Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

Aliran Sastra: Eksistensialisme



Eksistensialisme berasal dari kata Latin 'existere' yang artinya 'menonjol'. Aliran ini menurut Fajwah dkk. memandang manusia sebagai subjek dan objek dalam kehidupan ini. Menurut Literary Devices, manusia harus memilih alur hidupnya secara mandiri dan berusaha membuat keputusan rasional di dalam dunia yang irasional.

The Basic Philosophy menambahkan bahwa aliran ini menekankan bahwa manusia sepenuhnya bebas dan harus memiliki tanggung jawab personal, meskipun akan mendatangkan kegetiran, penderitaan, dan ketakutan. Ia juga menekankan pentingnya aksi, kebebasan, dan keputusan sebagai hal penting dalam menghadapi kondisi absurd kemanusiaan yang menyebabkan penderitaan dan kematian yang tak terhindarkan.

Intinya:
1. Manusia bertanggung jawab untuk memberi arti dalam hidupnya di dunia yang absurd ini
2. Satu-satunya cara adalah hiduplah sepenuhnya dalam kehidupan yang tak bermakna itu dengan semangat, ketulusan, dan secara otentik.
3. Manusia didefinisikan oleh tindakan-tindakannya
4. Seseorang menciptakan makna kehidupannya lewat pilihan-pilihan yang dia buat.

Gerakan ini dipenuhi tokoh-tokoh seperti Søren Kierkegaard, Martin Heidegger, G. W. F. Hegel, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Simone de Beauvoir.

Contoh Sastra Nonfiksi

Thus Spoke Zarathustra — Nietzsche
Beyond Good and Evil — Nietzsche
Being and Time — Heidegger
Being and Nothingness — Sartre
The Second Sex — de Beauvoir
The Ethics of Ambiguity — de Beauvoir

Contoh Sastra Fiksi

Salah satu ciri fiksi eksistensialisme adalah rasa bosan, keterasingan, ketakutan, kebebasan, komitmen, dan ketiadaan. Daftar di bawah termasuk naskah sandiwara dari era awal aliran ini.

The Metamorphosis — F. Kafka
The Stranger — Albert Camus
The Myth of Sisyphus — Camus
Merahnya Merah — Iwan Simatupang
Notes from Underground — F. Dostoevsky 
Nausea — Sartre
Waiting for Godot — Samuel Becket
Slaughterhouse-Five — Kurt Vonnegut

Untuk masa yang lebih modern, berikut beberapa buku yang terkenal:
Fight Club — Chuck Palahniuk
Do Androids Dream of Electric Sheep? — Philip K. Dick
The Unbearable Lightness of Being — Milan Kundera

Contoh Cerita

Kedua contoh di bawah pernah diterbitkan di Indonesia.

The Metamorphosis 

(Metamorfosis) Tokoh utama dalam cerita ini berubah menjadi serangga. Sebelumnya, ia seorang pegawai. Boleh dibilang tidak begitu menyukai pekerjaannya. Setelah menjadi serangga, hubungannya dengan dunia luar terputus. Sebagai serangga, dia juga tidak bisa lagi berkomunikasi sehingga dia merasa sendirian.

Notes From Underground

(Catatan dari Bawah Tanah) Tokoh utama menulis banyak hal dalam buku catatannya, terutama soal kebebasan, rasa sakit, keterasingan, nikmatnya rasa sakit, utopia, dll. Meski dalam catatannya dia tampak sangar, pada kehidupan nyata dia terasing, tidak dipedulikan, dan berusaha keras untuk diterima.

Narasumber

"9 Essential Novels for The Modern Existentialist" oleh Grace Srinivasiah. Situs Early Bird Books.
https://earlybirdbooks.com/9-essential-novels-for-the-modern-existentialist

"10 Best Existential Fiction Books That Will Alter Your Existence" oleh Why Read. 1 April 2015.
https://whytoread.com/best-existential-fiction-books/

"10 Existential Films For Philosophy Students" oleh Philosophy in Film. 3 Juni 2017.
https://philosophyinfilm.com/2017/06/03/10-existential-films-for-philosophy-students/

"Existentialism" oleh Literary Devices
https://literarydevices.net/existentialism/

"Existentialism" oleh shmoop
https://www.shmoop.com/literature-glossary/existentialism.html

"Existentialism" oleh The Basic Philosophy.
https://www.philosophybasics.com/movements_existentialism.html

Intisari Sastra Indonesia untuk SMP dan SMA oleh Yadi Mulyadi, Ani Andriyani, dan Auliya Millatina Fajwah. Penerbit Yrama Widya, Bandung. 2017

JOKER untuk Pengarang



Halo sobat buku,

Kalau kamu berniat nonton "Joker" untuk pertama kali atau malah kedua kalinya dan kamu seorang pengarang (pemula atau lanjut), nah, sebaiknya kamu cermati film tersebut. Pelajari apa yang membuat film ini menarik, apa ide-ide besarnya, bagaimana film ini merajut konflik, dan lain-lain aspek.

Kalau bingung apa yang harus diperhatikan, gunakan daftar berikut ini:


Feminisme dalam Sastra dan Film



Minggu lalu saya membahas film “Sucker Punch” dan “Stratosphere Girl”. Beberapa pekan sebelumnya saya membahas sedikit soal “The Handmaid’s Tale”. Dalam pembahasan kemarin, saya sempat menyerempet satu kali, menggunakan kata feminisme.

Kita sering menggunakan kata tersebut. Saat ini, kadang feminisme dijadikan olok-olokan, seolah-olah kesetaraan gender sudah bukan masalah atau perempuan malah dianggap kelewat menuntut persamaan. Kadang feminisme disamakan dengan lesbian dan antipria.

