Menurut Encyclopedia Britannica, satire merupakan bentuk artistik, terutama dalam sastra dan drama, yang mana kejahatan, kebodohan,
penyalahgunaan, atau kekurangan manusia
atau individu diangkat untuk DIKECAM dengan
ejekan, ironi, parodi, karikatur, atau metode lain,
kadang-kadang dengan niat untuk MENGILHAMI REFORMASI SOSIAL.
Satire sebagai Genre
Sebagai genre, satire berisi ironi, humor, atau ejekan yang digunakan untuk MENGKRITIK dan MENGEKSPOS kekurangan dalam sifat dan perilaku manusia.
Satire sering kali lucu, tetapi tidak harus. Dia juga tidak sama dengan parodi.
Satire sebagai Alat Sastra
Sebagai perangkat sastra, satire sering digunakan untuk mengkritik politik dan isu-isu topikal.
Brave New World (Aldous Huxley) adalah contoh sastra yang terkenal. Huxley menyindir sebagian besar konvensi (permufakatan) dan institusi sosial yang dianggap suci dan dicintai oleh masyarakat Barat yang "maju". Termasuk di dalamnya adalah soal agama, monogami, dan kesetaraan sosial. Dalam novel ini, konvensi dan institusi itu dijungkirbalikkan sampai-sampai tokohnya menganut seks bebas dan memakai narkoba, termasuk satire terhadap pemisahan kelas sosial dan kontrol pemerintah. Huxley menyindir masyarakat kontemporer untuk memaparkan kepada pembaca tentang struktur moral yang sewenang-wenang dan sering kali munafik.
Medium
Termasuk literatur, film, dan musik. Bentuk lainnya adalah kartun/komik politik, puisi, bahkan seni visual.
Tujuan
Untuk MENGHIBUR penonton dan membuat mereka BERPIKIR LEBIH tentang suatu subjek.
Jenis Satire
Menurut Kyle DeGuzman, ada tiga jenis satire.
1. Horatian Satire
Memakai humor untuk mengolok orang atau kejadian dengan cara yang lucu.
Contoh: acara TV 'Saturday Night Live'
2. Juvenalian Satire
Lebih serius dan gelap daripada Horatian, sering dipakai untuk mengekspresikan kemarahan.
Biasanya dipakai dalam fiksi distopia.
Contoh: Animal Farm dan Fahrenheit 451
3. Menippean Satire
Satire yang mengkritik sistem kepercayaan umum
ketimbang seseorang atau individu.
Contoh: South Park
Contoh Cuplikan Satire
The Devil’s Dictionary oleh Ambrose Bierce adalah kumpulan definisi satire yang pedas. Banyak menyoroti gagasan yang dianggap penting oleh masyarakat, seperti doa, pernikahan, dan persahabatan; semua digambarkan dalam humor yang gelap. Beberapa contoh isinya:
Cinta, kata benda. Kegilaan sementara yang dapat disembuhkan dengan pernikahan.
dan
Sabar, kata benda. Sebuah bentuk kecil dari keputusasaan, menyamar sebagai kebajikan.
Contoh Karya
- The Invisible Man (Ralph Ellison)
- Slaughterhouse-Five (Kurt Vonnegut)
- The Importance of Being Earnest (sandiwara satire tentang norma budaya cinta dan pernikahan di masa Victorian, oleh Oscar Wilde)
- Family Guy (serial kartun yang menampilkan satire soal masyarakat sosial menengah Amerika)
- Shrek (film kartun dengan satire terhadap dongeng)
- Deadpool (film yang memberi satire terhadap superhero)
- The Office (seri komedi yang menyelipkan satire tentang budaya kerja dalam perusahaan)
- Gangnam Style (lagu ini merupakan satire gaya hidup orang kaya di Korsel)
Narasumber
DeGuzman, Kyle. "What is Satire — 3 Types of Satire Every Storyteller Should Know". Studio Binder, 25 Juli 2021.
