Menurut Encyclopedia Britannica, satire merupakan bentuk artistik, terutama dalam sastra dan drama, yang mana kejahatan, kebodohan,
penyalahgunaan, atau kekurangan manusia
atau individu diangkat untuk DIKECAM dengan
ejekan, ironi, parodi, karikatur, atau metode lain,
kadang-kadang dengan niat untuk MENGILHAMI REFORMASI SOSIAL.
Satire sebagai Genre
Sebagai genre, satire berisi ironi, humor, atau ejekan yang digunakan untuk MENGKRITIK dan MENGEKSPOS kekurangan dalam sifat dan perilaku manusia.
Satire sering kali lucu, tetapi tidak harus. Dia juga tidak sama dengan parodi.
Satire sebagai Alat Sastra
Sebagai perangkat sastra, satire sering digunakan untuk mengkritik politik dan isu-isu topikal.
Brave New World (Aldous Huxley) adalah contoh sastra yang terkenal. Huxley menyindir sebagian besar konvensi (permufakatan) dan institusi sosial yang dianggap suci dan dicintai oleh masyarakat Barat yang "maju". Termasuk di dalamnya adalah soal agama, monogami, dan kesetaraan sosial. Dalam novel ini, konvensi dan institusi itu dijungkirbalikkan sampai-sampai tokohnya menganut seks bebas dan memakai narkoba, termasuk satire terhadap pemisahan kelas sosial dan kontrol pemerintah. Huxley menyindir masyarakat kontemporer untuk memaparkan kepada pembaca tentang struktur moral yang sewenang-wenang dan sering kali munafik.
Medium
Termasuk literatur, film, dan musik. Bentuk lainnya adalah kartun/komik politik, puisi, bahkan seni visual.
Tujuan
Untuk MENGHIBUR penonton dan membuat mereka BERPIKIR LEBIH tentang suatu subjek.
Jenis Satire
Menurut Kyle DeGuzman, ada tiga jenis satire.
1. Horatian Satire
Memakai humor untuk mengolok orang atau kejadian dengan cara yang lucu.
Contoh: acara TV 'Saturday Night Live'
2. Juvenalian Satire
Lebih serius dan gelap daripada Horatian, sering dipakai untuk mengekspresikan kemarahan.
Biasanya dipakai dalam fiksi distopia.
Contoh: Animal Farm dan Fahrenheit 451
3. Menippean Satire
Satire yang mengkritik sistem kepercayaan umum
ketimbang seseorang atau individu.
Contoh: South Park
Contoh Cuplikan Satire
The Devil’s Dictionary oleh Ambrose Bierce adalah kumpulan definisi satire yang pedas. Banyak menyoroti gagasan yang dianggap penting oleh masyarakat, seperti doa, pernikahan, dan persahabatan; semua digambarkan dalam humor yang gelap. Beberapa contoh isinya:
Cinta, kata benda. Kegilaan sementara yang dapat disembuhkan dengan pernikahan.
dan
Sabar, kata benda. Sebuah bentuk kecil dari keputusasaan, menyamar sebagai kebajikan.
Contoh Karya
- The Invisible Man (Ralph Ellison)
- Slaughterhouse-Five (Kurt Vonnegut)
- The Importance of Being Earnest (sandiwara satire tentang norma budaya cinta dan pernikahan di masa Victorian, oleh Oscar Wilde)
- Family Guy (serial kartun yang menampilkan satire soal masyarakat sosial menengah Amerika)
- Shrek (film kartun dengan satire terhadap dongeng)
- Deadpool (film yang memberi satire terhadap superhero)
- The Office (seri komedi yang menyelipkan satire tentang budaya kerja dalam perusahaan)
- Gangnam Style (lagu ini merupakan satire gaya hidup orang kaya di Korsel)
Narasumber
DeGuzman, Kyle. "What is Satire — 3 Types of Satire Every Storyteller Should Know". Studio Binder, 25 Juli 2021.
Tulisan ini merupakan opini saya dari sebuah pertanyaan di Quora tentang kelemahan novel Indonesia di Wattpad atau media lainnya. Sebagai kenang-kenangan dan arsip, jawaban saya atas sebuah pertanyaan akan saya pos di blog.
Saya tambahkan dari yang sudah ada:
Pengarang jumawa yang kalau dikritik bisa ngamuk atau fans-nya (saya lebih suka menyebut 'dayang-dayang') yang maju perang. "Pokoknya cerita saya sudah sempurna" atau malah defensif: "Kan, saya masih pemula". Kritik masih dianggap tabu dan menjatuhkan.
Kemampuan berpikir kreatif yang masih anjlok. Cerita satu pengarang mirip-mirip dengan yang lain, serasa baca fotokopian. Apa yang lagi tren ditiru. Yang penting instan terkenal. Akhirnya cerita biasa saja.
Karena mengharap yang serba instan, isi bukan prioritas. Tulisan berantakan, PUEBI nol, logika jongkok tidak mengapa. Yang penting dibaca 15 juta kali.
Usia 13 - 15 tahun sudah jago bikin cerita selengkengen. Bahkan tidak malu-malu bikin promo di grup-grup di FB. Namanya cerita selengkengan ya jangan harap ada kualitasnya. Itu pun saya dengar banyak diterbitkan oleh penerbitan, meski bagian lendirannya dibuang.
Untuk yang sudah berumur sama saja, nulis cerita selengkengan berbalut malam pertama, pelakoran, perkosaan, inses, dan sejenisnya. Ini biasanya di grup emak-emak menulis.
Cerita superklise yang dimulai dengan bangun tidur, hari pertama sekolah, tabrakan terus jadi suka. Atau super-salah kaprah seperti psikopat bucin, CEO yang kerjanya cuma ngurusin sekretarisnya (gak jelas perusahaannya di bidang apa, tidak pernah ada jargon ekonomi, yang penting perutnya ada 12 roti deret).
Selera pembaca yang ingin cerita yang ringan, bahkan pernah saya lihat meminta cerita minim (atau bahkan tanpa) konflik. Jadi tidak ada bedanya dengan sinetron televisi dengan target penonton gak mau mikir dan bisa sambil menyetrika.
Dengan tren dan keinginan seperti di atas, ya jangan mengharap cerita di Wattpad (dan beberapa aplikasi yang terkenal dengan iklan berbau perlendiran) bagus. Ini berbeda dengan sistem di Storial, Kwikku, atau Cabaca yang memang didampingi editor (beneran). Tidak adanya kontrol membuat orang bebas menulis apa saja dan karena budaya instan, jauh lebih penting eksistensi ketimbang kualitas. Plus ketidakbolehan untuk dikritik membuat pengarang hidup dalam tempurungnya.
Itu jawaban saya yang hanya melengkapi jawaban-jawaban yang sudah masuk. Saya tidak bilang cerita di Wattpad jelek semua. Namun, inilah wajah mayoritas kualitas tulisan di Wattpad: tema seragam, isi fotokopian, ketidakmampuan berpikir logis dan kreatif, mengutamakan eksistensi sehingga urusan moral (dan hukum) nanti saja dipikirkan. Yang penting dibaca 15 juta kali, kan?
Punya opini sendiri? Boleh tulis di kolom komentar.
Semua pengarang harus tahu, hal penting dalam tulisan mereka adalah isinya. Mulai dari penokohan sampai bagaimana cerita berakhir, itu yang utama.