Untuk memahami feminisme modern, kita harus kembali ke tahun 1949, Prancis. Simone de Beauvoir, seorang feminis dan filsuf, menulis buku “The Second Sex”. Buku ini luncur 4 tahun setelah perempuan bisa ikut pemilu di Prancis. Isinya berbicara tentang perempuan yang dihukum karena seksualitasnya atau dijadikan objek. Misalnya, perempuan dituduh penyihir karena cantik. Perempuan dibenci karena dianggap terlalu menggoda, terlalu menggairahkan, atau malah tidak menggairahkan sama sekali. Bahkan, kadang seksualitasnya dianggap sebagai ancaman (too sexually threatening). Perempuan dituntut untuk melahirkan, mengerjakan tugas domestik, dan tinggal di rumah. Ketika kembali bekerja, di masa itu, upahnya tidak memadai dan pekerjaannya hanya paruh waktu.

Namun, mungkin kita harus mundur sedikit lagi. Gerakan feminisme (modern) saat ini sudah pada gelombang keempat. Gelombang pertama fokusnya pada kesetaraan dan harus ditarik mundur ke abad 19—20 awal. Pada masa tersebut, perempuan menuntut bisa ikut memilih dalam politik, misalnya di Inggris dan Amerika. Ketimbang di Indonesia yang relatif tenang dengan Kongres Wanita yang kemudian kita sebut Hari Ibu (belum bicara soal hak memilih), tuntutan di Amerika dan Inggris mendapat reaksi negatif yang disertai tekanan dan penangkapan. Situasi ini, cukup ditangkap oleh film “Iron Jawed Angels” (meski beberapa plotnya fiktif). Puncaknya, pada tahun 1920, Kongres Amerika meloloskan Amendemen ke-19 yang memberi hak pada wanita untuk memilih. Amendemen ini menjadi pencapaian besar dalam gerakan pertama.

Jika kita kembali pada pandangan Simone de Beauvoir, saya rasa film “Mona Lisa Smile” contoh yang tepat. Film yang dibintangi Julia Robert dan Kirsten Dunst ini merupakan contoh kehidupan tahun 1950-an sebelum gelombang kedua feminisme datang. Dalam film ini, perempuan diharapkan berkeluarga lalu tinggal di rumah dan mengurus suami. Sekolah tinggi tidak perlu. Pencitraan domestikasi sangat penting, bisa dilihat pada iklan dan pin-up yang populer saat itu.

Tahun 1963, buku “The Feminine Mystique” karya Betty Friedan terbit. Betty menentang seksisme yang mengajarkan bahwa perempuan itu tempatnya di rumah dan jika mereka tidak bahagia sebagai istri (ibu rumah tangga), itu karena mereka yang rusak dan salah. Namun, menurutnya, kesalahan itu tak sepenuhnya ada pada wanita, tetapi pada dunia yang menolak perempuan mengekspresikan kreativitas dan intelektualitasnya.

Menurut Constance Grady, penulis di Vox.com, “The Feminine Mystique” tidak revolusioner dari segi ide. Namun, bagaimana buku itu terjual 3 juta kopilah yang membuatnya luar biasa. Boleh dibilang buku ini sampai di tangan para ibu rumah tangga, lalu diteruskan ke teman-teman mereka, dan begitulah rantainya memanjang. Buku ini membangkitkan kesadaran tambahan, bukan hanya kesetaraan politik, tetapi perempuan juga butuh kesetaraan sosial yang selama ini memarjinalkan perempuan sebagai pelengkap dan tugasnya cukup di rumah. Puncaknya pada pengakuan, secara teori, terhadap kesenjangan gaji, hak untuk menggunakan pengendali kehamilan (tahun 60—70-an) baik untuk yang menikah maupun yang tidak, termasuk persoalan KDRT, marital rape (perkosaan yang dilakukan pasangan menikah), dll.

Buku dan film “The Stepford Wives” pertama kali terbit tahun 1972, ditulis oleh Ira Levin (pria, lho!) kemudian dibuat versi filmnya tahun 1975. Film ini, seingat saya, juga menginspirasi Jordan Peele dalam mengerjakan “Get Out”. Dianggap sebagai novel sci-fi satir, sementara filmnya masuk kategori horor, “The Stepford Wives” bercerita mengenai perempuan sudah bisa bekerja (melampaui ekspektasi Simone de Beauvoir), tetapi perempuan penurut yang lebih dipilih (kembali ke permasalahan gelombang kedua feminisme). Suami-suami di daerah Stepford menganggap istri sebagai dekorasi (trophy wife). Saya rasa cerita ini cukup mewakili tema feminisme tahun ‘70-an.

Tahun 1980-an, Amerika dipimpin oleh Reagen yang konservatif. Feminisme saat itu dianggap membosankan dan “lebay”. Ada anggapan kalau perempuan yang tak bahagia, pembenci pria, dan kesepian itu pasti feminis. Pandangan ini menghantui sampai sekarang, tetapi sekaligus menjadi dasar kebangkitan feminisme gelombang ketiga.

Sebelum bicara tentang gelombang ketiga, saya singgung sedikit bahwa “The Handmaid’s Tale” terbit tahun 1985. Isinya secara garis besar membahas hak reproduksi, ‘objektifikasi’ perempuan, dan kekuasaan negara. “The Handmaid’s Tale” telah dibuat versi film (1989), balet; terakhir jadi serial dan versi novel grafis (atau komik) akan terbit.

Gelombang ketiga terjadi tahun 1991. Tidak terlalu jelas sebenarnya batasan gelombang kali ini. Namun, menurut artikel Grady, salah satu pencetusnya adalah kasus Anita Hill yang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Gambaran kasus ini lumayan jelas dalam film “Confirmation”, produksi HBO, tahun 2016.

Jika gelombang kedua lebih menginginkan ‘perempuan’ (woman), gelombang ketiga merangkul para gadis (girl). Grup band The Riot Grrrl secara estetis dianggap sebagai pencetus lain dari gelombang ini. Mereka marah karena cewek dianggap bodoh, jahat, dan lemah (dumb, bad, weak). Namun, landasan gelombang ini masih kurang kokoh.