Video terbaru membahas soal mite atau lebih dikenal sebagai mitos. Ini merupakan perkenalan singkat dari definisi, manfaat, dan contoh. Semoga membantu teman-teman dalam menulis.
Karya-karya besar banyak terpengaruh oleh mitos, termasuk Shakespeare memanfaatnya dengan baik dalam Macbeth. Film TheLighthouse secara masif juga memanfaatkan mitos dan mitologi. Artinya, menggunakan, membuat interpretasi baru, atau menceritakan versi baru sebuah mitos dapat dilakukan oleh pengarang.
In medias res adalah bahasa Latin yang artinya di tengah sesuatu. Dalam karya fiksi, termasuk puisi, istilah ini menggambarkan narasi yang langsung masuk ke tengah situasi kritis yang merupakan bagian dari deretan kejadian dan nantinya akan dikembangkan. Dalam bahasa yang lebih ringkas, cerita 'dimulai' dari pertengahan yaitu pada sebuah kejadian penting, baru kemudian mulai dari awal. Setelah dimulai di tengah, penulis kemudian bebas untuk menceritakan keseluruhan cerita dari awal atau menggunakan flashback.
Fungsi
In medias res, untuk saya, memaksa pembaca atau penonton untuk segera waspada bahwa cerita berada di titik kritis. Menurut Literary Devices, pembaca juga akan dipaksa untuk bertanya-tanya pada si pengarang, dalam artian bertanya-tanya apa yang terjadi dalam cerita. Hal ini memaksa pembaca atau penonton mempertanyakan segala aspek dan kejadian dalam cerita tersebut.
Ciri
Selain dimulai di tengah atau menjelang akhir cerita, tvtropes juga melihat in medias res biasanya melibatkan tokoh berada dalam situasi hidup dan mati. Meski, biasanya masih hidup.
Contoh
Contoh tertua dari penggunaan in medias res adalah The Illiad oleh Homer.
Dari dunia anime, Psycho-Pass dimulai dengan adegan perkelahian antara Shinya dan Makishima. Setelah itu cerita berjalan normal dari awal sampai akhirnya kita kembali menemukan adegan pertarungan itu. Pada Naruto Shippuuden, lima menit adegan pembuka, baru akan ditampilkan lagi setelah 40 episode.
Serial buku Twilight (Stephenie Meyer) selalu dibuka dengan teknik in medias res.
Video game Warriors Orochi, Persona 5, dan beberapa serial Final Fantasy juga memakai teknik ini (FF VII, X, XIII, XV)
Serial televisi seperti Breaking Bad memulai sekian menit cerita pada adegan yang menegangkan, membuat penonton bertanya-tanya, dan sulit meninggalkan kursi sebelum cerita flashback.
Untuk film, sutradara Christopher Nolan sering menggunakan teknik ini. Misalnya dalam Batman Begins, The Prestige, dan Inception.
False Protagonist atau kadang disebut decoy protagonist (Protagonis Palsu) adalah salah satu teknik plot twist yang cukup sering dipakai. Di sini, tokoh dibuat seolah-olah sebagai tokoh utama pada awal cerita, tetapi kemudian posisinya digantikan oleh tokoh lain.
Apa manfaat menggunakan teknik ini? Teknik ini dipakai untuk membuat cerita lebih dikenang karena membuat pembaca atau penonton percaya bahwa tokoh tersebut tokoh utama, tetapi ternyata bukan.
Menampilkan protagonis atau tokoh utama palsu ini bisa dengan bermacam cara.
A. Yang paling sering dipakai adalah dengan membunuh si tokoh. Misalnya dalam "Game of Thrones" musim pertama, penonton diyakinkan bahwa Ned Stark adalah tokoh utama cerita. Kematiannya pada episode terakhir membuat penonton terkejut dan menduga-duga siapa sebenarnya tokoh utama dari keluarga Stark. Dalam film "The Godfather", Vito Corleone adalah pemimpin keluarga dan menjadi pusat cerita sebelum ia sakit dan meninggal. Tokoh utama kemudian diganti oleh anaknya, Michael.
