HBO, tahun 2016.

Jika gelombang kedua lebih menginginkan ‘perempuan’ (woman), gelombang ketiga merangkul para gadis (girl). Grup band The Riot Grrrl secara estetis dianggap sebagai pencetus lain dari gelombang ini. Mereka marah karena cewek dianggap bodoh, jahat, dan lemah (dumb, bad, weak). Namun, landasan gelombang ini masih kurang kokoh.

Gelombang keempat, jika memang kita sekarang berada pada fase keempat, adalah sekarang. Momentumnya dimulai sejak gerakan #MeToo dan Time’s Up dicetus. Gerakan ini, lagi-lagi, mewakili soal pelecehan seksual di tempat kerja di kalangan aktris yang bekerja dengan Harvey Weinstein yang kemudian juga menyeret sederet nama pesohor lain. Meski populer lewat internet pada tahun 2017 dan menjadi gerakan internasional, gerakan atau istilah Me Too sebenarnya sudah ada dari tahun 2006. Tarana Burke mencetusnya sebagai upaya penyadaran atas kekerasan seksual yang dialami perempuan kulit warna.

Gelombang keempat sepertinya lebih didominasi aktivitas dunia maya. Terbukti #MeToo yang diawali di Twitter segera mendapat respon. Gelombang ini juga bersikap lebih terbuka terhadap body positive. Namun, gelombang keempat pun menghadapi cobaan. Masalah kesenjangan gaji antara perempuan dan pria, kekerasan domestik dan seksual masih terjadi, pandangan terhadap kecantikan, bahkan persamaan hukum belum sepenuhnya tercapai.

Penutup

Tidak mungkin saya menulis terlalu rinci. Dalam tulisan ini saya hanya mengangkat garis besar berdasarkan periodenya saja. Masalah feminisme jauh lebih banyak. Saya belum menyentuh permasalahan ras dan etnis, misalnya.

Karangan dan film lokal yang berpihak pada perempuan juga tidak terlalu banyak. Saya pikir, Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami boleh dibilang sebagai penulis feminis dan kemungkinan besar mewakili gelombang ketiga. Sementara itu, N.H. Dini bisa disebut sebagai generasi gelombang kedua. Menariknya, Gusti (situs UGM) menderetkan Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Wijaya, dan Pramoedya A. Toer sebagai novelis yang cukup feminis juga.

Kemudian, apakah masalah perempuan murni harus diselesaikan oleh perempuan saja? Kembali pada Simone de Beauvoir, menurutnya ‘masalah perempuan’ (the woman problem) sebenarnya ‘selalu masalahnya laki-laki’ (always problem of man).

Sebagai penutup, saya kutip kata pengantar yang ditulis Margaret Atwood tahun 2017 pada terbitan baru “The Handmaid’s Tale” untuk menjawab pertanyaan apakah buku ini sebuah buku feminis. Saya terjemahkan secara bebas:


Jika maksud Anda sistem ideologi yang mana semua perempuan adalah malaikat dan/atau menjadi korban tanpa pilihan moral, [jawabannya] tidak. Jika Anda maksud sebagai sebuah novel yang mana perempuan adalah manusia—dengan keragaman karakter dan tingkah laku yang tersirat—juga menarik dan penting, dan apa yang terjadi pada mereka krusial terhadap tema, struktur, dan plot dalam buku, [jawabannya] ya.
(Halaman XII)

Narasumber:

“What would Simone de Beauvoir make of #MeToo?”
BBC.  Narasi oleh Beatrix Campbell (writer and broadcaster). 26 Maret 2019. Akses 26 Maret 2019
https://www.bbc.com/ideas/videos/what-would-simone-de-beauvoir-make-of-metoo/p074jgtp

“Rebecca Walker on Third Wave Feminism | All About Women 2018”.
Sydney Opera House Talks & Ideas. 6 Maret 2018. Akses 26 Maret 2019.
https://youtu.be/dQKgJ1PJzBs

“The waves of feminism, and why people keep fighting over them, explained” oleh Constance Grady. 20 Juli 2018. Akses 6 April 2019
https://www.vox.com/2018/3/20/16955588/feminism-waves-explained-first-second-third-fourth

“Iron Jawed Angels”. Akses 6 April 2019.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Iron_Jawed_Angels

“Mona Lisa Smile”. Oleh Roger Ebert. 19 Desember 2003. Akses 6 April 2019.
https://www.rogerebert.com/reviews/mona-lisa-smile-2003