Gelombang keempat, jika memang kita sekarang berada pada fase keempat, adalah sekarang. Momentumnya dimulai sejak gerakan #MeToo dan Time’s Up dicetus. Gerakan ini, lagi-lagi, mewakili soal pelecehan seksual di tempat kerja di kalangan aktris yang bekerja dengan Harvey Weinstein yang kemudian juga menyeret sederet nama pesohor lain. Meski populer lewat internet pada tahun 2017 dan menjadi gerakan internasional, gerakan atau istilah Me Too sebenarnya sudah ada dari tahun 2006. Tarana Burke mencetusnya sebagai upaya penyadaran atas kekerasan seksual yang dialami perempuan kulit warna.

Gelombang keempat sepertinya lebih didominasi aktivitas dunia maya. Terbukti #MeToo yang diawali di Twitter segera mendapat respon. Gelombang ini juga bersikap lebih terbuka terhadap body positive. Namun, gelombang keempat pun menghadapi cobaan. Masalah kesenjangan gaji antara perempuan dan pria, kekerasan domestik dan seksual masih terjadi, pandangan terhadap kecantikan, bahkan persamaan hukum belum sepenuhnya tercapai.

Penutup

Tidak mungkin saya menulis terlalu rinci. Dalam tulisan ini saya hanya mengangkat garis besar berdasarkan periodenya saja. Masalah feminisme jauh lebih banyak. Saya belum menyentuh permasalahan ras dan etnis, misalnya.

Karangan dan film lokal yang berpihak pada perempuan juga tidak terlalu banyak. Saya pikir, Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami boleh dibilang sebagai penulis feminis dan kemungkinan besar mewakili gelombang ketiga. Sementara itu, N.H. Dini bisa disebut sebagai generasi gelombang kedua. Menariknya, Gusti (situs UGM) menderetkan Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Wijaya, dan Pramoedya A. Toer sebagai novelis yang cukup feminis juga.

Kemudian, apakah masalah perempuan murni harus diselesaikan oleh perempuan saja? Kembali pada Simone de Beauvoir, menurutnya ‘masalah perempuan’ (the woman problem) sebenarnya ‘selalu masalahnya laki-laki’ (always problem of man).

Sebagai penutup, saya kutip kata pengantar yang ditulis Margaret Atwood tahun 2017 pada terbitan baru “The Handmaid’s Tale” untuk menjawab pertanyaan apakah buku ini sebuah buku feminis. Saya terjemahkan secara bebas:


Jika maksud Anda sistem ideologi yang mana semua perempuan adalah malaikat dan/atau menjadi korban tanpa pilihan moral, [jawabannya] tidak. Jika Anda maksud sebagai sebuah novel yang mana perempuan adalah manusia—dengan keragaman karakter dan tingkah laku yang tersirat—juga menarik dan penting, dan apa yang terjadi pada mereka krusial terhadap tema, struktur, dan plot dalam buku, [jawabannya] ya.
(Halaman XII)

Narasumber:

“What would Simone de Beauvoir make of #MeToo?”
BBC.  Narasi oleh Beatrix Campbell (writer and broadcaster). 26 Maret 2019. Akses 26 Maret 2019
https://www.bbc.com/ideas/videos/what-would-simone-de-beauvoir-make-of-metoo/p074jgtp

“Rebecca Walker on Third Wave Feminism | All About Women 2018”.
Sydney Opera House Talks & Ideas. 6 Maret 2018. Akses 26 Maret 2019.
https://youtu.be/dQKgJ1PJzBs

“The waves of feminism, and why people keep fighting over them, explained” oleh Constance Grady. 20 Juli 2018. Akses 6 April 2019
https://www.vox.com/2018/3/20/16955588/feminism-waves-explained-first-second-third-fourth

“Iron Jawed Angels”. Akses 6 April 2019.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Iron_Jawed_Angels

“Mona Lisa Smile”. Oleh Roger Ebert. 19 Desember 2003. Akses 6 April 2019.
https://www.rogerebert.com/reviews/mona-lisa-smile-2003

“Confirmation”. Wikipedia. Akses 8 April 2019.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Confirmation_(film)

Me Too Movement. Akses 8 April 2019.
https://metoomvmt.org/

“Me Too Movement”. Wikipedia. Akses 8 April 2019.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Me_Too_movement

“Everything you wanted to know about fourth wave feminism—but were afraid to ask” oleh Jessica Abrahams, Prospect Magazine, 14 Agustus 2017. Akses 8 April 2019.
https://www.prospectmagazine.co.uk/magazine/everything-wanted-know-fourth-wave-feminism

“Empat Penulis Novel Feminis Indonesia” oleh Gusti, 23 Oktober 2012. Akses 8 April 2019.
https://ugm.ac.id/id/berita/4622-empat.penulis.novel.feminis.indonesia

“6 Penulis Novel Perempuan Indonesia dan Karya Mereka yang Legendaris” oleh Nadia Fauzia. 6 Maret 2018. Akses 14 April 2019.
https://blog.gotomalls.com/2018/03/6-penulis-novel-perempuan-indonesia/amp/

“The Handmaid’s Tale” oleh Margaret Atwood. Penerbit Vintage, London, cetakan 2017.

Sucker Punch dan Stratosphere Girl: Underrated Film tentang Imajinasi

Saya heran, film keren kayak “Sucker Punch” gak 'lolos' pujian kritikus. Meski kelihatan seperti film action, sebenarnya film ini lumayan dalam dan perlu mikir ekstra. Jadi, untuk kategori film berbasis pahlawan, memang film berat. Toh, sudah diimbangi dengan kualitas FX yang keren. Jadi, seharusnya, film ini bisa diterima penikmat film  mainstream. Setidaknya, yang gak kuat mikir berat masih bisa enjoy; yang menikmati seni dan filsafat juga terlayani.

Kalau kita lihat plotnya, ada beberapa plot di sini. Secara garis besar diceritakan oleh Baby Doll yang imut. Satu lagi dari sisi Sweet Pea. Kedua tokoh memiliki masa lalu yang cukup kelam yang cukup berpengaruh pada psikologi mereka. Ceritanya sendiri berputar pada usaha mereka (bersama dua tokoh lain) melarikan diri.

Lari dari apa?