Sedikit orang tahu, kalau saya membalik kebutuhan mana yang lebih penting. Saya selalu memulai dari kemampuan berbahasa. Simpelnya, semua orang bisa baca tulis, tetapi belum tentu memahami isinya, bahkan belum tentu memahami logikanya.
Seperti kalimat pembuka di atas yang bisa multitafsir. Apakah saya makan adik yang sedang tidur? Apakah saya makan adik sambil tidur atau lalu tidur? Atau saya makan ketika adik tidur? Bagaimana jika kalimatnya: 'Makan adik saya tidur'? Kalimat-kalimar tersebut menjadi gamang dalam pemahaman.
Logika Bahasa dan Logika Cerita
Sebuah kata bisa menentukan seluruh cerita. Satu kata salah ditempatkan bisa merusak makna. Bahkan tidak adanya tanda koma bisa membuat orang bingung, seperti contoh di atas.
Keterampilan berbahasa tidak didapat dalam sekali belajar. Itu sebabnya latihan itu penting. Banyak membaca perlu bukan hanya untuk menambah wawasan, tetapi juga membiasakan diri dengan pola-pola kalimat. Tentu, bacaannya yang terseleksi, ya.
Logika cerita juga berkaitan dengan logika bahasa. Contoh: Para ibu berdiri di sana.
Dari sini kita tahu ada lebih dari satu ibu. Kalau kita tulis 'Ibu berdiri di sana', lebih mungkin ini hanya satu orang.
Bagaimana dengan 'Para ibu berdesakan menonton ayam sabung'? Meski kalimat ini secara struktur sudah oke, tetapi logikanya tidak terlalu tepat. Biasanya para pria yang menonton. Jadi, apakah ini salah ketik atau disengaja? Kita tidak tahu tanpa adanya teks lanjutan. Mungkin saja cerita ini tentang kaum mak-emak yang gemar judi sabung. Barangkali pengarang memang sengaja membuka kalimat dengan cara ini untuk menggelitik pikiran pembaca.
Namun, banyak juga pembaca yang tidak awas. Berita hoaks, misalnya. Mudah sekali menipu pembaca yang tidak menggerakkan logika kebahasaannya. Padahal, ada banyak petunjuk dalam teks tersebut yang bisa diuji kebenarannya.
Logika Waktu, Tempat, dan Penokohan
Kalau saya diminta mengecek cerita, biasanya mudah sekali saya mengendus kesalahan pengarang. Logika yang cacat itu biasanya datang dari logika waktu, logika tempat, logika karakterisasi, sampai logika umum. Misalnya, tokoh yang sakit di kantor lantai 30, bisa langsung didatangi dokter dalam waktu 5 menit. Daei segi lokasi, kalau dokternya lain gedung juga gak mungkin, ya. Ini logika lokasi. Contoh logika waktu: si A tinggal di Jakarta, si D di Bogor. Tengah malam ke Jakarta cuma 10 menit. Ya, sesepi-sepi Jakarta, gak mungkin juga naik motor bisa secepat itu. Logika karakterisasi itu misalnya inkonsistensi penokohan. Si A katanya tidak suka makan pedas, di tengah cerita makan pedas tanpa keluhan. Ini kan tidak masuk akal. Logika umum itu contohnya si A punya restoran dan ketika ada barang masuk tidak sesuai, langsung marah dan bahan tadi dibanting-banting. Ini tidak pas logikanya. Seolah-olah bahan tersebut tidak bisa dibuang tanpa perlu bersikap dramatis. Logika lain yang tidak nyambung: kok bisa bahan itu masuk? Biasanya restoran punya S.O.P dan suplier yang jelas. Nah, kelihatan di sini ada dua hal yang jadi masalah.
Logika Cerita
Namun, ada hal yang gak masuk akal dan dibiarkan dalam cerita. Ini saya sebut logika cerita. Contohnya dalam film Reservoir Dogs, tokoh yang sudah tertembak dan mengalami pendarahan hebat masih hidup berjam-jam (sempat pingsan juga). Atau John Wick diserang ribuan orang masih menang. Ini memang logika cerita yang ngaco, tetapi sedikit masih bisa dimaafkan. Dalam kedua contoh di atas, masing-masing punya tujuan mengapa tokohnya belum mati juga karena setup cerita yang membuat kisahnya 'bisa menerima kejanggalan ini'.
Sebagai tandingan, ada juga cerita yang sangat realistis (meski kategorinya cerita fantasi) seperti Game of Thrones. Dalam cerita ini, penonton pasti berharap Ed Stark tidak mati, diselamatkan dari hukum penggal. Kenyataannya, tidak ada yang menolong Ed. Dalam dunia nyata, banyak kasus seperti ini. Contoh lainnya adalah film Contagion yang hampir seperti prediksi wabah. Memang film ini ditopang ilmuwan PBB yang menjadi narasumber dan tentu tidak semua hal dalam cerita itu logis, tetapi masih bisa diterima akal sebagai bagian dari logika cerita. Prediksi tentang politik dan vaksin, juga kekisruhan borong belanja sudah terbukti.
Jadi, jangan sepelekan bahasa karena logika sering datang dari sebuah kata, tiap kata membentuk kalimat, dan tiap kalimat pada akhirnya membentuk cerita.
Beberapa bulan yang lalu saya mengadakan riset kecil-kecilan tentang bully (perundungan) sebagai stereotip dalam cerita remaja. Dari situ saya mendapat banyak masukan. Ketimbang menjawab dari sisi fiksi, lebih banyak yang cerita bagaimana perundungan yang terjadi di sekitar responden.
Untuk memudahkan, saya akan bagi pembahasannya jadi dua bagian. Dari segi fiksi dan fakta lapangan.
Fiksi
Meski kebanyakan cerita fiksi terbit profesional, banyak remaja yang sekarang menulis cerita di platform seperti Wattpad. Komunitas yang menjadi sasaran tanya saya juga komunitas penulis dan pembaca Wattpad (Forum Wattpader Indonesia) dengan respon dari usia remaja hingga dewasa.
Dari tanggapan mereka, rasanya kebanyakan cerita remaja menggambarkan perundungan dilakukan oleh
-remaja yang cantik atau ganteng
-populer dan atau kaya
-biasanya tidak sendirian, memiliki geng.
-di dalam geng itu biasanya si 'bos' yang aktif merundung. Yang lain ikut-ikutan.
-bad boy atau bad girl, tetapi tidak sesuai dengan definisi bad boy yang sebenarnya.
-anak donatur sekolah atau anak pejabat
-ada pembaca yang merasa bahwa tokoh perundung dihadirkan hanya demi membuat konflik dan agar pembaca bersimpati pada tokoh yang dirundung
-bertubuh kekar (cowok)
-perundung cewek cenderung ke body shaming
-pelaku orang yang cerdas (misalnya juara olimpiade matematika)
-queen bee dan atau pintar dandan
-pelaku adalah kakak kelas (cewek atau cowok)
Saya rasa, tanggapan dari Dian Fajarianto perlu saya kutip di sini:
"Taktik bully-annya banyak sih. Tapi secara garis besar ada yang main fisik, main verbal, dan make trik psikologis (mengucilkan, nge-prank, ngejebak, dan apa pun yang bisa menghancurkan harga diri korban). Pem-bully cowok biasanya suka main fisik/kekerasan. Tipe yang sering dipake itu Jerk Jock (anak tim olahraga yang songongnya bukan main, apalagi mereka punya keunggulan fisik dibanding tokoh lain).