“Confirmation”. Wikipedia. Akses 8 April 2019.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Confirmation_(film)

Me Too Movement. Akses 8 April 2019.
https://metoomvmt.org/

“Me Too Movement”. Wikipedia. Akses 8 April 2019.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Me_Too_movement

“Everything you wanted to know about fourth wave feminism—but were afraid to ask” oleh Jessica Abrahams, Prospect Magazine, 14 Agustus 2017. Akses 8 April 2019.
https://www.prospectmagazine.co.uk/magazine/everything-wanted-know-fourth-wave-feminism

“Empat Penulis Novel Feminis Indonesia” oleh Gusti, 23 Oktober 2012. Akses 8 April 2019.
https://ugm.ac.id/id/berita/4622-empat.penulis.novel.feminis.indonesia

“6 Penulis Novel Perempuan Indonesia dan Karya Mereka yang Legendaris” oleh Nadia Fauzia. 6 Maret 2018. Akses 14 April 2019.
https://blog.gotomalls.com/2018/03/6-penulis-novel-perempuan-indonesia/amp/

“The Handmaid’s Tale” oleh Margaret Atwood. Penerbit Vintage, London, cetakan 2017.

Sucker Punch dan Stratosphere Girl: Underrated Film tentang Imajinasi

Saya heran, film keren kayak “Sucker Punch” gak 'lolos' pujian kritikus. Meski kelihatan seperti film action, sebenarnya film ini lumayan dalam dan perlu mikir ekstra. Jadi, untuk kategori film berbasis pahlawan, memang film berat. Toh, sudah diimbangi dengan kualitas FX yang keren. Jadi, seharusnya, film ini bisa diterima penikmat film  mainstream. Setidaknya, yang gak kuat mikir berat masih bisa enjoy; yang menikmati seni dan filsafat juga terlayani.

Kalau kita lihat plotnya, ada beberapa plot di sini. Secara garis besar diceritakan oleh Baby Doll yang imut. Satu lagi dari sisi Sweet Pea. Kedua tokoh memiliki masa lalu yang cukup kelam yang cukup berpengaruh pada psikologi mereka. Ceritanya sendiri berputar pada usaha mereka (bersama dua tokoh lain) melarikan diri.

Lari dari apa?

Nah, di sini letak menariknya. Karena kita sudah bicara soal teks, subteks, dan konteks, seharusnya lebih mudah bagi kita untuk melihat benang merah cerita. Seingat saya cerita ini diset tahun ‘60-an. Di masa itu, hak-hak dan fungsi perempuan belum sepenuhnya seperti sekarang. Jadi, perempuan sebagai superheroine, jelas tidak sesuai konteks masa tersebut.

Sebagai lapisan-lapisan latar belakang dan masalah psikologi, “Sucker Punch” mewakili kisah perempuan sebagai objek, entah objek fantasi atau objek seksual. Tarian Baby Doll yang konon seksi (selalu hanya ditunjukkan sedikit dan langsung ke adegan pertempuran), dianggap sebagai penolong untuk membuat para lelaki terlena. Namun, mengapa langsung masuk ke adegan action? Apa kaitan menari dengan kisah pertempuran epik, dari melawan samurai segede Gaban sampai nuansa peperangan ala PD II? Apakah tarian merupakan perang terhadap fantasi lelaki? Apakah ini merupakan mekanisme Sweet Pea untuk bertahan hidup dengan menciptakan imajinasi?

Apakah ini merupakan subteks? Saya yakin, ya.

Ending “Sucker Punch” tidak terlalu definitif. Artinya, bisa dibilang sebagai sebuah open ending, akhir terbuka yang bebas diinterpretasi oleh penonton. Apakah Sweet Pea berhasil keluar dari rumah sakit jiwa atau apakah itu sekadar kebebasan imajinatif? Jika kita kaitkan dengan pembuka cerita yang seolah-olah kita menonton sebuah pertunjukan panggung (adegan tirai dibuka), ini sebuah petunjuk subteks yang cukup penting. Bukan cuma subteks, film ini juga banyak meletakkan simbol-simbol untuk dipecahkan.

Menonton “Sucker Punch”, saya rasa, tidak cukup satu kali. Film ini sebenarnya semakin bisa dinikmati setelah ditonton lebih dari sekali. Mungkin yang pertama untuk menikmati gambar dan kali selanjutnya untuk memahami cerita.