B. Masih dengan membunuh si tokoh, tetapi dengan memanfaatkan aktor ternama setelah muncul 5—15 menit. Tentu saja ini lebih cocok ke dalam produksi film. Contohnya, dalam film "Scream", aktris Drew Barrymore hanya bermain selama 15 menit. Namun, dalam promosi film, ia ditampilkan paling menonjol. Film lain yang menggunakan teknik ini adalah "Children of Men". Tokoh Julian yang diperankan Julianne Moore tampak sangat menjanjikan. Penonton akan berharap bahwa tokoh ini menjadi protagonis kedua dalam film. Apalagi dalam cerita, Julian adalah mantan istri tokoh utama. Saya tidak ingat tepatnya, tetapi tokoh Julian tewas dalam waktu 15—30 menit setelah tampil.
C. Menggeser tokoh yang tadinya protagonis menjadi antagonis. Dalam "Aladdin", cerita dibuka oleh sang penyihir yang melakukan perjalanan sulit dari Moroko ke Cina demi mendapatkan lampu ajaib. Sudut pandang ini baru diubah setelah ia membiarkan Aladdin terjebak di dalam gua. Cerita pun sekarang berasal dari Aladdin dan menjadikan si penyihir sebagai antagonis.
D. Menggeser tokoh utama pelan-pelan. Yang ini agak jarang karena tokoh utama dan tokoh pengganti biasanya sama-sama protagonis. Dalam serial anime "Psycho-Pass", tokoh Shinya yang tadinya menjadi sorotan, perlahan-lahan digantikan oleh Akane.
Hamlet seorang pangeran yang ayahnya telah meninggal selama beberapa waktu. Ibunya kemudian menikah dengan pamannya, Claudius, yang sekarang menjadi raja. Hamlet benci pernikahan itu.
Suatu malam, Hamlet bertemu hantu yang memintanya membalas dendam karena dialah sang raja yang dibunuh oleh Claudius. Hamlet pun bersiap. Namun, dia bukan tipe orang yang terburu-buru. Ia banyak merenung. Hal ini membuat cemas sang ratu, Gertrude, dan mengutus teman-teman Hamlet untuk mencari tahu. Polonius, seorang pejabat rumah tangga istana, menduga Hamlet sedang tergila-gila pada putrinya, Ophelia. Namun, Hamlet tidak tertarik. Ia menyuruh Ophelia pergi ke biara wanita.
Ketika lewat grup teater keliling, Hamlet mendapat ide untuk mengetes apakah Claudius si paman bersalah atau tidak. Dalam pertunjukan itu ada sebuah adegan yang dibayangkan Hamlet begitulah cara Claudius membunuh ayahnya. Ketika melihat adegan itu Claudius langsung pergi. Bagi Hamlet, inilah buktinya. Hamlet kemudian hendak membunuh pamannya, tetapi sang paman sedang berdoa. Hal itu membatalkan niatnya karena menurut Hamlet jika Claudius mati saat berdoa, arwahnya akan menuju surga.
Setelah itu Hamlet berhadapan dengan ratu di kamar. Ia tidak tahu kalau Polonius menguping dan ketika mendengar keributan, Hamlet menghunuskan pedangnya sebagaimana ia mengira Claudius yang bersembunyi. Polonius mati. Akibatnya Hamlet segera dikirim ke Inggris. Namun, diam-diam Claudius memerintahkan teman-teman Hamlet yang akan menemani perjalanan itu untuk memastikan Raja Inggris menghukum mati Hamlet.