"Pem-bully cewek biasanya pake taktik verbal. Ngata-ngatain, bikin target merasa bersalah meski nggak tau salahnya apa, dan menjelek-jelekkan apa pun dalam diri korban yang tak disukai pelaku.
"Kedua tipe pem-bully itu, kalo populer, juga bisa pake taktik psikologis nonverbal kayak menghasut orang banyak buat mengucilkan korban, atau bikin korban nggak nyaman di kelas/sekolah (gaslighting). Taktik ini yang paling berbahaya sebenarnya. Karena susah membuktikannya daripada bullying fisik dan verbal (fisik bisa aja ada bekasnya, ucapan bisa direkam atau screenshot, kalo itu cyberbullying). Parahnya kalo orang-orang udah merasionalisasikan tindakan mereka dan berpikir bahwa pelaku memang benar, menganggap korban pantas di-bully, bahkan orang yang gak ada kaitannya pun bisa ikut nge-bully.
"Karena ketiadaan bukti itu, biasanya guru/ortu lepas tangan dan menganggap, "Ah, cuma candaan biasa". Perlu kepekaan memang, tapi orang yang peka bakal dicap baperan, gak ngerti lelucon, dan bisa jadi korban berikutnya. Gitu aja terus sampai tau-tau ada yang wafat."
Fakta
Sedikit terkejut saya mendapati bahwa di dunia nyata, perundungan masih mirip-mirip dengan versi buku, tetapi variannya lebih luas.
-remaja cantik atau ganteng, tetapi bisa juga dilakukan oleh mereka yang tampangnya biasa saja
-merasa cantik atau ganteng, merasa populer, termasuk merasa pintar, kaya, dll.
-populer atau kaya tidak selalu jadi patokan. Sering juga pelaku adalah dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Yang kaya jadi korban palakan dan yang miskin dirundung secara fisik.
-tergantung situasinya, perundung bisa saja sendirian atau berkelompok. Kadang di dalam kelompok itu ada kelompok yang lebih kecil lagi.
-sindir-menyindir dan bersikap dramatis (cewek)
-tidak tertutup kemungkinan bahwa pelaku anak yang pintar dan berprestasi.
-pelaku bisa jadi kakak kelas.
-bentuk perundungan bisa fisik maupun verbal.
-memiliki benda tertentu (misalnya motor) sehingga merasa hebat
-orang atau kelompok yang dianggap berbeda dianggap sebagai musuh.
Menyikapi
Cukup menarik bahwa fiksi dan fakta sepertinya saling silang. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya sendiri: apakah ini bentuk life imitates art atau art imitates life?
Hal yang tadinya saya anggap fiksi yang bombastis, ternyata ada dalam dunia nyata. Kalau saya pikir-pikir, banyak memang, kasus perundungan fisik yang mengerikan di dunia nyata. Tidak sedikit korban perundungan yang tewas akibat kekerasan tersebut. Begitu pun dampak psikis kepada korban, yang jika terlalu dalam sakitnya, bisa membuat mereka memutuskan bunuh diri.
Harapan
Saya sengaja tidak menulis soal mengapa orang melakukan perundungan. Saya pikir, tugas penulis adalah mencari tahu hal itu sendiri. Yang menjadi perhatian saya adalah
-apakah penulis yang masih remaja menganggap merundung sebagai hal yang biasa?
-apakah penulis yang masih remaja mampu memasukkan nilai moral ke dalam cerita?
-apakah penulis-penulis belia ini memahami secara serius dampak psikologis dari perundungan?
Saya harap cerita berbasis perundungan bukan demi keren-kerenan cerita. Hal ini tentu mudah dipahami oleh penulis dewasa yang menulis cerita remaja. Bagaimana dengan penulis remaja yang cara berpikirnya belum mendalam?
---
Catatan: Terima kasih untuk FWI dan anggotanya yang telah memberi respon positif untuk pertanyaan saya.
Pertama karena kesannya si penulis 'malas' mikir. Kesannya, lho.
Kedua, karena risiko tinggi bagi yang dijadikan cast. Misalnya dijadikan objek fantasi seksual atau pelecehan. Pernah saya lihat beberapa bulan lalu ada remaja cewek yang memberi komen di postingan si seleb bahwa dia ingin melihat si cast ini telanjang. Mengerikan.
Ketiga, rawan pencemaran nama baik. Kalau cast-nya dijadikan tokoh baik-baik atau sehat-sehat saja, mungkin masih gak masalah. Kalau ditulis kena Ebola kan berabe. Bisa bikin geger. Atau kalau dibuat selingkuh, kan bisa dikira itu beneran.
Keempat, rawan jerat hukum. Kalau si seleb gak nyaman dengan apa yang ditulis, bisa saja dia menuntut. Bisa jadi, meski ceritanya baik, si seleb menuntut karena merasa tidak pernah mengizinkan namanya dipakai. Satu lagi, andaikan kalian mendapat keuntungan (royalti dan bentuk finansial lain) dengan memakai si dia sebagai cast, sementara dia tidak dapat apa-apa, itu bisa jadi masalah hukum. Kalau kalian kaya raya bisa bayar pengacara, ya silakan aja lanjut. Kalau gak, mending pikir sejuta kali.
Ada situasi-situasi lain yang perlu dipertimbangkan. Misalnya reaksi media sosial. Jangan sampai sebagai pengarang kalian dirundung atau dilaporkan oleh pihak ketiga. Ujung-ujungnya kan masalah hukum. Pertimbangkan juga bahwa netizen Indonesia belum banyak yang belum 'cerdas' dalam menanggapi cerita fiksi. Banyak pembaca yang menganggap fiksi itu sungguhan. Fiksi pelakoran saja dianggap kejadian nyata. Bisa-bisa mereka akan berpikir bahwa kelakuan cast memang seperti di dalam cerita.
Buat saya, menjadikan seleb sebagai cast cukup di dalam otak pengarang saja. Jangan kasih tahu pembaca. Ini rahasia kecil yang menyenangkan. Saya selalu berprinsip: biarkan pembaca memiliki imajinasi sendiri seperti apa atau seperti siapa si tokoh dalam cerita. Lagian, seneng amat sih kelien ngatur-ngatur?
In medias res adalah bahasa Latin yang artinya di tengah sesuatu. Dalam karya fiksi, termasuk puisi, istilah ini menggambarkan narasi yang langsung masuk ke tengah situasi kritis yang merupakan bagian dari deretan kejadian dan nantinya akan dikembangkan. Dalam bahasa yang lebih ringkas, cerita 'dimulai' dari pertengahan yaitu pada sebuah kejadian penting, baru kemudian mulai dari awal. Setelah dimulai di tengah, penulis kemudian bebas untuk menceritakan keseluruhan cerita dari awal atau menggunakan flashback.
Fungsi
In medias res, untuk saya, memaksa pembaca atau penonton untuk segera waspada bahwa cerita berada di titik kritis. Menurut Literary Devices, pembaca juga akan dipaksa untuk bertanya-tanya pada si pengarang, dalam artian bertanya-tanya apa yang terjadi dalam cerita. Hal ini memaksa pembaca atau penonton mempertanyakan segala aspek dan kejadian dalam cerita tersebut.
