Tampilkan postingan dengan label Riset. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Riset. Tampilkan semua postingan

7 Hal yang Jangan Kamu Lakukan pada Episode Pilot



Peringatan: tonton dulu episode 1 sinetron ini sebelum baca komentar saya. Maxstream bisa diunduh di Google Play. Setelah terpasang, di bagian pencarian tinggal ketik judulnya. Tidak perlu login (pengalaman saya pakai wifi) bisa langsung nonton. Selebihnya, artikel ini mengandung beberan (spoiler) dan dibagi jadi dua tayangan.

Beberapa minggu yang lalu saya ngasih komen langsung pada salah satu tim produksi "Cerita Dokter Cinta". Versi yang ada di sini lebih fokus pada dunia penulisan, terutama bagaimana menulis episode pembuka (pilot episode) televisi.

Saya hanya nonton episode 1 karena episode pilot selalu penting buat saya. "Cerita Dokter Cinta" (saya singkat jadi CDC) episode 1 bercerita tentang sekelompok koas yang datang untuk menjalani hari koas di rumah sakit. Setelah malam, akhirnya mereka bisa bersantai sejenak, mendengarkan acara radio "Dokter Cinta". Dokter yang mengepalai kelompok koas ini juga pulang, mengurus ibunya yang sudah pikun. Itu saja intinya dalam 16 menit tayang. 

1.Tidak ada konflik (yang jelas)

Perhatikan blurb atau logline CDC yang dipasang di Maxstream:
Kisah dokter Obygin Ryan, …, dalam membantu persalinan pasien dan mengatasi persoalan cinta di antara mereka yang penuh konflik


Saya tidak tahu di mana letak konfliknya karena episode pilot tidak punya konflik sama sekali. Semuanya hanya setup dan pengenalan tokoh. Buat saya, 16 menit itu bisa dipangkas jadi 5 menit karena naskahnya tidak efisien. 

Ada beberapa adegan bagus yang bisa dijadikan konflik, ternyata hanya tempelan. Misalnya, Ryan sedang membantu ngasih CPR lalu masalah selesai begitu saja. Adegan selanjutnya, dia sudah di depan koas untuk briefing. Coba kalau pasiennya mati dan dia terlambat menemui koas, pasti lebih menarik karena ada konflik batin sehingga adegan ketika bersama ibunya akan lebih emosional. Kalau adegan ini digarap, kita bisa melihat bahwa Ryan adalah tokoh utama. 

2.Adegan superklise

CDC masih terjebak dengan pola seperti ini:
-tokoh utama terlambat bangun
-tabrakan dengan tokoh lain
Silakan baca selengkapnya 10 Pembuka Cerita yang Klise.

3.Tokoh tidak tergarap

Siapa yang sebenarnya jadi tokoh utama di sini? Si cewek kesiangan atau Ryan? Kesannya tetap si cewek kesiangan yang jadi tokoh utama karena penonton digiring untuk mengikuti dia dari rumah hingga di rumah sakit. Kalau dilihat dari poster dan prolog, seharusnya Ryan yang lebih banyak dapat porsi. Bahkan, walaupun ceritanya terdiri dari banyak tokoh, tokoh utamalah yang seharusnya memimpin cerita pada episode pilot.

Masalah lain dalam sinetron (lokal dan luar) adalah menghadirkan tokoh lucu untuk menyegarkan cerita (walaupun saya tahu dalam CDC nanti dia punya masalah). Yang fatal adalah mereka harus ditampilkan konyol dari awal entah dengan ekspresi yang kelihatan bodoh atau perilaku yang cocok untuk ditertawakan. Lebih fatal lagi jika … (ke poin selanjutnya)

3.Adegan/informasi/dialog sia-sia

Adegan komedi yang ditempel paksa jelas sia-sia. Contoh lain dalam CDC misalnya adegan makan di lorong dan kedua koas bertukar makanan. Apa fungsi adegan ini? Tidak ada. Apakah bertukar makanan bikin keracunan? Tidak. Apakah karena habis pegang makanan terus bawa bakteri ke pasien (tidak cuci tangan)? Tidak. Adegan ini hanya ditutup dengan seorang perawat memanggil mereka untuk kembali kerja. Artinya, ketimbang percakapan konyol, adegan ini bisa digarap lebih baik. 