Kematian Polonius membuat Ophelia hilang akal dan bunuh diri. Laertes, anak Polonius, pun marah setelah Claudius meyakinkan bahwa Hamletlah pembunuh keduanya. Claudius memanfaatkan situasi ketika Hamlet harus kembali karena kapalnya diserang perompak. Ia pun memanfaatkan kemarahan Laertes yang ingin membalas dendam. Sebuah duel direncanakan. Pada pedang milik Laertes, Claudius membubuhkan racun. Sebagai rencana cadangan, jika Hamlet yang menang, gelas anggurnya telah dibubuhi racun.
Hamlet tiba saat pemakaman Ophelia. Merasa sangat berduka, Hamlet menyerang Laertes dan mengatakan bahwa sebenarnya ia sangat mencintai Ophelia. Setelah kembali ke kastil, ia meyakini bahwa salah satu dari mereka harus mati karena kematian bisa datang kapan saja. Tak lama kemudian, datanglah utusan Claudius yang mengatur duel antara Laertes dan Hamlet.
Duel pun berlangsung. Hamlet berhasil melukai Laertes, tetapi menolak anggur yang ditawarkan Claudius. Malah, Ratu Gertrude yang meminumnya lalu tewas. Duel kembali berlangsung. Kali ini menyebabkan Hamlet terluka. Namun, ia masih hidup. Pertarungan terus berlangsung dan akhirnya Laertes terluka oleh pedang beracunnya. Sebelum tewas, ia memberi tahu bahwa Claudius bertanggung jawab atas kematian sang ratu. Hamlet menusuk Claudius dengan pedang beracun lalu memaksanya minum sisa anggur. Claudius tewas. Hamlet sendiri mati tak lama kemudian.
Kalian baru saja mendengarkan sinopsis superpendek dari Hamlet. Cerita tragedi ini dianggap sebagai karya Shakespeare yang paling kompleks, paling sering dibahas, dan paling sering diproduksi entah dalam bentuk film, televisi, maupun radio, terutama di masa modern. Tapi kenapa?
7 Alasan Mengapa kamu harus membaca Hamlet
1. Relevan
Apa yang ditampilkan dalam Hamlet merupakan permasalahan abadi manusia. Ada pembunuhan, dendam, keserakahan, konspirasi, tipu daya, dan pergumulan batin.
Claudius menginginkan kekuasaan. Ia mengkudeta raja yang sah. Hantu raja dan Hamlet dendam pada Claudius. Hamlet merencanakan pembalasan.
Claudius memanipulasi Laertes dan berkonspirasi membunuh Hamlet untuk mengamankan kejahatannya. Melakukan duel demi harga diri plus tipu daya pembunuhan, hanya berakhir dengan kematian.
Relevan? Sering mendengar atau membaca kasus seperti ini? Ya. Dalam masa modern/ harta dan kekuasaan masih menjadi pemicu nafsu. Kita banyak mendengar kasus pembunuhan yang berbasis penguasaan atau kekayaan, juga demi harga diri. Dan semua itu membuat kita bertanya-tanya, mengapa mereka melakukannya.
2. Tema
Sebenarnya, apa sih tema besar Hamlet? Saya yakin kalian langsung bisa menebaknya. Ya. Balas dendam. Sepanjang cerita berisi pemikiran tentang membalas dendam. Namun, baru menjelang akhir cerita dendam itu dilaksanakan.
3. Karakter
Apakah Hamlet jahat? Menginginkan kematian dan membalas dendam, tentu bukan perbuatan terpuji. Saya pikir Hamlet seorang antihero jika bukan karakter abu-abu. Ada pergeseran dari tokoh baik menjadi gelap. Dia masih memiliki moralitas. Namun, sepertinya dia terjebak dalam pikirannya.
Claudius, di lain pihak memainkan peranan antagonis merangkap penjahat (villain) dan meskipun dia menyadari perbuatannya salah, dia tidak melepaskan diri. Di sinilah tragedi sebenarnya berawal. Seandainya Claudius mengakui kejahatannya dan mengusahakan rekonsiliasi dengan Hamlet, mungkin meski tidak berakhir happy ending, tingkat tragedinya tidak sekelam akhir yang kita lihat.