Ciri
Selain dimulai di tengah atau menjelang akhir cerita, tvtropes juga melihat in medias res biasanya melibatkan tokoh berada dalam situasi hidup dan mati. Meski, biasanya masih hidup.
Contoh
Contoh tertua dari penggunaan in medias res adalah The Illiad oleh Homer.
Dari dunia anime, Psycho-Pass dimulai dengan adegan perkelahian antara Shinya dan Makishima. Setelah itu cerita berjalan normal dari awal sampai akhirnya kita kembali menemukan adegan pertarungan itu. Pada Naruto Shippuuden, lima menit adegan pembuka, baru akan ditampilkan lagi setelah 40 episode.
Serial buku Twilight (Stephenie Meyer) selalu dibuka dengan teknik in medias res.
Video game Warriors Orochi, Persona 5, dan beberapa serial Final Fantasy juga memakai teknik ini (FF VII, X, XIII, XV)
Serial televisi seperti Breaking Bad memulai sekian menit cerita pada adegan yang menegangkan, membuat penonton bertanya-tanya, dan sulit meninggalkan kursi sebelum cerita flashback.
Untuk film, sutradara Christopher Nolan sering menggunakan teknik ini. Misalnya dalam Batman Begins, The Prestige, dan Inception.
False Protagonist atau kadang disebut decoy protagonist (Protagonis Palsu) adalah salah satu teknik plot twist yang cukup sering dipakai. Di sini, tokoh dibuat seolah-olah sebagai tokoh utama pada awal cerita, tetapi kemudian posisinya digantikan oleh tokoh lain.
Apa manfaat menggunakan teknik ini? Teknik ini dipakai untuk membuat cerita lebih dikenang karena membuat pembaca atau penonton percaya bahwa tokoh tersebut tokoh utama, tetapi ternyata bukan.
Menampilkan protagonis atau tokoh utama palsu ini bisa dengan bermacam cara.
A. Yang paling sering dipakai adalah dengan membunuh si tokoh. Misalnya dalam "Game of Thrones" musim pertama, penonton diyakinkan bahwa Ned Stark adalah tokoh utama cerita. Kematiannya pada episode terakhir membuat penonton terkejut dan menduga-duga siapa sebenarnya tokoh utama dari keluarga Stark. Dalam film "The Godfather", Vito Corleone adalah pemimpin keluarga dan menjadi pusat cerita sebelum ia sakit dan meninggal. Tokoh utama kemudian diganti oleh anaknya, Michael.
B. Masih dengan membunuh si tokoh, tetapi dengan memanfaatkan aktor ternama setelah muncul 5—15 menit. Tentu saja ini lebih cocok ke dalam produksi film. Contohnya, dalam film "Scream", aktris Drew Barrymore hanya bermain selama 15 menit. Namun, dalam promosi film, ia ditampilkan paling menonjol. Film lain yang menggunakan teknik ini adalah "Children of Men". Tokoh Julian yang diperankan Julianne Moore tampak sangat menjanjikan. Penonton akan berharap bahwa tokoh ini menjadi protagonis kedua dalam film. Apalagi dalam cerita, Julian adalah mantan istri tokoh utama. Saya tidak ingat tepatnya, tetapi tokoh Julian tewas dalam waktu 15—30 menit setelah tampil.
C. Menggeser tokoh yang tadinya protagonis menjadi antagonis. Dalam "Aladdin", cerita dibuka oleh sang penyihir yang melakukan perjalanan sulit dari Moroko ke Cina demi mendapatkan lampu ajaib. Sudut pandang ini baru diubah setelah ia membiarkan Aladdin terjebak di dalam gua. Cerita pun sekarang berasal dari Aladdin dan menjadikan si penyihir sebagai antagonis.
D. Menggeser tokoh utama pelan-pelan. Yang ini agak jarang karena tokoh utama dan tokoh pengganti biasanya sama-sama protagonis. Dalam serial anime "Psycho-Pass", tokoh Shinya yang tadinya menjadi sorotan, perlahan-lahan digantikan oleh Akane.
Hamlet seorang pangeran yang ayahnya telah meninggal selama beberapa waktu. Ibunya kemudian menikah dengan pamannya, Claudius, yang sekarang menjadi raja. Hamlet benci pernikahan itu.
Suatu malam, Hamlet bertemu hantu yang memintanya membalas dendam karena dialah sang raja yang dibunuh oleh Claudius. Hamlet pun bersiap. Namun, dia bukan tipe orang yang terburu-buru. Ia banyak merenung. Hal ini membuat cemas sang ratu, Gertrude, dan mengutus teman-teman Hamlet untuk mencari tahu. Polonius, seorang pejabat rumah tangga istana, menduga Hamlet sedang tergila-gila pada putrinya, Ophelia. Namun, Hamlet tidak tertarik. Ia menyuruh Ophelia pergi ke biara wanita.
Ketika lewat grup teater keliling, Hamlet mendapat ide untuk mengetes apakah Claudius si paman bersalah atau tidak. Dalam pertunjukan itu ada sebuah adegan yang dibayangkan Hamlet begitulah cara Claudius membunuh ayahnya. Ketika melihat adegan itu Claudius langsung pergi. Bagi Hamlet, inilah buktinya. Hamlet kemudian hendak membunuh pamannya, tetapi sang paman sedang berdoa. Hal itu membatalkan niatnya karena menurut Hamlet jika Claudius mati saat berdoa, arwahnya akan menuju surga.
Setelah itu Hamlet berhadapan dengan ratu di kamar. Ia tidak tahu kalau Polonius menguping dan ketika mendengar keributan, Hamlet menghunuskan pedangnya sebagaimana ia mengira Claudius yang bersembunyi. Polonius mati. Akibatnya Hamlet segera dikirim ke Inggris. Namun, diam-diam Claudius memerintahkan teman-teman Hamlet yang akan menemani perjalanan itu untuk memastikan Raja Inggris menghukum mati Hamlet.
Kematian Polonius membuat Ophelia hilang akal dan bunuh diri. Laertes, anak Polonius, pun marah setelah Claudius meyakinkan bahwa Hamletlah pembunuh keduanya. Claudius memanfaatkan situasi ketika Hamlet harus kembali karena kapalnya diserang perompak. Ia pun memanfaatkan kemarahan Laertes yang ingin membalas dendam. Sebuah duel direncanakan. Pada pedang milik Laertes, Claudius membubuhkan racun. Sebagai rencana cadangan, jika Hamlet yang menang, gelas anggurnya telah dibubuhi racun.
Hamlet tiba saat pemakaman Ophelia. Merasa sangat berduka, Hamlet menyerang Laertes dan mengatakan bahwa sebenarnya ia sangat mencintai Ophelia. Setelah kembali ke kastil, ia meyakini bahwa salah satu dari mereka harus mati karena kematian bisa datang kapan saja. Tak lama kemudian, datanglah utusan Claudius yang mengatur duel antara Laertes dan Hamlet.