Nah, di sini letak menariknya. Karena kita sudah bicara soal teks, subteks, dan konteks, seharusnya lebih mudah bagi kita untuk melihat benang merah cerita. Seingat saya cerita ini diset tahun ‘60-an. Di masa itu, hak-hak dan fungsi perempuan belum sepenuhnya seperti sekarang. Jadi, perempuan sebagai superheroine, jelas tidak sesuai konteks masa tersebut.

Sebagai lapisan-lapisan latar belakang dan masalah psikologi, “Sucker Punch” mewakili kisah perempuan sebagai objek, entah objek fantasi atau objek seksual. Tarian Baby Doll yang konon seksi (selalu hanya ditunjukkan sedikit dan langsung ke adegan pertempuran), dianggap sebagai penolong untuk membuat para lelaki terlena. Namun, mengapa langsung masuk ke adegan action? Apa kaitan menari dengan kisah pertempuran epik, dari melawan samurai segede Gaban sampai nuansa peperangan ala PD II? Apakah tarian merupakan perang terhadap fantasi lelaki? Apakah ini merupakan mekanisme Sweet Pea untuk bertahan hidup dengan menciptakan imajinasi?

Apakah ini merupakan subteks? Saya yakin, ya.

Ending “Sucker Punch” tidak terlalu definitif. Artinya, bisa dibilang sebagai sebuah open ending, akhir terbuka yang bebas diinterpretasi oleh penonton. Apakah Sweet Pea berhasil keluar dari rumah sakit jiwa atau apakah itu sekadar kebebasan imajinatif? Jika kita kaitkan dengan pembuka cerita yang seolah-olah kita menonton sebuah pertunjukan panggung (adegan tirai dibuka), ini sebuah petunjuk subteks yang cukup penting. Bukan cuma subteks, film ini juga banyak meletakkan simbol-simbol untuk dipecahkan.

Menonton “Sucker Punch”, saya rasa, tidak cukup satu kali. Film ini sebenarnya semakin bisa dinikmati setelah ditonton lebih dari sekali. Mungkin yang pertama untuk menikmati gambar dan kali selanjutnya untuk memahami cerita.

Sekarang, bandingkan “Sucker Punch” dengan “Stratosphere Girl” (sinopsis bisa dibaca pada tautan yang saya tulis di akhir artikel). Film yang jauh lebih lawas ini juga mengangkat tema hampir sama. Tokoh utama pergi ke Jepang, jadi hostess, dan menyelidiki sebuah kasus pembunuhan. Benang merahnya terletak pada kesamaan atas tidak jelasnya batas imajinasi dan pemanfaatan perempuan sebagai objek. Pada “Stratosphere Girl” penonton juga bisa menginterpretasi akhir cerita dengan bebas. Apakah ini cerita sungguhan, khayalan si tokoh yang memang artis manga, atau campuran?

Kembali ke pernyataan awal saya, mengapa kritikus tidak terlalu mengapresiasi film “Sucker Punch”? Mungkin karena selera dan ekspektasi kita terhadapan tontonan superhero terlalu mainstream. Hanya ada sedikit cerita heroisme yang dalam dari sisi psikologi. Kebanyakan hanya cerita permukaan, cepat, dan mudah dipahami oleh berbagai tingkat usia dan pendidikan.

Lalu apa pentingnya dua film ini? Saya pikir keduanya hanya sedikit dari contoh film sarat konteks dan subteks. Di luar kedua film ini, saya rasa film “Amelié” (Perancis) dan “Millennium Actress” (animasi Jepang) memperlihatkan bagaimana leburnya fantasi dan kenyataan dalam bentuk cerita dan visual sebagai kesatuan subteks dan konteks.

Ada satu hal menarik yang saya pelajari dari dua artikel yang saya sertakan baik “Sucker Punch” dan “Stratosphere Girl”. Ada dialog atau monolog tokoh tertentu yang menjadi kunci untuk menjawab apakah segalanya hanya khayalan atau tidak. Untuk yang ini, Anda harus mengakses kedua tautan yang saya sertakan di akhir tulisan.


Jadi, apa saja yang bisa kita pelajari dari film-film ini?

- Bagaimana menceritakan imajinasi yang lebur dengan khayalan,

- bagaimana konteks penting untuk memahami jenis cerita psikologi,

- pentingnya pemahaman penulis (skenario) mengenai filsafat (misalnya feminisme, eskapisme, dan kapitalisme) dan psikologi untuk bisa menciptakan hubungan sebab akibat yang kuat antara tokoh dan latar belakang mereka.

- cerita yang berat tidak berarti tak menghibur. Targetkan penonton Anda. Segmentasi seringkali lebih baik. Banyak film yang tidak laku secara komersial, tetapi dihargai di kemudian hari. “Sucker Punch” bukan box office dan tidak panen pujian. Namun, ke belakang sepertinya banyak yang menghormati film ini.

Selamat menulis.

Data Sucker Punch

Sutradara: Zack Snyder
Naskah: Zack Snyder, Steve Shibuya
Pemeran: Emily Browning, Abbie Cornish, Jena Malone, Vanessa Hudgens, Jamie Chung, Carla Gugino, Oscar Isaac, Jon Hamm, Scott Glenn
Rilis: 25 Maret 2011
Negara pembuat: Amerika Serikat, Kanada

Data Stratosphere Girl

Sutradara: Matthias X Oberg
Naskah: M. X. Oberg
Pemeran: Chloe Winkel, Jon Yang, Rebecca R Palmer, Tuva Novotny, Tara Elders, Linda Steinhoff, Filip Peeters, Togo Igawa
Rilis: 9 September 2004
Negara pembuat: Jerman dan regional Eropa

Narasumber

Untuk memahami lebih dalam soal “Stratosphere Girl”, silakan baca artikel ini (dengan judul sama, ditulis oleh Fatchur Rochim) yang saya akses tanggal 2 April 2019: https://m.kapanlagi.com/film/insight-hollywood/stratosphere-girl.html

Dan untuk lebih mendalami soal “Sucker Punch”, silakan lihat video komentar “You Don’t Understand Sucker Punch” oleh ASCseries yang saya akses tanggal 31 Maret 2019: https://youtu.be/qQm1rBqh53Y

Semiotika: Tanda dalam Komunikasi



*Artikel ini dibuat untuk grup kepenulisan yang mempersiapkan diri mengadakan simulasi debat. Pengetahuan saya tentang semiotika masih terbatas. Tulisan saya hanya berdasarkan pada pemahaman saya terhadap dua buku yang saya jadikan acuan.