Sekarang, bandingkan “Sucker Punch” dengan “Stratosphere Girl” (sinopsis bisa dibaca pada tautan yang saya tulis di akhir artikel). Film yang jauh lebih lawas ini juga mengangkat tema hampir sama. Tokoh utama pergi ke Jepang, jadi hostess, dan menyelidiki sebuah kasus pembunuhan. Benang merahnya terletak pada kesamaan atas tidak jelasnya batas imajinasi dan pemanfaatan perempuan sebagai objek. Pada “Stratosphere Girl” penonton juga bisa menginterpretasi akhir cerita dengan bebas. Apakah ini cerita sungguhan, khayalan si tokoh yang memang artis manga, atau campuran?

Kembali ke pernyataan awal saya, mengapa kritikus tidak terlalu mengapresiasi film “Sucker Punch”? Mungkin karena selera dan ekspektasi kita terhadapan tontonan superhero terlalu mainstream. Hanya ada sedikit cerita heroisme yang dalam dari sisi psikologi. Kebanyakan hanya cerita permukaan, cepat, dan mudah dipahami oleh berbagai tingkat usia dan pendidikan.

Lalu apa pentingnya dua film ini? Saya pikir keduanya hanya sedikit dari contoh film sarat konteks dan subteks. Di luar kedua film ini, saya rasa film “AmeliĆ©” (Perancis) dan “Millennium Actress” (animasi Jepang) memperlihatkan bagaimana leburnya fantasi dan kenyataan dalam bentuk cerita dan visual sebagai kesatuan subteks dan konteks.

Ada satu hal menarik yang saya pelajari dari dua artikel yang saya sertakan baik “Sucker Punch” dan “Stratosphere Girl”. Ada dialog atau monolog tokoh tertentu yang menjadi kunci untuk menjawab apakah segalanya hanya khayalan atau tidak. Untuk yang ini, Anda harus mengakses kedua tautan yang saya sertakan di akhir tulisan.


Jadi, apa saja yang bisa kita pelajari dari film-film ini?

- Bagaimana menceritakan imajinasi yang lebur dengan khayalan,

- bagaimana konteks penting untuk memahami jenis cerita psikologi,

- pentingnya pemahaman penulis (skenario) mengenai filsafat (misalnya feminisme, eskapisme, dan kapitalisme) dan psikologi untuk bisa menciptakan hubungan sebab akibat yang kuat antara tokoh dan latar belakang mereka.

- cerita yang berat tidak berarti tak menghibur. Targetkan penonton Anda. Segmentasi seringkali lebih baik. Banyak film yang tidak laku secara komersial, tetapi dihargai di kemudian hari. “Sucker Punch” bukan box office dan tidak panen pujian. Namun, ke belakang sepertinya banyak yang menghormati film ini.

Selamat menulis.

Data Sucker Punch

Sutradara: Zack Snyder
Naskah: Zack Snyder, Steve Shibuya
Pemeran: Emily Browning, Abbie Cornish, Jena Malone, Vanessa Hudgens, Jamie Chung, Carla Gugino, Oscar Isaac, Jon Hamm, Scott Glenn
Rilis: 25 Maret 2011
Negara pembuat: Amerika Serikat, Kanada

Data Stratosphere Girl

Sutradara: Matthias X Oberg
Naskah: M. X. Oberg
Pemeran: Chloe Winkel, Jon Yang, Rebecca R Palmer, Tuva Novotny, Tara Elders, Linda Steinhoff, Filip Peeters, Togo Igawa
Rilis: 9 September 2004
Negara pembuat: Jerman dan regional Eropa

Narasumber

Untuk memahami lebih dalam soal “Stratosphere Girl”, silakan baca artikel ini (dengan judul sama, ditulis oleh Fatchur Rochim) yang saya akses tanggal 2 April 2019: https://m.kapanlagi.com/film/insight-hollywood/stratosphere-girl.html

Dan untuk lebih mendalami soal “Sucker Punch”, silakan lihat video komentar “You Don’t Understand Sucker Punch” oleh ASCseries yang saya akses tanggal 31 Maret 2019: https://youtu.be/qQm1rBqh53Y

Pencarian Artikel

Entri yang Diunggulkan

Samurai Seven: Siapa Pemenang Sebenarnya

Inilah salah satu cerita terbaik yang pernah saya tonton. Baik versi asli maupun anime sangat menarik. Seven Samurai (1954) memiliki be...

Artikel Terpopuler Minggu Ini