Duel pun berlangsung. Hamlet berhasil melukai Laertes, tetapi menolak anggur yang ditawarkan Claudius. Malah, Ratu Gertrude yang meminumnya lalu tewas. Duel kembali berlangsung. Kali ini menyebabkan Hamlet terluka. Namun, ia masih hidup. Pertarungan terus berlangsung dan akhirnya Laertes terluka oleh pedang beracunnya. Sebelum tewas, ia memberi tahu bahwa Claudius bertanggung jawab atas kematian sang ratu. Hamlet menusuk Claudius dengan pedang beracun lalu memaksanya minum sisa anggur. Claudius tewas. Hamlet sendiri mati tak lama kemudian.
Kalian baru saja mendengarkan sinopsis superpendek dari Hamlet. Cerita tragedi ini dianggap sebagai karya Shakespeare yang paling kompleks, paling sering dibahas, dan paling sering diproduksi entah dalam bentuk film, televisi, maupun radio, terutama di masa modern. Tapi kenapa?
7 Alasan Mengapa kamu harus membaca Hamlet
1. Relevan
Apa yang ditampilkan dalam Hamlet merupakan permasalahan abadi manusia. Ada pembunuhan, dendam, keserakahan, konspirasi, tipu daya, dan pergumulan batin.
Claudius menginginkan kekuasaan. Ia mengkudeta raja yang sah. Hantu raja dan Hamlet dendam pada Claudius. Hamlet merencanakan pembalasan.
Claudius memanipulasi Laertes dan berkonspirasi membunuh Hamlet untuk mengamankan kejahatannya. Melakukan duel demi harga diri plus tipu daya pembunuhan, hanya berakhir dengan kematian.
Relevan? Sering mendengar atau membaca kasus seperti ini? Ya. Dalam masa modern/ harta dan kekuasaan masih menjadi pemicu nafsu. Kita banyak mendengar kasus pembunuhan yang berbasis penguasaan atau kekayaan, juga demi harga diri. Dan semua itu membuat kita bertanya-tanya, mengapa mereka melakukannya.
2. Tema
Sebenarnya, apa sih tema besar Hamlet? Saya yakin kalian langsung bisa menebaknya. Ya. Balas dendam. Sepanjang cerita berisi pemikiran tentang membalas dendam. Namun, baru menjelang akhir cerita dendam itu dilaksanakan.
3. Karakter
Apakah Hamlet jahat? Menginginkan kematian dan membalas dendam, tentu bukan perbuatan terpuji. Saya pikir Hamlet seorang antihero jika bukan karakter abu-abu. Ada pergeseran dari tokoh baik menjadi gelap. Dia masih memiliki moralitas. Namun, sepertinya dia terjebak dalam pikirannya.
Claudius, di lain pihak memainkan peranan antagonis merangkap penjahat (villain) dan meskipun dia menyadari perbuatannya salah, dia tidak melepaskan diri. Di sinilah tragedi sebenarnya berawal. Seandainya Claudius mengakui kejahatannya dan mengusahakan rekonsiliasi dengan Hamlet, mungkin meski tidak berakhir happy ending, tingkat tragedinya tidak sekelam akhir yang kita lihat.
4. Dilema
Hamlet menyadari kejahatannya ketika dia ingin memastikan Claudius mati masuk neraka. Kenyataan Claudius berdoa menjadi dilema moral bagi Hamlet.
Ia juga mengalami krisis eksistensial dalam beraksi, dan pikiran-pikiran soal kematian:
To be or not to be—that is the question:
Whether ’tis nobler in the mind to suffer
The slings and arrows of outrageous fortune,
Or to take arms against a sea of troubles
And, by opposing, end them ...
(Hamlet, Act 3, Scene 1.)
(Melakukan atau tidak—itu pertanyaannya:
Apakah lebih mulia berpikir untuk menderita dari
Pengumban dan panah keberuntungan yang memalukan,
Atau mengambil senjata/ melawan lautan masalah
Dan, secara bertentangan, mengakhirinya.)
5. Moral
Siapa yang paling diuntungkan dalam cerita ini? Tidak ada. Tidak satu tokoh pun mendapat keuntungan.
Obsesi Hamlet membuatnya lupa ada sisi lain kehidupan. Laertes terbawa amarah dan dendam sehingga mudah dimanipulasi.
Mungkin korban yang paling sia-sia adalah Ophelia. Pikirannya polos dan hanya jadi komoditas Polonius untuk menguatkan posisinya dalam hirarki kerajaan.
Bagaimana dengan Hantu? Ya, dendamnya sudah terbalas. Namun, apakah sepadan dengan membawa kematian bagi istri dan anaknya? Bukankah keinginannya terdengar egois?
Mungkin pertanyaannya jadi lebih besar:
Apakah membalas dendam menjadi satu-satunya cara menyelesaikan masalah?
Apakah membalas dendam harus dengan membunuh?
6. Terbuka pada interpretasi
Cerita Hamlet tergolong terbuka untuk perdebatan, lho. Makanya banyak ahli yang mempertanyakan perihal psikologi, kebiasaan, sosiologi, dan aspek lain yang terkait dengan cerita ini.
Misalnya ada perdebatan apakah Hamlet gila, sekadar terbawa nafsu, atau terobsesi? Kenyataan dia mengingkari perasaannya pada Ophelia buat saya menunjukkan dia orang yang waras dan penuh kalkulasi. Dia juga seorang pemikir sehingga monolognya filosofis.
Lalu apakah Ophelia benar-benar bunuh diri atau jatuh ke air? Apakah tenggelam merupakan simbolisme atau metafora atas kejadian lain?
Bagaimana dengan Ratu Gertrude? Sepertinya dia memang terlibat perselingkuhan karena diisyaratkan oleh Hantu. Namun, apakah dia terlibat persekongkolan pembunuhan? Dia terlihat kaget ketika Hamlet menuduhnya. Apakah dia tahu kalau anggur untuk Hamlet sebenarnya sudah diracun? Mengapa dia berkata
"I will, my lord; I pray you, pardon me" (Act 5, scene 2.)
Saya akan (meminumnya), Yang Mulia.
7. Fakta
Hamlet adalah drama terpanjang Shakespeare yang butuh 4 jam penampilan. Tapi jangan salah, Hamlet adalah cerita blockbuster dari masa Shakespeare sampai sekarang. Alasannya? Barangkali Pangeran Hamlet adalah refleksi dari diri kita sendiri yang diam-diam curiga, diam-diam berkomplot dengan kematian, dan siap membalas dendam. Setidaknya dalam pikiran kita.
Sebagai bagian dari Wattpad, saya tentunya menerima rekomendasi cerita di halaman utama. Menariknya, saya melihat judul-judulnya mirip satu sama lain atau memakai kata yang sama. Saya sudah pernah membahas tentang judul dan bisa dibaca di sini
Kemiripan judul bisa membuat cerita kita tidak menonjol. Coba bayangkan kata bad boy. Kata ini telah ratusan kali dipakai dalam judul cerita di Wattpad. Jadi, pertanyaannya, apa istimewa ceritamu dari judul yang mirip? Toh isinya cuma soal bad boy. Ceritamu akan tenggelam dalam tumpukan judul yang mirip.
Inilah pentingnya membuat judul yang spesifik. Ketimbang mengandung kata yang sama, coba bermain sedikit. Misalnya, ketimbang berjudul Bad boy yang Manis, coba ganti jadi Cowok Rese yang Manis. Lakukan pencarian kata di Wattpad. Lihat, berapa banyak pengarang memakai kata 'cowok manis'. Pasti lebih sedikit ketimbang bad boy. Mau lebih ekstrem? Bisa saja judulnya Bajingan Manis. Cek lagi, seberapa banyak orang memaakai kata 'bajingan'.