4. Dilema
Hamlet menyadari kejahatannya ketika dia ingin memastikan Claudius mati masuk neraka. Kenyataan Claudius berdoa menjadi dilema moral bagi Hamlet.
Ia juga mengalami krisis eksistensial dalam beraksi, dan pikiran-pikiran soal kematian:
To be or not to be—that is the question:
Whether ’tis nobler in the mind to suffer
The slings and arrows of outrageous fortune,
Or to take arms against a sea of troubles
And, by opposing, end them ...
(Hamlet, Act 3, Scene 1.)
(Melakukan atau tidak—itu pertanyaannya:
Apakah lebih mulia berpikir untuk menderita dari
Pengumban dan panah keberuntungan yang memalukan,
Atau mengambil senjata/ melawan lautan masalah
Dan, secara bertentangan, mengakhirinya.)
5. Moral
Siapa yang paling diuntungkan dalam cerita ini? Tidak ada. Tidak satu tokoh pun mendapat keuntungan.
Obsesi Hamlet membuatnya lupa ada sisi lain kehidupan. Laertes terbawa amarah dan dendam sehingga mudah dimanipulasi.
Mungkin korban yang paling sia-sia adalah Ophelia. Pikirannya polos dan hanya jadi komoditas Polonius untuk menguatkan posisinya dalam hirarki kerajaan.
Bagaimana dengan Hantu? Ya, dendamnya sudah terbalas. Namun, apakah sepadan dengan membawa kematian bagi istri dan anaknya? Bukankah keinginannya terdengar egois?
Mungkin pertanyaannya jadi lebih besar:
Apakah membalas dendam menjadi satu-satunya cara menyelesaikan masalah?
Apakah membalas dendam harus dengan membunuh?
6. Terbuka pada interpretasi
Cerita Hamlet tergolong terbuka untuk perdebatan, lho. Makanya banyak ahli yang mempertanyakan perihal psikologi, kebiasaan, sosiologi, dan aspek lain yang terkait dengan cerita ini.
Misalnya ada perdebatan apakah Hamlet gila, sekadar terbawa nafsu, atau terobsesi? Kenyataan dia mengingkari perasaannya pada Ophelia buat saya menunjukkan dia orang yang waras dan penuh kalkulasi. Dia juga seorang pemikir sehingga monolognya filosofis.
Lalu apakah Ophelia benar-benar bunuh diri atau jatuh ke air? Apakah tenggelam merupakan simbolisme atau metafora atas kejadian lain?
Bagaimana dengan Ratu Gertrude? Sepertinya dia memang terlibat perselingkuhan karena diisyaratkan oleh Hantu. Namun, apakah dia terlibat persekongkolan pembunuhan? Dia terlihat kaget ketika Hamlet menuduhnya. Apakah dia tahu kalau anggur untuk Hamlet sebenarnya sudah diracun? Mengapa dia berkata
"I will, my lord; I pray you, pardon me" (Act 5, scene 2.)
Saya akan (meminumnya), Yang Mulia.
7. Fakta
Hamlet adalah drama terpanjang Shakespeare yang butuh 4 jam penampilan. Tapi jangan salah, Hamlet adalah cerita blockbuster dari masa Shakespeare sampai sekarang. Alasannya? Barangkali Pangeran Hamlet adalah refleksi dari diri kita sendiri yang diam-diam curiga, diam-diam berkomplot dengan kematian, dan siap membalas dendam. Setidaknya dalam pikiran kita.
Setiap cerita memiliki pesan. Bisa dalam bentuk moral, kebijaksanaan, kedewasaan, atau yang lainnya. Moral terbentuk jauh sebelum cerita ditulis, yaitu ketika masih dalam masa digodok. Kita kembali pada tema. Tema apa yang ingin kita sampaikan? Tema inilah yang menjadi dasar dari moral. Tema sendiri akan saya bahas terpisah, ya. Namun, supaya ada gambaran, tema itu semacam esensi dari cerita.