Sebelum lebih jauh kita bicara tentang 'simulasi debat', perlu kita kuasai dulu hal-hal yang menjadi dasar perdebatan itu sendiri: kemampuan membaca pesan teks, kemampuan memahami isi teks, dan kemampuan menyikapi teks.

Dalam banyak 'debat kusir', pembicara dan penjawab sering tidak menguasai teks. Akhirnya perdebatan pun melantur. Jika kehabisan bahan, yang diserang bukan lagi teks yang jadi perdebatan, melainkan orangnya (ad hominem).

Di lain perdebatan, banyak orang tidak bisa membedakan pesan yang apa adanya, pesan berupa hinaan, pesan yang bernada satir, ataupun pesan dibalut sarkas. Sebagai contoh, ketika orang membuat berita sarkas, seringkali berita itu tidak dipahami dan langsung dianggap benar; disebarkan atau malah dicaci maki. Ketika disebar tanpa proses renungan, teks tersebut menjadi 'berita hoax' dan banyak sekali orang yang termakan karena membagi jauh lebih penting daripada menganalisa.

Jadi, bagaimana kita harus bersikap terhadap teks?
Berdasarkan pengalaman pribadi, menyandarkan diri pada semiotika membuat saya lebih netral dalam melihat pesan dari sebuah teks.

SEMIOTIKA merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. TANDA adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Contoh: 'lampu' adalah objek yang membantu penerangan atau pencahayaan. 'Tanda silang' untuk menyatakan salah atau dilarang melakukan sesuatu. 'Ayam berkokok' menandakan pagi. 'Mimpi gigi copot' dipercaya sebagai tanda orang meninggal. Jadi tanda tidak harus berupa benda, tapi bisa saja berupa kata, gambar, bunyi, bau, perbuatan, rasa, dan bahasa. Pada dasarnya, semua yang ada di alam adalah tanda.

Dengan demikian, tanda menjadi alat komunikasi. Namun, tanda baru bisa menjadi benar-benar tanda jika diberi MAKNA. Dalam model komunikasi Jakobson, komunikasi melibatkan enam unsur:
1. Pengirim
2. Konteks, Pesan, Kontak, Kode
3. Penerima.

Dalam bukunya, Nazaruddin menjelaskan: PESAN dikirim oleh PENGIRIM. Agar pesan sampai, dibutuhkan KONTAK antara pengirim dan PENERIMA. Pesan harus dikemas berdasarkan suatu KODE dan mengacu pada KONTEKS tertentu agar dapat diartikan.
(Konteks: uraian atau kalimat yang menambah kejelasan makna - KBBI)

Jadi, apa itu KODE?
Agar pesan sampai, penandaan dilakukan dengan proses seleksi dan kombinasi kata. Ada tiga kelompok kode:
1. Kode sosial:
  • bahasa verbal,
  • kode tubuh (kontak badan, penampilan fisik, ekspresi wajah, anggukan, tatapan, gerak tubuh),
  • kode komoditas (tata busana, mobil, aksesori), dan
  • kode perilaku (upacara, protokol, main-peran)
2. Kode tekstual
  • Kode keilmuan, misalnya matematika
  • Kode estetika dalam seni
  • Kode stilistik dan retorik jenis karangan: eksposisi, argumen, deskripsi, dan narasi
  • Kode media massa seperti fotografi, film
3. Kode interpretif
  • Kode perseptual
  • Kode ideologis
  • Kode interpretif mencakup berbagai '-isme'.
Saya pikir kode yang paling penting dipahami dalam perdebatan adalah kode verbal, kode tubuh, kode stilistik dan retorik karangan. Dalam perdebatan maya, kode tubuh biasanya diganti dengan ikon smiley.

Kembali ke model komunikasi Jakobson, jika pengirim dan penerima tidak ada, teks menjadi tidak punya makna. Ia sekadar kata. Jika pengirim memberi kode, tapi penerima tidak menangkap, teks selesai di sana sebagai objek belaka. Bisa pula pengirim tidak memberi tanda, tapi penerima menganggap ada tanda di dalamnya (terjadi miskomunikasi).

Contoh: G berkata, "Hari ini panas, ya." Jika H tidak melihat kalimat itu mewakili hal lain, selesai di sini. Namun, jika H melihat G berkipas sambil memegang leher, H mungkin menganggap itu tanda si G meminta minum.

Contoh lain, kata monyet tidak punya makna apa-apa sebagai kata. Monyet adalah nama benda. Benda itu hewan yang disebut monyet. Namun, ketika pengirim menjerit, "Monyet!" kepada penerima, penerima boleh jadi menganggapnya sebagai tanda kalau si pengirim pesan marah karena berteriak atau sedang menghina dirinya.

Dengan memahami bahwa kata adalah kata, tidak bermakna tanpa penandaan, tanpa pengirim dan penerima, kita bisa memakai konsep ini untuk bersikap TENANG dalam perdebatan. Lepaskan diri dari siapa yang mengirim pesan. Berikan waktu pada diri kita sendiri untuk mencerna teks yang disampaikan. Pahami. Jika belum paham, baca ulang teks tersebut. Setelah itu baru dilihat apakah menurut kita si pengirim memang memberi sinyal tertentu atau tidak. Jika ya, perlukah kita tanggapi dengan energi negatif? Tentu jawabannya tidak.

Yang saya tulis di sini merupakan langkah paling awal dalam menghadapi perdebatan. Semiotika sendiri menjadi landasan bagi banyak ilmu, termasuk sastra.
Semoga catatan ini membatu.

Narasumber:
1. Kahfie Nazaruddin. Pengantar Semiotika. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta, 2015.
2. Dr. Dwi Susanto, S.S., M. Hum. Pengantar Kajian Sastra. Center for Academic Publishing Service. Yogyakarta, 2016.