Dengan bantuan sebuah grup Wattpad (Forum Wattpader Indonesia) di Facebook, saya mendapat lebih dari 30 kata yang paling sering dipakai oleh genre umum dan remaja. Selebihnya spesifik di genre fantasi/sci-fi. Terima kasih untuk bantuannya.
Semoga kamu bisa menghindari kata-kata yang umum dipakai dalam judul. Makin miris ketika judulnya merupakan kombinasi dari kata yang itu-itu juga seperti
my + possessive/cool/nerd + husband/bad boy/boyfriend/girlfriend
Berikut daftar dan variasinya.
Genre umum, romansa, teenlit, dan religius
- Bad, My Bad ...
Bad boy ..., Badboy and ..., Bad Girl ..., Bad Girl vs ...
- Bastard
- Boyfriend
Sweet boyfriend
- brother
My Brother is ..., Possessive Brother ...
- CEO
Cold CEO, Possessive CEO
- Cold (boy/girl)
- Cool, Coolboy, Coolgirl, Cold CEO
Setiap cerita memiliki pesan. Bisa dalam bentuk moral, kebijaksanaan, kedewasaan, atau yang lainnya. Moral terbentuk jauh sebelum cerita ditulis, yaitu ketika masih dalam masa digodok. Kita kembali pada tema. Tema apa yang ingin kita sampaikan? Tema inilah yang menjadi dasar dari moral. Tema sendiri akan saya bahas terpisah, ya. Namun, supaya ada gambaran, tema itu semacam esensi dari cerita.
Menurut Steve Alcorn, tema itu pesan yang terkait dengan hasrat yang diinginkan oleh si pengarang. Jadi kalau hasratnya membahas soal lingkungan hidup, tema (pesannya) berupa pentingnya menjaga lingkungan hidup dari kerusakan. Jadi, tema = pesan.
Namun, tidak semuanya menganggap tema sebagai pesan. K. M. Weiland, misalnya, berpendapat bahwa tema sifatnya lebih umum, sedangkan pesan ditemukan dalam situasi cerita yang spesifik, yang mengilustrasikan prinsip-prinsip yang tematis. Jadi, kalau menurut Weiland, contoh tema dalam Jane Eyre adalah kepantasan diri (self-worth). Pesannya adalah bahkan cinta yang luar biasa tidak pantas untuk memperbudak jiwa kita.
Buat saya, melihat kaitan tema dan pesan atau moral itu bisa dengan cara:
Tema + kejadian dalam cerita dan hasil dari kejadian itu = moral/pesan.
Misalnya:
1. Cerita Orang-Orang Proyek (Ahmad Tohari) temanya korupsi. Kejadian dalam cerita adalah jembatan yang dibangun cepat rusak karena dana proyek dikorupsi. Pesannya: korupsi menguntungkan sebagian kecil pihak, tetapi lebih banyak memberi sengsara bagi rakyat.
2. Lelaki Harimau memiliki tema KDRT. Dalam cerita, KDRT yang dilakukan ayah si protagonis menyebabkan si protagonis dendam. Jadi pesannya: KDRT, baik verbal maupun fisik, menyebabkan luka psikologis yang ditanggung oleh seluruh anggota keluarga.
3. Lords of The Ring salah satu temanya adalah keserakahan. Contohnya Boromir dan Smeagol sangat ingin untuk menguasai cincin. Boromir tewas. Smeagol kehilangan wujud manusia dan pikirannya hanya dipenuhi soal cincin. Pesannya keserakahan tidak membawa kebaikan.
Lalu bagaimana kita menyampaikan sebuah pesan? Bisa terang-terangan maupun implisit. Hanya saja, kalau terang-terangan dan menggurui akan terasa kering dan membosankan jika pesannya merupakan kebenaran umum. Seperti, cuci tangan sebelum makan untuk mengurangi kuman, dendam itu tidak baik, mencontek itu salah, dll. Selengkapnya baca "Pesan (yang Menggurui)".
Nah, untuk menghindari pesan yang menggurui, Weiland menganjurkan dengan melalui empati, rasa peduli pada tokoh dan perasaan mereka. Misalnya, dalam Lelaki Harimau, pembaca akan berempati pada protagonis karena dia mengalami masa kecil yang cukup sulit, melihat bagaimana ibunya smenderita kekerasan seksual dan fisik. Meskipun pembaca tahu bahwa dendam dan membunuh salah, mereka memahami perasaan si protagonis dan dapat menyimpulkan sendiri pesan cerita ini.
Tidak semua orang bisa menangkap pesan sebuah cerita. Namun, separah-parahnya, saya selalu yakin, pembaca pasti bisa menemukan sesuatu, meskipun terasa kabur. Apalagi sebuah cerita biasanya bisa mengandung beberapa lapisan tema dan moral. Serial Harry Potter, misalnya, mengandung tema persahabatan, kerja sama, percaya pada diri sendiri, dll. Karangan saya, Badai, bertema cinta, dendam, pengkhianatan, dan maaf. Dengan begitu ada beberapa pesan dan salah satunya pasti bisa ditangkap oleh pembaca.
Pengarang tidak perlu mencemaskan bahwa pembaca tidak bisa menemukan pesan atau moral cerita. Ketakutan seperti ini hanya membuat cerita jadi menggurui dan membuat pembaca seolah-olah bodoh.
Narasumber
How to Fix Your Novel oleh Steve Alcorn. Theme Perks Press, 2012.
"What's The Difference Between Your Story's Theme and Its Message?" oleh K. M. Weiland di Helping Writers Become Authors.com. Tanggal 14 Desember 2014.
https://www.helpingwritersbecomeauthors.com/storys-theme-2/ (diakses tanggal 23 November 2019)
Catatan: artikel ini saya batasi hanya menjelaskan hubungan mentor dan pesan moral.
Dalam cerita-cerita lokal ada kesan bahwa pesan moral harus diungkapkan secara eksplisit oleh tokoh berpengaruh. Padahal sebenarnya pesan moral sifatnya global, bahkan ditentukan jauh sebelum cerita ditulis. Kita bahas pada artikel "Moral: Apa dan Bagaimana".
Meski demikian, boleh-boleh saja tokoh tertentu memberi nasihat, asalkan tidak menggurui (karena menggurui itu klise). Biasanya tokoh yang memberi nasihat ini sepadan dengan 'orang tua bijaksana' entah dalam bentuk master silat, orang tua, guru, profesor, dukun, dll. Dalam bahasa yang ringkas, mereka biasanya disebut mentor.
Tokoh mentor tidak selalu berasal dari generasi tua. Dalam cerita remaja, biasanya teman sepermainan menjadi tempat curhat dan minta saran. Becca Puglisi menjelaskan betapa lebih masuk akal bagi remaja mendapat saran dari teman ketimbang orang tua. Kenapa? Karena sesama remaja lebih mengerti.
Dalam cerita tertentu, orang dewasa atau anak-anak kadang belajar dari anak kecil atau makhluk lain. Misalnya dalam The Little Prince, menurut saya Sang Pangeran menjadi sumber kebijaksanaan bagi tokoh "aku". Dalam buku yang sama, rubah menjadi mentor bagi Sang Pangeran. Dalam Alice's Adventures in Wonderland (versi asli, bukan Disney) ulat bulu, Cheshire Cat, dan Gryphon adalah tokoh mentor. Sementara itu, Secret Garden juga memiliki beberapa mentor. Tokoh anak perempuan menjadi mentor bagi si tokoh anak lelaki. Namun, anak perempuan itu juga memiliki mentor yaitu tukang kebun.