Menurut Steve Alcorn, tema itu pesan yang terkait dengan hasrat yang diinginkan oleh si pengarang. Jadi kalau hasratnya membahas soal lingkungan hidup, tema (pesannya) berupa pentingnya menjaga lingkungan hidup dari kerusakan. Jadi, tema = pesan.
Namun, tidak semuanya menganggap tema sebagai pesan. K. M. Weiland, misalnya, berpendapat bahwa tema sifatnya lebih umum, sedangkan pesan ditemukan dalam situasi cerita yang spesifik, yang mengilustrasikan prinsip-prinsip yang tematis. Jadi, kalau menurut Weiland, contoh tema dalam Jane Eyre adalah kepantasan diri (self-worth). Pesannya adalah bahkan cinta yang luar biasa tidak pantas untuk memperbudak jiwa kita.
Buat saya, melihat kaitan tema dan pesan atau moral itu bisa dengan cara:
Tema + kejadian dalam cerita dan hasil dari kejadian itu = moral/pesan.
Misalnya:
1. Cerita Orang-Orang Proyek (Ahmad Tohari) temanya korupsi. Kejadian dalam cerita adalah jembatan yang dibangun cepat rusak karena dana proyek dikorupsi. Pesannya: korupsi menguntungkan sebagian kecil pihak, tetapi lebih banyak memberi sengsara bagi rakyat.
2. Lelaki Harimau memiliki tema KDRT. Dalam cerita, KDRT yang dilakukan ayah si protagonis menyebabkan si protagonis dendam. Jadi pesannya: KDRT, baik verbal maupun fisik, menyebabkan luka psikologis yang ditanggung oleh seluruh anggota keluarga.
3. Lords of The Ring salah satu temanya adalah keserakahan. Contohnya Boromir dan Smeagol sangat ingin untuk menguasai cincin. Boromir tewas. Smeagol kehilangan wujud manusia dan pikirannya hanya dipenuhi soal cincin. Pesannya keserakahan tidak membawa kebaikan.
Lalu bagaimana kita menyampaikan sebuah pesan? Bisa terang-terangan maupun implisit. Hanya saja, kalau terang-terangan dan menggurui akan terasa kering dan membosankan jika pesannya merupakan kebenaran umum. Seperti, cuci tangan sebelum makan untuk mengurangi kuman, dendam itu tidak baik, mencontek itu salah, dll. Selengkapnya baca "Pesan (yang Menggurui)".
Nah, untuk menghindari pesan yang menggurui, Weiland menganjurkan dengan melalui empati, rasa peduli pada tokoh dan perasaan mereka. Misalnya, dalam Lelaki Harimau, pembaca akan berempati pada protagonis karena dia mengalami masa kecil yang cukup sulit, melihat bagaimana ibunya smenderita kekerasan seksual dan fisik. Meskipun pembaca tahu bahwa dendam dan membunuh salah, mereka memahami perasaan si protagonis dan dapat menyimpulkan sendiri pesan cerita ini.
Tidak semua orang bisa menangkap pesan sebuah cerita. Namun, separah-parahnya, saya selalu yakin, pembaca pasti bisa menemukan sesuatu, meskipun terasa kabur. Apalagi sebuah cerita biasanya bisa mengandung beberapa lapisan tema dan moral. Serial Harry Potter, misalnya, mengandung tema persahabatan, kerja sama, percaya pada diri sendiri, dll. Karangan saya, Badai, bertema cinta, dendam, pengkhianatan, dan maaf. Dengan begitu ada beberapa pesan dan salah satunya pasti bisa ditangkap oleh pembaca.
Pengarang tidak perlu mencemaskan bahwa pembaca tidak bisa menemukan pesan atau moral cerita. Ketakutan seperti ini hanya membuat cerita jadi menggurui dan membuat pembaca seolah-olah bodoh.