Filsafat untuk Pengarang



Beberapa pekan ini kita telah berbicara banyak tentang logika dan riset. Penulis lain juga berbicara tentang logical fallacy. Semua ini masuk ke dalam filsafat. Waduh, jangan langsung ciut. Filsafat tidak semengerikan yang kalian pikir. Pada dasarnya filsafat berasal dari kata filosofia, sebuah kata Yunani yang artinya kecintaan pada kebijaksanaan. Namun, jangan salah juga. Kutipan kata-kata bijak bukan benar-benar bagian dari filsafat.

Filsafat itu induk pengetahuan. Mengapa? Karena filsafat itu soal 'berpikir tentang berpikir', tentang mempertanyakan berbagai hal. Jadi gak harus ruwet. Filsafat memiliki 4 cabang penting:
1. Metafisika yang mempertanyakan tentang eksistensi (manusia, alam, tuhan, dll),
2. Epistemologi yang mendalami konsep-konsep pengetahuan dan bagaimana kita mempelajarinya,
3. Logika yang mempelajari aturan dalam berargumen, juga dalam membuat sebab/alasan dan akibat,
4. Etika yang berbicara tentang moral, bagaimana kita seharusnya bertindak, dan nilai-nilai kemanusiaan, dan
5. Estetika yang berbicara tentang keindahan seni.

Jika kemudian Anda mendengar nama-nama seperti Plato, Descartes, Russel Bertrand, Sartre, dll., jangan langsung mengernyit. Mereka sekadar orang-orang yang memiliki gagasan-gagasan yang menjadi dasar filsafat dunia Barat.

Dalam dunia modern, sekolah-sekolah SD di Inggris dan negara lain telah memasukkan filsafat ke dalam kurikulumnya. Mengapa? Basis ilmu pengetahuan adalah pertanyaan. Jawabannya pun bukan soal benar atau salah. Semua jawaban bisa diterima sepanjang si anak bisa menjelaskan alasannya.

Lalu apa urusannya dengan dunia mengarang? Semua karya besar memuat filsafat dalam cerita mereka.
- Life of Pi berbicara tentang etika ketika seseorang harus bertahan hidup dan metafisika yang berkaitan dengan bagaimana Pi memandang dirinya sebagai manusia beragama
- Handmaid's Tale berbicara tentang etika (otonomi perempuan pada tubuhnya dan kontrol negara yang menghilangkan individualitas)
- Winnie The Pooh mungkin terdengar aneh, tetapi begitu baca saya langsung menyadari banyak sekali pertanyaan dan pernyataan filosofis di dalamnya tanpa harus menggurui
- The Alchemist (Paulo Coelho) banyak berbicara tentang metafisika seperti takdir, kehidupan, dll.
- The Trial (Kafka) berbicara tentang etika dan logika (hukum yang menganiaya)
- 1984 (George Orwell) berbicara tentang logika (2+2=5) dan etika (pemerintahan totalitarian)

Dalam budaya yang lebih populer, anime seperti Ergo-Proxy, Ghost in the Shell, dan Psycho-Pass tidak malu-malu mengangkat pertanyaan-pertanyaan substansial tentang eksistensi manusia dan robot. Sementara itu, serial The X-Files berbicara tentang logika, teknik penelitian ilmiah, dan eksistensial.

Mengapa filsafat penting bagi pengarang? Mampu menggali pertanyaan-pertanyaan dasar tentang kemanusiaan adalah tugas pengarang. Novel 1984 kembali populer setelah pemerintahan Trump mengasingkan dan mengontrol media massa. Novel (dan versi drama televisi) Handmaid's Tale juga mendapat respon yang sama. Sementara Hamlet (Shakespeare) hampir selalu diproduksi ulang dan menjadi rujukan bagi banyak kesenian lainnya. Ini menunjukkan bahwa tema-tema dasar selalu abadi.

Apa saja tema dasar itu? Kesenjangan sosial, hukum, persamaan hak, segregasi, rasialisme dan bigotry, bentuk-bentuk pemerintahan, perang dan akibatnya, kematian, kehidupan yang kekal, kosmos dan mikrokosmos, loyalitas, etika kedokteran, keadilan, kemerdekaan, kebahagiaan, kesenangan hidup, dll.

Apakah semua cerita berbau filsafat itu serius? Tidak juga. Candida (karya Voltaire) adalah cerita satir yang lucu. Ada yang sudah nonton Priceless, drama Jepang? Itu malah berbicara tentang bagaimana rasanya jadi miskin tanpa perlu jadi melodrama, malah sentilannya terasa menggelitik. Winnie the Pooh dan The Little Prince bukan bacaan berat untuk anak-anak dan bisa dinikmati orang dewasa.

Filsafat dapat menjadi pijakan dasar dalam mengarang. Karena mengarang butuh logika, pernyataan seperti
'Jika A maka B. Jika B maka C'
bisa diaplikasikan dalam membuat plot.

Paradoks
Selain itu, sesudah berkenalan dengan filsafat, Anda dapat mempelajari bermacam-macam paradoks yang bisa menginspirasi Anda untuk mendapatkan dilema-dilema kemanusiaan. Paradoks merupakan pernyataan yang absurd atau kontradiktif, tetapi bisa jadi benar atau sekurang-kurangnya masuk akal.

Dalam dunia literatur, paradoks banyak dihasilkan. Misalnya, dalam Animal Farm (Orwell) ada pernyataan 'Semua hewan setara, tetapi ada yang lebih setara dari yang lain'. Dalam novelnya 1984, Orwell menyatakan 'Perang adalah Perdamaian'. Sementara dalam Hamlet ada 'Aku harus kejam untuk jadi baik'. Jika kita tidak melihat jalan cerita, kita tentu menganggap pernyataan ini absurd. Jadi saya sarankan Anda untuk membaca buku-buku ini karena versi terjemahannya sudah ada. Selain itu coba cari tahu Grandfather Paradox, Barber Paradox, Arrow Paradox, dll.

Penggunaan filsafat dan paradoks membuat pembaca lebih ingin tahu. Pesan tersembunyi akan menarik pembaca untuk mengikuti cerita.