Contoh dialog/monolog sia-sia lainnya adalah ketika si cewek terlambat terbirit-birit ke dapur sambil bergumam, "Kesiangan, kesiangan, kesiangan!" Monolog ini jelas tidak penting karena penonton sudah tahu si tokoh kesiangan cukup dari gayanya terbirit-birit.

Adegan dokter cewek nyanyi (dengan peralatan superprofesional) juga tidak jelas maksudnya apa. Apakah dia merangkap Youtuber atau punya podcast? Kalau demi backsound, tidak perlu juga harus dia yang nyanyi.

4.Setup yang tidak tergarap, ketidaklogisan

Buat saya, alasan kenapa adegan makan di lorong dan adegan si dokter nyanyi tidak masuk akal karena tidak adanya setup yang jelas. Penonton tiba-tiba disuguhkan dengan mereka duduk dan membuka makanan. Padahal kalau ada setup mereka cuma punya waktu singkat untuk makan dan tidak bisa ke mana-mana selain di lorong, penonton cerewet seperti saya tidak akan protes. Yang terjadi, saya protes karena makan di lorong dan bisa terlihat pasien, jelas tidak profesional. Ketimbang ngobrol soal tuker makanan, di sini juga bisa diset bagaimana penonton perlu tahu kalau si dokter ini bisa nyanyi dan main gitar (karena peralatannya kelewat pro). 

Yang paling parah dalam CDC, fakta bahwa mereka hari itu kerja sekian jam untuk pertama kalinya, diletakkan menjelang akhir cerita. Karena di awal tidak ada penjelasan ini, saya pikir ini hari normal koas dan 'kebetulan' ada yang telat. Apalagi semua tugas koas selesai dengan mulus. Jika fakta ini diletakkan di depan, akan jelas mengapa para koas yang jadi fokus dalam episode ini. Ini yang akan menjadi goal (tujuan) Ryan: berhasil membimbing semua koas. Sayangnya ini tidak ditunjukkan dalam cerita. 

5.Perpindahan scene tidak mulus

Berkaitan dengan poin ke-11. Adegan Ryan memberi bantuan darurat, terasa tidak masuk akal karena scene tidak digambarkan utuh. Misalnya, CPR cuma dua detik lalu lebih banyak adegan dengan alat kejut jantung. Karena penggalannya tidak rapi, yang terbiasa nonton "Doctor-X", "E.R.", "House M.D.", dll, pasti merasa janggal. Ketimbang dibikin maraton sebagai 1 scene, sebenarnya adegan ini bisa dibuat paralel dengan kejadian lain: koas yang terlambat masih di dalam lift dan kelompok koas lain sudah menunggu di ruang lain. Tiga kejadian … dan sebenarnya bisa menaikkan tensi ketegangan karena orang akan lebih penasaran apakah si pasien mati atau tidak. 

6.Lokasi yang tidak masuk akal

Saya mengerti bahwa cerita ini sebuah cerita romantis, tapi tolong jangan mengada-ada. Baru kali ini saya melihat rooftop dijadikan tempat bersantai yang indah di sebuah rumah sakit. Lebih gila lagi, tidak ada atap di atas sofa (pergola, misalnya)  dan setahu saya rumah sakitnya tidak terlalu tinggi. Debu, hujan, dan kuman ancaman nyata. Dan masa sih kalau hujan petugas kebersihan harus selalu repot gotong sofa ke tempat aman? Ketimbang ke rooftop, lebih masuk akal mereka ke kedai kopi keren di rumah sakit. 

Jangan bikin set demi keindahan sinematografi. Rumah sakit tidak indah. Itu kenyataan. Jadi, buatlah cerita yang kuat untuk menampilkan keromantisan dari tokoh-tokohnya.

7.Menggurui

Adegan Ryan saat briefing yang mengingatkan tugas dokter di atas komersialitas, jelas tidak penting. Lebih penting dalam adegan ini dijelaskan siapa dan apa tugas mereka. Lagipula, seharusnya anak koas sudah tahu ekspektasi dunia kedokteran seperti apa. Kalau pun ada yang tetap mengutamakan uang, bukankah itu jadi konflik menarik? (Semoga di episode lain memang ada yang kemaruk uang)

Baca juga tentang Pesan Moral (yang Menggurui).