Narasumber
How to Fix Your Novel oleh Steve Alcorn. Theme Perks Press, 2012.
"What's The Difference Between Your Story's Theme and Its Message?" oleh K. M. Weiland di Helping Writers Become Authors.com. Tanggal 14 Desember 2014.
https://www.helpingwritersbecomeauthors.com/storys-theme-2/ (diakses tanggal 23 November 2019)
Catatan: artikel ini saya batasi hanya menjelaskan hubungan mentor dan pesan moral.
Dalam cerita-cerita lokal ada kesan bahwa pesan moral harus diungkapkan secara eksplisit oleh tokoh berpengaruh. Padahal sebenarnya pesan moral sifatnya global, bahkan ditentukan jauh sebelum cerita ditulis. Kita bahas pada artikel "Moral: Apa dan Bagaimana".
Meski demikian, boleh-boleh saja tokoh tertentu memberi nasihat, asalkan tidak menggurui (karena menggurui itu klise). Biasanya tokoh yang memberi nasihat ini sepadan dengan 'orang tua bijaksana' entah dalam bentuk master silat, orang tua, guru, profesor, dukun, dll. Dalam bahasa yang ringkas, mereka biasanya disebut mentor.
Tokoh mentor tidak selalu berasal dari generasi tua. Dalam cerita remaja, biasanya teman sepermainan menjadi tempat curhat dan minta saran. Becca Puglisi menjelaskan betapa lebih masuk akal bagi remaja mendapat saran dari teman ketimbang orang tua. Kenapa? Karena sesama remaja lebih mengerti.
Dalam cerita tertentu, orang dewasa atau anak-anak kadang belajar dari anak kecil atau makhluk lain. Misalnya dalam The Little Prince, menurut saya Sang Pangeran menjadi sumber kebijaksanaan bagi tokoh "aku". Dalam buku yang sama, rubah menjadi mentor bagi Sang Pangeran. Dalam Alice's Adventures in Wonderland (versi asli, bukan Disney) ulat bulu, Cheshire Cat, dan Gryphon adalah tokoh mentor. Sementara itu, Secret Garden juga memiliki beberapa mentor. Tokoh anak perempuan menjadi mentor bagi si tokoh anak lelaki. Namun, anak perempuan itu juga memiliki mentor yaitu tukang kebun.
Dalam arketipe karakter, tokoh mentor merupakan peran pembantu. Fungsinya menjadi penuntun protagonis dalam mencapai tujuannya. Dia bisa saja memberi nasihat, tetapi gak harus, ya. Kadang dia juga tidak ingin jadi guru (butuh suatu dorongan untuk menerima protagonis sebagai muridnya). Fred Johnson menekankan bahwa tokoh mentor gak harus bijak. Ingat, semua tokoh pasti punya kekurangan. Bayangkan kalau si mentor superbijak. Bakal panjang dia ngasih petuah. Mungkin si protagonis juga begah dengerinnya. Ujung-ujungnya berasa talk only, no action.
Dalam cerita-cerita yang menarik, tokoh mentor tidak mencekoki protagonis dengan petuah. Tulisan Fred Johnson ini perlu diingat: tugas mentor itu bukan untuk memberi tahu (tell) si protagonis apa yang harus dipikirkan, melainkan mengajarkan bagaimana (how) caranya berpikir.
Bagaimana membuat si mentor mengajarkan how ketimbang tell? Menurut saya, bisa dengan memanfaatkan motto pendidikan dari Ki Hajar Dewantara: di depan jadi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang jadi pendorong.
