Tampilkan postingan dengan label Kebahasaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kebahasaan. Tampilkan semua postingan

Logika Bahasa dan Logika Cerita

 


SAYA MAKAN ADIK TIDUR 

Semua pengarang harus tahu, hal penting dalam tulisan mereka adalah isinya. Mulai dari penokohan sampai bagaimana cerita berakhir, itu yang utama.

Sedikit orang tahu, kalau saya membalik kebutuhan mana yang lebih penting. Saya selalu memulai dari kemampuan berbahasa. Simpelnya, semua orang bisa baca tulis, tetapi belum tentu memahami isinya, bahkan belum tentu memahami logikanya.

Seperti kalimat pembuka di atas yang bisa multitafsir. Apakah saya makan adik yang sedang tidur? Apakah saya makan adik sambil tidur atau lalu tidur? Atau saya makan ketika adik tidur? Bagaimana jika kalimatnya: 'Makan adik saya tidur'? Kalimat-kalimar tersebut menjadi gamang dalam pemahaman.

Logika Bahasa dan Logika Cerita

Sebuah kata bisa menentukan seluruh cerita. Satu kata salah ditempatkan bisa merusak makna. Bahkan tidak adanya tanda koma bisa membuat orang bingung, seperti contoh di atas.

Keterampilan berbahasa tidak didapat dalam sekali belajar. Itu sebabnya latihan itu penting. Banyak membaca perlu bukan hanya untuk menambah wawasan, tetapi juga membiasakan diri dengan pola-pola kalimat. Tentu, bacaannya yang terseleksi, ya.

Logika cerita juga berkaitan dengan logika bahasa. Contoh: Para ibu berdiri di sana.
Dari sini kita tahu ada lebih dari satu ibu. Kalau kita tulis 'Ibu berdiri di sana', lebih mungkin ini hanya satu orang.

Bagaimana dengan 'Para ibu berdesakan menonton ayam sabung'? Meski kalimat ini secara struktur sudah oke, tetapi logikanya tidak terlalu tepat. Biasanya para pria yang menonton. Jadi, apakah ini salah ketik atau disengaja? Kita tidak tahu tanpa adanya teks lanjutan. Mungkin saja cerita ini tentang kaum mak-emak yang gemar judi sabung. Barangkali pengarang memang sengaja membuka kalimat dengan cara ini untuk menggelitik pikiran pembaca.

Namun, banyak juga pembaca yang tidak awas. Berita hoaks, misalnya. Mudah sekali menipu pembaca yang tidak menggerakkan logika kebahasaannya. Padahal, ada banyak petunjuk dalam teks tersebut yang bisa diuji kebenarannya.

Logika Waktu, Tempat, dan Penokohan

Kalau saya diminta mengecek cerita, biasanya mudah sekali saya mengendus kesalahan pengarang. Logika yang cacat itu biasanya datang dari logika waktu, logika tempat, logika karakterisasi, sampai logika umum. Misalnya, tokoh yang sakit di kantor lantai 30, bisa langsung didatangi dokter dalam waktu 5 menit. Daei segi lokasi, kalau dokternya lain gedung juga gak mungkin, ya. Ini logika lokasi. Contoh logika waktu: si A tinggal di Jakarta, si D di Bogor. Tengah malam ke Jakarta cuma 10 menit. Ya, sesepi-sepi Jakarta, gak mungkin juga naik motor bisa secepat itu. Logika karakterisasi itu misalnya inkonsistensi penokohan. Si A katanya tidak suka makan pedas, di tengah cerita makan pedas tanpa keluhan. Ini kan tidak masuk akal. Logika umum itu contohnya si A punya restoran dan ketika ada barang masuk tidak sesuai, langsung marah dan bahan tadi dibanting-banting. Ini tidak pas logikanya. Seolah-olah bahan tersebut tidak bisa dibuang tanpa perlu bersikap dramatis. Logika lain yang tidak nyambung: kok bisa bahan itu masuk? Biasanya restoran punya S.O.P dan suplier yang jelas. Nah, kelihatan di sini ada dua hal yang jadi masalah.

Logika Cerita

Namun, ada hal yang gak masuk akal dan dibiarkan dalam cerita. Ini saya sebut logika cerita. Contohnya dalam film Reservoir Dogs, tokoh yang sudah tertembak dan mengalami pendarahan hebat masih hidup berjam-jam (sempat pingsan juga). Atau John Wick diserang ribuan orang masih menang. Ini memang logika cerita yang ngaco, tetapi sedikit masih bisa dimaafkan. Dalam kedua contoh di atas, masing-masing punya tujuan mengapa tokohnya belum mati juga karena setup cerita yang membuat kisahnya 'bisa menerima kejanggalan ini'.

Sebagai tandingan, ada juga cerita yang sangat realistis (meski kategorinya cerita fantasi) seperti Game of Thrones. Dalam cerita ini, penonton pasti berharap Ed Stark tidak mati, diselamatkan dari hukum penggal. Kenyataannya, tidak ada yang menolong Ed. Dalam dunia nyata, banyak kasus seperti ini. Contoh lainnya adalah film Contagion yang hampir seperti prediksi wabah. Memang film ini ditopang ilmuwan PBB yang menjadi narasumber dan tentu tidak semua hal dalam cerita itu logis, tetapi masih bisa diterima akal sebagai bagian dari logika cerita. Prediksi tentang politik dan vaksin, juga kekisruhan borong belanja sudah terbukti.