Penutup

Kalau diasah, cerita ini bisa luar biasa menarik. Saya rasa masalah penulis naskah lokal memang masih terlalu berbasis sinetron dan belum bisa keluar dari sistem yang lama. Penonton sinetron di televisi adalah penonton murni eskapis sehingga kualitas cerita tidak penting. Sebenarnya sayang. Platform penayangan sudah bagus karena bisa mendapat penonton spesifik dan menemukan penonton yang—dalam bahasa saya—'eskapis, tapi mau mikir', seperti mahasiswa, pekerja muda perkotaan, dan kelompok ekonomi menengah ke atas. 

Semoga proyek sinetron berbasis internet lainnya bisa tampil lebih edgy dan memorable. Begitupun semoga proyek dari PH yang digawangi Ichwan Persada ini di masa depan lebih baik.

Catatan

Sebuah episode pilot harus:
-sudah jelas premisnya apa
-sudah tergambar genre dan target penontonnya
-jelas siapa tokoh utama dan antagonisnya (gak harus villain)
-sudah jelas karakterisasi tokoh-tokohnya seperti apa
-sudah ada pencetus masalahnya
-sudah jelas konflik utamanya apa
-ada kejadian yang sangat menarik

JOKER untuk Pengarang



Halo sobat buku,

Kalau kamu berniat nonton "Joker" untuk pertama kali atau malah kedua kalinya dan kamu seorang pengarang (pemula atau lanjut), nah, sebaiknya kamu cermati film tersebut. Pelajari apa yang membuat film ini menarik, apa ide-ide besarnya, bagaimana film ini merajut konflik, dan lain-lain aspek.

Kalau bingung apa yang harus diperhatikan, gunakan daftar berikut ini:


Psikopat vs. Depresi


Saya selalu heran dengan cerita fiksi berbau sakit jiwa zaman sekarang. Bisanya nulis soal psikopat melulu. Ditanya psychopathy trait-nya apa saja, gak bakal bisa jawab. Pokoknya kalau dibilang psikopat itu pasti pembunuh berdarah dingin. Titik.

Untuk kalangan Indonesia, cerita psikopat sebenarnya terlalu canggih. Dasar para penulis cuma novel, serial TV, dan film buatan Amerika. Sayangnya, yang ditunjukkan di situ tidak sepenuhnya mewakili dunia psikopat.

Jujur, kalau pengetahuan si penulis soal dunia kejiwaan secuil, mending jangan nulis apapun berbau gangguan dan sakit jiwa. Ketimbang bikin cerita kelewat canggih soal psikopat, coba bikin cerita soal depresi.

Kelihatannya cukup gampang, tapi persoalannya gak semudah itu. Depresi kelihatannya gak keren untuk dijadikan cerita. Padahal banyak kasus pembunuhan dilatari depresi. Utang bisa membuat depresi dan bunuh diri. Dirundung di sekolah bisa membuat pelajar sakit hati dan membunuh. Calon legislatif gagal bisa depresi berat dan mungkin saja harus dirawat di RSJ.

Nah, sekarang tinggal riset sebanyak-banyaknya supaya jalan cerita menarik dan believable (dapat dipercaya).

Riset untuk Pengarang




Untuk tidak mengulang pembicaraan, tulisan tentang pentingnya logika dalam cerita sudah saya posting di Logika dalam Cerita  yang intinya mulai dari cara, kapan meriset, mengorganisasi temuan riset, hingga manfaat riset, termasuk mematahkan premis bahwa dunia nyata tidak boleh dihubungkan dengan fiksi dan hanya imajinasi pengarang yang penting. Apa yang akan saya jelaskan di sini merupakan suplemen tambahan, semacam pembuktian fisik karena bukunya ada di tangan saya.

Seperti yang Anda lihat pada foto, ada dua buah buku yang kali ini saya jadikan rujukan.
1. Rambu-rambu Menulis Cerpen, karangan Ainun Mas, terbitan tahun 2017, Pusat Kajian Bahasa, Bantul.
2. Read This If You Want To Be A Great Writer, karangan Ross Raisin, terbitan tahun 2018, Laurence King Publising, United Kingdom.