Bagaimana pengarang menerapkan filsafat?
- Bertanya pada diri sendiri: siapakah saya. Gali terus jawabannya sampai Anda tak mampu lagi menjawab. Ini ada pertanyaan esensial dari metafisika dan eksistensial Anda.
- Beri pertanyaan remeh pada diri sendiri. Misalnya, mengapa langit berwarna biru? Cari jawabannya mulai dari menelusuri cerita rakyat hingga jawaban ilmiah.

Sekali lagi, filsafat tidak ruwet dan yang Anda butuhkan hanya keingintahuan. Perenungan itu baik karena dengan merenung, pikiran Anda bekerja.

Selamat mengarang.

Riset untuk Pengarang




Untuk tidak mengulang pembicaraan, tulisan tentang pentingnya logika dalam cerita sudah saya posting di Logika dalam Cerita  yang intinya mulai dari cara, kapan meriset, mengorganisasi temuan riset, hingga manfaat riset, termasuk mematahkan premis bahwa dunia nyata tidak boleh dihubungkan dengan fiksi dan hanya imajinasi pengarang yang penting. Apa yang akan saya jelaskan di sini merupakan suplemen tambahan, semacam pembuktian fisik karena bukunya ada di tangan saya.

Seperti yang Anda lihat pada foto, ada dua buah buku yang kali ini saya jadikan rujukan.
1. Rambu-rambu Menulis Cerpen, karangan Ainun Mas, terbitan tahun 2017, Pusat Kajian Bahasa, Bantul.
2. Read This If You Want To Be A Great Writer, karangan Ross Raisin, terbitan tahun 2018, Laurence King Publising, United Kingdom.

Ainun Mas meletakkan perkara riset pada halaman 41 dengan judul bab Spy Time!. Hal yang paling menarik dari sini, penulis membahas soal nama. Akhirnya saya menemukan orang yang berbicara tentang nama (sebenarnya banyak, tapi karena ada buku di tangan, rasanya beda). Alih-alih mengatakan nama tokoh harus sejalan dengan karakter -- misalnya, seorang psikopat punya nama berbau psikopat atau ada nama dengan karakteristik tertentu bagi ketua OSIS -- Ainun hanya menyarankan pengarang untuk mencari nama dari buku kumpulan nama bayi dan melihat arti dari nama tersebut. Jadi, bukan karena ada nama untuk grup psikopat, nama untuk para introvert, dll.

Hal kedua yang perlu dicermati, buku ini berbicara tentang cerpen. Artinya, cerita yang cukup pendek pun, tetap memerlukan riset. Sebut saja ceritanya berbicara tentang seorang arsitek. Apa pekerjaan arsitek? Keahlian apa yang diperlukannya? Dan dalam cerita, konflik seperti apa yang dihadapi si arsitek? Apakah dana pembangunan dipotong? Jika iya, apa akibatnya pada rancangan bangunan? Apakah ia harus membuat desain baru? Pengarang juga harus meriset hal lain. Misalnya di mana cerita ini di-setting? Tepi laut? Gunung? Daerah sering gempa? Apakah si arsitek tinggal di Jakarta lalu harus bolak-balik ke Bali?

Buku Ross Raisin menguatkan pentingnya riset untuk cerita pendek maupun novel (halaman 17). Menurut Raisin, bisa jadi riset untuk cerita pendek lebih singkat daripada untuk novel. Namun, tidak harus selalu demikian. Segalanya tergantung kebutuhan.

Research is a creative venture, too. 
(halaman 14, Raisin)
Ini pernyataan yang menarik. Setelah saya pikir-pikir, kebanyakan pengarang mungkin menganggap riset sebagai kegiatan yang membosankan, memakan waktu, dan seringkali tidak semuanya bisa dimasukkan ke dalam cerita.  Namun, jika kita memperlakukan riset sebagai kegiatan kreatif, sebenarnya akan menyenangkan dan akan mendorong imajinasi.

Think of research as a motor for your imagination.
Petikan ini penting. Artinya riset merupakan bagian integral dari mengarang, penggerak kreativitas dan imajinasi.

Nah, bagaimana kita bisa melakukan riset sebagai aktivitas kreatif? Jangan pisahkan riset dari kegiatan mengarang. Anda bisa melakukan riset di awal, tetapi segeralah menulis. Dari sini Anda akan menemukan hal-hal lain untuk Anda riset. Jadi, sambil meriset, Anda mengarang. Selain itu, jangan hanya terpaku pada data tekstual. Variasikan dengan menemukan gambar, video, rekaman suara, melakukan survey ke lokasi, dll. Dengan begitu Anda tidak bosan dijejali hanya oleh teks hitam putih, tetapi juga mendapat stimulasi lain yang lebih berwarna. Otak dan pancaindra menjadi aktif dan membantu Anda mengembangkan imajinasi. Contoh, jika Anda mencari data arsitektur untuk melihat arsitektur tahan gempa, lebih baik Anda mencari video atau foto. Sementara untuk memahami tekstur dan bahan bangunan, sebaiknya Anda baca teksnya sebelum mencari visualisasinya.

Saya harap suplemen ini membantu Anda dalam memahami posisi riset untuk mengarang. Bagi yang benci meriset, cobalah trik-trik dari Ross Raisin. Semoga dapat mengubah perspektif Anda soal riset.

Semoga artikel ini bermanfaat. Selamat mengarang!

Catatan: buku Ainun sudah jarang saya temukan di Gramedia, tetapi karena umurnya baru setahun, saya pikir toko online dan toko buku lain punya stoknya. Untuk karya Ross Raisin, Anda bisa menemukannya di Kinokuniya dan Periplus.
12.8.2018

Logika dalam Cerita



Cerita tidak butuh logika. Katanya. Saya pun terpekur berminggu-minggu, berusaha memahaminya. Saya pasti bodoh sekali, selama ini mengerjakan riset dan melihat sebab akibat sebagai landasan logika untuk membangun karangan saya. Dalam mengarang itu, cuma imajinasi pengarang yang penting. Kita tidak boleh menghubungkan dunia nyata dengan fiksi. Karena begitu kata mayoritas, saya pindah haluan.