Dalam arketipe karakter, tokoh mentor merupakan peran pembantu. Fungsinya menjadi penuntun protagonis dalam mencapai tujuannya. Dia bisa saja memberi nasihat, tetapi gak harus, ya. Kadang dia juga tidak ingin jadi guru (butuh suatu dorongan untuk menerima protagonis sebagai muridnya). Fred Johnson menekankan bahwa tokoh mentor gak harus bijak. Ingat, semua tokoh pasti punya kekurangan. Bayangkan kalau si mentor superbijak. Bakal panjang dia ngasih petuah. Mungkin si protagonis juga begah dengerinnya. Ujung-ujungnya berasa talk only, no action.
Dalam cerita-cerita yang menarik, tokoh mentor tidak mencekoki protagonis dengan petuah. Tulisan Fred Johnson ini perlu diingat: tugas mentor itu bukan untuk memberi tahu (tell) si protagonis apa yang harus dipikirkan, melainkan mengajarkan bagaimana (how) caranya berpikir.
Bagaimana membuat si mentor mengajarkan how ketimbang tell? Menurut saya, bisa dengan memanfaatkan motto pendidikan dari Ki Hajar Dewantara: di depan jadi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang jadi pendorong.
Entah mengapa cerita-cerita kita senang sekali membuat tokoh yang datang untuk menggurui, menguliahi, menceramahi, ataupun mencekoki tokoh lain dengan nasihat. Datangnya entah dari orang tua, orang yang dituakan, teman superbijak, ketua RT, dan entah siapa lagi. Saya pernah melihat sebuah karya penulis amatir yang berisi tiga orang teman dan dalam 1 bab ada sekitar tiga hingga empat petuah beruntun di antara mereka mulai dari tidak boleh keluar tanpa pendamping, sampai urusan mencuri itu salah. Wow.
Saya tidak bermasalah dengan pesan moral. Setiap karya fiksi punya pesan moral. Masalahnya, di Indonesia telah terjadi salah kaprah bahwa pesan moral itu harus selalu verbal. Dari buku anak hingga dewasa isinya petuah verbal. Tidak boleh begini, harus begitu, ini salah, itu dosa, anu bisa dipenjara, dst. Ini berbeda dengan buku atau film luar yang merangsang pembaca atau penontonnya untuk berpikir sendiri dan mengekspresikan pendapat mereka tentang moral atau pesan cerita.
Tentu saya tidak menolak kenyataan bahwa tidak semua pembaca dan penonton bisa menangkap pesan tersirat. Jika mereka kurang atau tidak berpendidikan, lebih mudah untuk menyampaikan pesan secara eksplisit. Jenis penikmat cerita yang hanya menjadikan cerita sebagai hiburan, misalnya kelas pekerja, mungkin lebih tepat dengan pesan instan ketimbang harus merenung. Itu sebabnya, saya tidak protes jika sinetron di televisi yang gratis kita tonton, bersifat kering, menggurui, dan membosankan. Target penontonnya bukan pencari intelektual.
Hal yang ingin saya sorot adalah buku atau sinema yang seringkali untuk remaja, mahasiswa, dan orang kritis, dipaksa untuk tetap menerima pesan dengan format sinetron dan moral menggurui. Dan yang menjadi masalah menurut saya:
1.Pesan yang literal, verbal, eksplisit, dan menggurui terasa membosankan. Kenapa? Karena si penulis sering membiarkan tokoh berceramah tentang masalah yang sudah diketahui pembaca: membunuh itu salah, mencuri bisa dipenjara, mem-bully tidak baik. Semua orang sudah tahu. Kenapa harus memberi tahu apa yang sudah diketahui pembaca/penonton?
2.Pengarang membuat seolah-olah audiens orang bodoh. Tidak ada audiens yang bodoh. Pengarang harus meletakkan audiens sebagai rekan ketimbang 'bawahan yang dungu dan harus disuapi pengetahuan'. Ini berkaitan dengan poin berikutnya.
3.Pengarang tidak sanggup menahan ego untuk tidak menggurui. Saya tahu 'berbagi kebaikan itu penting'. Namun, pengarang harus ingat bahwa dia mengerjakan cerita, bukan buku kumpulan petuah. Kadang, begitu banyak petuah yang dia sampaikan, sampai-sampai tidak ada hubungannya dengan jalan cerita.
4.Cerita adalah kumpulan konflik. Jika ada yang datang, memberi nasihat, lalu nasihatnya dituruti, konflik telah selesai. Cerita pun ikut selesai. Dan ini berkaitan dengan poin selanjutnya.
5.Deus ex machina adalah jenis plot twist yang tidak disarankan. Plot twist ini menghadirkan tokoh sebagai pamungkas masalah dengan cara yang tidak masuk akal. Aslinya merujuk pada drama Yunani/Romawi kuno yang sering mengakhiri cerita dengan datangnya sang dewa untuk menyelesaikan masalah. Dan itu sebabnya mereka nongol terakhir karena setelah itu cerita pun langsung selesai. Baca Deus ex machina di sini.
Kesimpulannya:
A.Cerita yang menggurui mematikan cerita.
B.Cerita yang menggurui mematikan perjuangan tokoh karena masalah diselesaikan dengan petuah.
C.Pembaca/Penonton tidak diberi kesempatan untuk meresapi secara intelektual dan batiniah atas pesan yang ada.
Eucatastrophe (baca: yuu.ketas.tro.fi) merupakan sebuah istilah yang digagas oleh J. R. R. Tolkien yang bisa diartikan sebagai sebuah kejadian tiba-tiba yang memastikan si protagonis tidak menemui malapetaka mengerikan.
Tolkien menggunakan bahasa Yunani yaitu prefiks 'eu' dan 'catastrophe'. Prefiks 'eu' berarti 'baik'. Sementara itu, 'catastrophe' atau katastrofe dalam KBBI V diartikan sebagai (1) malapetaka besar yang datang tiba-tiba (2) sebagai istilah sastra berarti akhir drama, terutama drama klasik yang bersifat tragedi.
Hal lain yang dibahas dalam artikel ini: fakta, ciri, dan tip membuat Eucatastrophe, perbedaannya dengan deus ex machina, dan contoh.
Cerita yang mengandung eucatastrophe biasanya meletakkan si tokoh dalam bencana yang berakhir dengan kesejahteraan (well-being) atau kebaikan si tokoh. Bukan sekadar happy ending, eucatastrophe memberi sukacita (joy). Timothy Willard menulisnya sebagai "ketika segala asa sepertinya hilang, keadaan sudah begitu suram, harapan muncul".
Dalam bahasa yang sederhana, bisa diartikan begini: situasi sudah begitu buruknya. Si tokoh sepertinya tak punya harapan untuk memperbaiki atau menyelesaikan tugasnya. Eh, datanglah sesuatu yang menyelamatkannya. Yang baca sudah harap-harap cemas sampai menahan napas. Begitu situasi terselamatkan, pembaca pun girang setengah mati.