Ainun Mas meletakkan perkara riset pada halaman 41 dengan judul bab Spy Time!. Hal yang paling menarik dari sini, penulis membahas soal nama. Akhirnya saya menemukan orang yang berbicara tentang nama (sebenarnya banyak, tapi karena ada buku di tangan, rasanya beda). Alih-alih mengatakan nama tokoh harus sejalan dengan karakter -- misalnya, seorang psikopat punya nama berbau psikopat atau ada nama dengan karakteristik tertentu bagi ketua OSIS -- Ainun hanya menyarankan pengarang untuk mencari nama dari buku kumpulan nama bayi dan melihat arti dari nama tersebut. Jadi, bukan karena ada nama untuk grup psikopat, nama untuk para introvert, dll.

Hal kedua yang perlu dicermati, buku ini berbicara tentang cerpen. Artinya, cerita yang cukup pendek pun, tetap memerlukan riset. Sebut saja ceritanya berbicara tentang seorang arsitek. Apa pekerjaan arsitek? Keahlian apa yang diperlukannya? Dan dalam cerita, konflik seperti apa yang dihadapi si arsitek? Apakah dana pembangunan dipotong? Jika iya, apa akibatnya pada rancangan bangunan? Apakah ia harus membuat desain baru? Pengarang juga harus meriset hal lain. Misalnya di mana cerita ini di-setting? Tepi laut? Gunung? Daerah sering gempa? Apakah si arsitek tinggal di Jakarta lalu harus bolak-balik ke Bali?

Buku Ross Raisin menguatkan pentingnya riset untuk cerita pendek maupun novel (halaman 17). Menurut Raisin, bisa jadi riset untuk cerita pendek lebih singkat daripada untuk novel. Namun, tidak harus selalu demikian. Segalanya tergantung kebutuhan.

Research is a creative venture, too. 
(halaman 14, Raisin)
Ini pernyataan yang menarik. Setelah saya pikir-pikir, kebanyakan pengarang mungkin menganggap riset sebagai kegiatan yang membosankan, memakan waktu, dan seringkali tidak semuanya bisa dimasukkan ke dalam cerita.  Namun, jika kita memperlakukan riset sebagai kegiatan kreatif, sebenarnya akan menyenangkan dan akan mendorong imajinasi.

Think of research as a motor for your imagination.
Petikan ini penting. Artinya riset merupakan bagian integral dari mengarang, penggerak kreativitas dan imajinasi.

Nah, bagaimana kita bisa melakukan riset sebagai aktivitas kreatif? Jangan pisahkan riset dari kegiatan mengarang. Anda bisa melakukan riset di awal, tetapi segeralah menulis. Dari sini Anda akan menemukan hal-hal lain untuk Anda riset. Jadi, sambil meriset, Anda mengarang. Selain itu, jangan hanya terpaku pada data tekstual. Variasikan dengan menemukan gambar, video, rekaman suara, melakukan survey ke lokasi, dll. Dengan begitu Anda tidak bosan dijejali hanya oleh teks hitam putih, tetapi juga mendapat stimulasi lain yang lebih berwarna. Otak dan pancaindra menjadi aktif dan membantu Anda mengembangkan imajinasi. Contoh, jika Anda mencari data arsitektur untuk melihat arsitektur tahan gempa, lebih baik Anda mencari video atau foto. Sementara untuk memahami tekstur dan bahan bangunan, sebaiknya Anda baca teksnya sebelum mencari visualisasinya.

Saya harap suplemen ini membantu Anda dalam memahami posisi riset untuk mengarang. Bagi yang benci meriset, cobalah trik-trik dari Ross Raisin. Semoga dapat mengubah perspektif Anda soal riset.

Semoga artikel ini bermanfaat. Selamat mengarang!

Catatan: buku Ainun sudah jarang saya temukan di Gramedia, tetapi karena umurnya baru setahun, saya pikir toko online dan toko buku lain punya stoknya. Untuk karya Ross Raisin, Anda bisa menemukannya di Kinokuniya dan Periplus.
12.8.2018

Pencarian Artikel

Entri yang Diunggulkan

Samurai Seven: Siapa Pemenang Sebenarnya

Inilah salah satu cerita terbaik yang pernah saya tonton. Baik versi asli maupun anime sangat menarik. Seven Samurai (1954) memiliki be...

Artikel Terpopuler Minggu Ini