Beberapa hari kemudian saya baca sebuah cerita lalu tertegun pada sebuah plot. Tokoh A pingsan. Dokter tiba dalam 5 detik. Dalam sekejap dokter juga langsung menyimpulkan tokoh kesayangan saya itu kena anemia hanya dengan mengecek nadi.  Kali lain saya baca sebuah cerita sejarah di zaman Victoria, sudah pakai infus plastik. Padahal ceritanya bahkan bukan kategori steampunk.

Saya pun bingung. Haruskah saya percaya pada cerita-cerita ini atau haruskah saya mencari tahu kaitan antara logika dan fiksi? Takut-takut disebut murtad dari kebenaran umum, diam-diam saya memohon pada Mbah Gugel membantu saya menemukan mentor-mentor mengarang yang berbicara tentang riset.

Saya sungguh terkejut. Mentor-mentor itu malah menyuruh pengarang meriset! Loh, kok? Saya bingung. Mau murtad bingung, mau bertahan juga bingung. Supaya tidak curhat, begini kira-kira kata mereka:

Fiksi memang cerita yang berlandaskan imajinasi pengarang. Anda memiliki 'kekuasaan' untuk membangun dunia, tokoh, dan jalan cerita. Namun, tidak semuanya bisa mengandalkan apa yang Anda pikirkan atau inginkan. Ada aspek-aspek yang harus Anda pahami dan hanya melalui riset bisa Anda pahami.

Contoh, tokoh Anda punya toko bunga. Pengetahuan seperti apa harus dimiliki si tokoh perihal dunia bunga dan bisnis? Pakaian dan peralatan seperti apa harus dimilikinya? Jargon-jargon apa yang diucapkannya ketika bertelepon dengan pemasok sebelum berbicara dengan tokoh yang sedang antri membayar? Contoh lain, tokoh Anda pindah ke Surabaya. Anda tidak pernah ke Surabaya. Bagaimana si tokoh akan menggambarkan panasnya Surabaya dibanding Jakarta atau jam berapa senja baru terasa di Surabaya dibanding Jakarta? Bahkan ketika Anda hanya bercerita tentang kota kecil tempat Anda tinggal, seberapa banyak yang benar-benar Anda ketahui?

Riset bisa dilakukan dengan beragam cara. Menjelajah internet, nongkrong di perpus, lihat film dokumenter, membaca karya orang lain dari genre yang Anda kerjakan, ngobrol, wawancara, baca koran atau majalah, peta, jalan ke galeri atau museum, dll.
Kapan kita melakukan riset? Tidak ada aturannya. Anda boleh melakukannya sebelum mengarang ataupun sambil mengarang. Yang penting, organisasikan temuan-temuan Anda agar mudah ditelusuri.

Begitulah inti wejangan para mentor tersebut. Kemudian saya pun berpikir-pikir, bagaimana kisah Holy Mother (Rikako Akiyoshi, bicara tentang medis), Bilangan Fu (Ayu Utami, bicara soal panjat tebing), Farewell to the Arms (Hemingway, perang dunia), Harry Potter (aturan main Quidditch) akan meyakinkan pembaca jika tidak ada logika di dalamnya? Rikako dan Ayu jelas-jelas berterima kasih pada narasumber mereka. Hemingway memang pernah ke Spanyol. Dan bayangkan kalau aturan Quidditch sekadar 'pokoknya ngegol, jangan tanya cara dapat poinnya bagaimana', dijamin pembaca Harpot akan kecewa.

Apa untungnya kita mengarang dengan logika? Pertama, Anda mendapat kredibilitas. Contoh, Rikako Akiyoshi dikenal sebagai penulis thriller yang selalu bisa mengangkat topik berbeda, tapi menjabarkannya cukup jelas untuk dipahami pembaca awam. Kedua, Anda terhindar dari kesalahan. Dengan begitu, pembaca merasa cerita Anda 'benar' dan 'dapat dipercaya'.

Dengan sekian banyak mentor yang saya baca tulisannya, digabung dengan analisis saya di atas, saya putuskan untuk terang-terangan kembali ke jalan logika. Tidak apa saya kembali bodoh. :) Pilihan ini bisa saya pertanggungjawabkan. Yang perlu diingat, saya maupun para mentor tersebut BUKAN meniadakan imajinasi. Sebuah cerita tetap mengutamakan imajinasi, tapi butuh riset dan logika, sekecil apa pun itu. Bagi saya pribadi, logika merupakan alat kontrol agar imajinasi tidak kebablasan. Jangan lupa, ketika cerita sampai di tangan editor, dia akan memeriksa segalanya termasuk logika cerita dan logika kalimat.

Tidak ada keharusan untuk ganti haluan dan mencicipi logika. Apapun yang Anda pilih adalah baik untuk Anda. :)

Nah, kalau ada yang ingin protes tentang tulisan ini, tolong protes pada para mentor langsung karena yang saya tulis hanya saripati tulisan mereka. Alamat masing-masing situs saya sertakan di bawah. Jangan khawatir, mereka memiliki ruang komentar, jadi silakan langsung tulis aspirasi Anda di sana, ya. :)

Terima kasih. Selamat berkarya.

Sumber bacaan:
http://authornews.penguinrandomhouse.com/creating-reality-in-fiction-writing
http://www.accomplishpress.com/why-fiction-writers-need-to-research/
http://www.writersdigest.com/editor-blogs/there-are-no-rules/how-to-research-your-novel
https://writersedit.com/fiction-writing/top-7-tips-researching-novel/
https://www.eschlerediting.com/how-logic-can-make-or-break-your-story/
http://ourhappyschool.com/journalism/importance-logic-writing

Pencarian Artikel

Entri yang Diunggulkan

Samurai Seven: Siapa Pemenang Sebenarnya

Inilah salah satu cerita terbaik yang pernah saya tonton. Baik versi asli maupun anime sangat menarik. Seven Samurai (1954) memiliki be...

Artikel Terpopuler Minggu Ini