Tolkien mengatakan bahwa eucatastrophe tidak menyangkal kegagalan mendadak oleh protagonis, melainkan menyangkal kekalahan final universal dan merupakan evangelium (kabar baik), memberi secercah pandangan tentang Sukacita, [dan] kepedihan layaknya kesedihan. (Timothy Willard mengutip Tolkien on Fairy-Stories, Expanded Edition with Commentary and Notes oleh J. R. R. Tolkien, Verlyn Flieger, and Douglas A. Anderson. London: Harper Collins Publ., 2014.)
Sebagai ilustrasi, pembaca atau penonton cemas setengah mati apakah Gandalf bisa melarikan diri dari menara Sauron dalam Lord of the Rings. Ketegangan ini dijawab dengan datangnya burung raksasa ketika situasi Gandalf sangat terdesak. Pembaca/penonton mungkin akan berteriak girang, melompat-lompat, atau bahkan merasa lega. Perasaannya meluap, lebih dari sekadar senang, tetapi sukacita (girang).
Fakta seputar Eucatastrophe
- Istilah eucatastrophe pertama kali ditulis Tolkien dalam esainya "On Fairy-Stories" pada tahun 1942 (ada juga sumber yang mengatakan tahun 1947).
- Meski minat Tolkien adalah mitologi, eucatastrophe juga erat dengan pemikiran Tolkien terhadap gospel Kristen.
- Eucatastrophe berlawanan dengan catastrophe. Catastrophe berakhir dengan tragedi. Eucatastrophe berakhir dengan kebahagiaan.
-Tolkien berbagi diskusi dengan C. S. Lewis (pengarang serial Narnia) tentang kekristenan (termasuk eucatastrophe) yang kemudian menginspirasi Lewis untuk menulis esai "Myth Became Fact" pada tahun 1944.
Ciri Eucatastrophe
1. Eucatastrophe lebih dari sekadar akhir yang bahagia. Ia adalah kesukacitaan yang 'mengambil giliran' dalam cerita (karena tidak ada akhir yang sejati pada setiap dongeng). Ia adalah anugerah yang ajaib, tidak akan bisa diandalkan untuk terulang kembali.
2. Tidak menyangkal adanya kesedihan dan kegagalan. Namun, ia menyangkal kekalahan akhir universal (universal final defeat),dan memberikan sekilas gambaran tentang Sukacita.
3. Tiba-tiba, tak diduga
4. Ajaib
5. Happy ending
6. Tokoh berada dalam situasi terdesak dan tidak ada jalan keluar
7. Masalah terselesaikan bukan karena si tokoh yang memiliki kontrol untuk menyelesaikannya, tetapi karena ada faktor luar atau intervensi, misalnya keajaiban.
Tip Membuat Eucatastrophe
- Pastikan si tokoh meyakini bahwa dirinya sudah di ambang malapetaka.
- Meskipun kejadiannya kecil, pastikan kejadian itu sangat penting bagi si tokoh.
- Kebaikan yang datang setelah pembaca yakin kalau yang terburuklah yang akan datang, harus diungkapkan dengan segera.
- Kejadiannya tidak harus membahayakan si tokoh
- Tidak harus terjadi di akhir cerita.
- Bisa berbentuk emosi, tidak harus selalu berbentuk plot.
Eucatastrophe vs. Deus Ex Machina
Susah-susah gampang untuk melihat perbedaan eucatastrophe dengan Deus ex machina. Secara umum keduanya sama-sama:
- tiba-tiba dan tak diduga
- ajaib
- tokoh berada dalam situasi terdesak dan tidak ada jalan keluar
- sama-sama bisa dipakai dalam drama dan komedi
Untuk cerita modern, Deus ex machina bisa tercampur dengan eucatastrophe. Misalnya film "Monty Python and the Holy Grail". Sebagai sebuah komedi, film ini digadang berbau Deus ex machina, padahal memiliki happy ending. Namun, karena plotnya kelihatan tidak masuk akal (polisi modern mendadak nongol di zaman Raja Arthur), akhirnya jatuh ke Deus ex machina.
Berikut perbedaan umum antara eucatastrophe dan Deus ex machina.
Eucatastrophe
Deus Ex Machina
masuk akal
tidak masuk akal
happy ending bercampur dengan kesedihan dan kesalahan
happy ending menutup ending yang masih bolong-bolong
cocok dengan cerita
sering kali tidak pas dengan cerita
datang dari dalam cerita
kadang-kadang bukan dari dalam cerita
harapan adalah faktor penting
harapan bukan faktor
alami dari dalam cerita
palsu dan dipaksakan
Contoh
1. Lord of the Rings (buku/film)
a) Ketika Frodo merasa mustahil untuk membuang cincin ke api gunung berapi, Gollum datang mengambil cincin itu. Pembaca/penonton merasa kejahatan menang. Namun karena terlalu gembira, Gollum terjatuh ke dalam api bersama cincinnya. Dengan demikian, Sauron dan semua kelompok kejahatan yang bersekutu dengannya berhasil dilumpuhkan. Perang yang tengah terjadi pun terhenti. Dunia terselamatkan.
b) Meskipun kebaikan telah menang, Frodo merasa dirinya berbeda ketika pulang ke kampung Hobbit dan sebagai penutup dia meninggalkan kampungnya. Ini bagian eucatastrophe yang tidak menyangkal adanya kesedihan dan kegagalan.
2. Game of Thrones (buku/serial TV)
Dalam season 8, episode 3, Perang Winterfell menjadi pertarungan keras antara manusia dan white walkers. Pada saat situasi sudah genting (sepertinya pihak manusia sudah kewalahan dan banyak tokoh penting gugur), Bran Stark berhadapan langsung dengan Night King. Night King siap membunuh Bran. Tanpa diduga, Arya muncul dan membunuhnya. Seluruh pasukan white walkers lenyap dan manusia menang. Adegan ini contoh terbaik eucatastrophe di mata saya karena sebelum momen sukacita, momen Arya nongol sempat memberi sukacita, lalu penonton sempat merasa tidak punya harapan ketika Night King mencekiknya, dan kembali bersorak ketika pisau jatuh dan ditangkap oleh tangan Arya yang lain sehingga bisa menusuk Night King. Dan kali ini benar-benar sorak panjang. Ada banyak video reaksi Youtube yang bisa dipakai dalam mempelajari reaksi penonton saat menonton episode ini.
3. Harry Potter and the Deathly Hallows (buku)
Neville berusaha menahan laju Voldemort dan disiksa dengan Sorting Hat. Orang lain tak berani melawan Voldemort. Sementara itu, banyak tokoh baik terluka dan gugur. Kemudian centaur menyerang, Neville terbebaskan, dan Harry yang diyakini sudah tewas nongol sebagai Not Quite Dead and mengalahkan Voldemort.
"Eucatastrophe: J. R. R. Tolkien and C. S. Lewis's Magic Formula for Hope" oleh Tim Willard. Situs A Pilgrim in Narnia. 21 Desember 2015. https://apilgriminnarnia.com/2015/12/21/eucatastrophe/ (Diakses tanggal 27 Agustus 2019)
"The Hobbit: Deus Ex Machina and Eucatastrophe" di-upload oleh Kenny di situs SlideServe.com. 27 Juli 2014. https://www.slideserve.com/kenny/the-hobbit (diakses tanggal 26 Agustus 2019)