Entah mengapa cerita-cerita kita senang sekali membuat tokoh yang datang untuk menggurui, menguliahi, menceramahi, ataupun mencekoki tokoh lain dengan nasihat. Datangnya entah dari orang tua, orang yang dituakan, teman superbijak, ketua RT, dan entah siapa lagi. Saya pernah melihat sebuah karya penulis amatir yang berisi tiga orang teman dan dalam 1 bab ada sekitar tiga hingga empat petuah beruntun di antara mereka mulai dari tidak boleh keluar tanpa pendamping, sampai urusan mencuri itu salah. Wow.
Saya tidak bermasalah dengan pesan moral. Setiap karya fiksi punya pesan moral. Masalahnya, di Indonesia telah terjadi salah kaprah bahwa pesan moral itu harus selalu verbal. Dari buku anak hingga dewasa isinya petuah verbal. Tidak boleh begini, harus begitu, ini salah, itu dosa, anu bisa dipenjara, dst. Ini berbeda dengan buku atau film luar yang merangsang pembaca atau penontonnya untuk berpikir sendiri dan mengekspresikan pendapat mereka tentang moral atau pesan cerita.
Tentu saya tidak menolak kenyataan bahwa tidak semua pembaca dan penonton bisa menangkap pesan tersirat. Jika mereka kurang atau tidak berpendidikan, lebih mudah untuk menyampaikan pesan secara eksplisit. Jenis penikmat cerita yang hanya menjadikan cerita sebagai hiburan, misalnya kelas pekerja, mungkin lebih tepat dengan pesan instan ketimbang harus merenung. Itu sebabnya, saya tidak protes jika sinetron di televisi yang gratis kita tonton, bersifat kering, menggurui, dan membosankan. Target penontonnya bukan pencari intelektual.
Hal yang ingin saya sorot adalah buku atau sinema yang seringkali untuk remaja, mahasiswa, dan orang kritis, dipaksa untuk tetap menerima pesan dengan format sinetron dan moral menggurui. Dan yang menjadi masalah menurut saya:
1.Pesan yang literal, verbal, eksplisit, dan menggurui terasa membosankan. Kenapa? Karena si penulis sering membiarkan tokoh berceramah tentang masalah yang sudah diketahui pembaca: membunuh itu salah, mencuri bisa dipenjara, mem-bully tidak baik. Semua orang sudah tahu. Kenapa harus memberi tahu apa yang sudah diketahui pembaca/penonton?
2.Pengarang membuat seolah-olah audiens orang bodoh. Tidak ada audiens yang bodoh. Pengarang harus meletakkan audiens sebagai rekan ketimbang 'bawahan yang dungu dan harus disuapi pengetahuan'. Ini berkaitan dengan poin berikutnya.
3.Pengarang tidak sanggup menahan ego untuk tidak menggurui. Saya tahu 'berbagi kebaikan itu penting'. Namun, pengarang harus ingat bahwa dia mengerjakan cerita, bukan buku kumpulan petuah. Kadang, begitu banyak petuah yang dia sampaikan, sampai-sampai tidak ada hubungannya dengan jalan cerita.
4.Cerita adalah kumpulan konflik. Jika ada yang datang, memberi nasihat, lalu nasihatnya dituruti, konflik telah selesai. Cerita pun ikut selesai. Dan ini berkaitan dengan poin selanjutnya.
5.Deus ex machina adalah jenis plot twist yang tidak disarankan. Plot twist ini menghadirkan tokoh sebagai pamungkas masalah dengan cara yang tidak masuk akal. Aslinya merujuk pada drama Yunani/Romawi kuno yang sering mengakhiri cerita dengan datangnya sang dewa untuk menyelesaikan masalah. Dan itu sebabnya mereka nongol terakhir karena setelah itu cerita pun langsung selesai. Baca Deus ex machina di sini.
Kesimpulannya:
A.Cerita yang menggurui mematikan cerita.
B.Cerita yang menggurui mematikan perjuangan tokoh karena masalah diselesaikan dengan petuah.
C.Pembaca/Penonton tidak diberi kesempatan untuk meresapi secara intelektual dan batiniah atas pesan yang ada.