Jadi, jangan sepelekan bahasa karena logika sering datang dari sebuah kata, tiap kata membentuk kalimat, dan tiap kalimat pada akhirnya membentuk cerita.

'di' dan 'ke' (bagian 2)



Halo sobat buku,
Hari ini saya bicara lagi soal 'di' dan 'ke'. Aduh, yang satu ini kok memprihatinkan. Masih banyak yang salah dalam menulis, yang seharusnya dipisah malah digabung, yang harusnya digabung malah dipisah. Cermati rangkuman di bawah, ya.

'di' harus disambung dengan KATA KERJA untuk membentuk kata kerja pasif.
Rumus: di + kata kerja = kata kerja pasif
Contoh: di + makan = dimakan

Contoh lain:
diselingi (dilekatkan pada kata kerja berimbuhan di akhir)
dipertanggungjawabkan (dilekatkan pada kata kerja dengan imbuhan di awal dan di akhir)

'di' TIDAK BOLEH dilekatkan pada kata tunjuk tempat dan nama tempat.
Contoh:
disana ❌ di sana✅
dimana❌ di mana ✅
disudut jalan❌ di sudut jalan ✅
dijakarta ❌ di Jakarta ✅
diPalembang ❌ di Palembang ✅
diruang itu ❌ di ruang itu ✅

'ke' TIDAK BOLEH dilekatkan pada kata tunjuk tempat dan nama tempat.
Contoh:
kesana ❌ ke sana✅
kemana❌ ke mana ✅
kesudut jalan❌ ke sudut jalan ✅
kejakarta ❌ ke Jakarta ✅
kePalembang ❌ ke Palembang ✅
keruang itu ❌ ke ruang itu ✅

KECUALI
'kemari'.
Ini satu kata, ya.
Contoh: Dia berjalan ke sana kemari. ✅

Bagaimana membedakan 'keluar' dan 'ke luar'?
'keluar' adalah kata kerja.
Contoh: Hasil ujian keluar besok. ✅

'ke luar' menunjukkan tempat.
Contoh: Mereka melarikan diri ke luar negeri. ✅
'melarikan' adalah kata kerja. 'ke luar negeri' adalah frasa keterangan tempat.
Contoh lain: Agar bisa merokok, dia pergi ke luar. ✅
'pergi' adalah kata kerja merangkap predikat. 'ke luar' menunjukkan keterangan tempat.

Jelas, ya?
Tolong. Tolong banget deh, mulai sekarang hapalkan cara penulisan 'di' dan 'ke' yang benar.

Semoga sukses menulis!

Xenoglosofilia: Keterasingan kepada Bahasa Sendiri


Kemampuan berbahasa adalah kunci untuk bisa menyampaikan ide dengan baik. Tanpa adanya ini, seberapa baik pun suatu ide yang kita punyai, niscaya sulit untuk menyebarkannya.

Penggalan paragraf di atas adalah jawaban Ivan Lanin ketika ditanya mengapa ia tertarik kepada bahasa Indonesia di dalam bukunya Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?. Alasan ini sama persis dengan alasan kenapa saya ngotot pengarang harus bisa berbahasa yang baik dan benar. Sehebat apa pun idenya kalau tidak bisa mengungkapkannya lewat tulisan, ide itu tidak akan tersampaikan. Mulai dari yang doyan menyingkat kata (misalnya mengganti ‘-nya’ dengan huruf x yang sering saya baca sebagai ‘kali’); kalimat yang luar biasa panjang, tetapi tidak jelas intinya apa; bahasa campur aduk dalam satu kalimat; termasuk yang suka menulis dialog dalam format penulisan drama, semua ini bisa merusak ide jika dibiarkan.

Kembali ke buku Ivan Lanin, sebelum bicara lebih jauh, mungkin ada yang bertanya, xenoglosofilia itu artinya apa. Cukup menarik, kata ini belum masuk KBBI V 0.2.1 Beta yang saya unduh sekitar bulan April. Namun, kata negrofilia telah ada. Buat yang pernah baca ulasan saya tentang film “Get Out”, mungkin sempat terpapar dengan ide ‘ketertarikan pada orang kulit hitam’. Negrofilia sendiri memang sebuah istilah yang artinya ketertarikan berlebihan kepada orang kulit hitam. Sementara itu, xenoglosofilia berasal dari kata xeno (asing) dan glosso (bahasa). Keduanya adalah bahasa Yunani. Jadi xenoglosofilia bisa kita artikan sebagai ketertarikan berlebihan kepada bahasa asing.

Dari segi isi, karya Ivan Lanin ini memang banyak membahas kata-kata asing yang

Majas Metonimia, Litotes, dan Hiperbola


Ketiga majas di bawah ini masuk majas perbandingan.

Metonimia

Majas yang satu ini menggunakan nama barang, merek, ciri khas sebagai pengganti (penyebutan) barang itu sendiri.

Contoh:
BMW itu melaju kencang. (Merek BMW menggantikan kata mobil)
Satpam membariskan honda berdasarkan warna. (Honda menggantikan kata motor dan belum tentu semuanya memang merek itu.)

Litotes

Litotes merupakan majas yang berupa pernyataan, yang memperkecil atau melemahkan sesuatu untuk menyatakan sesuatu yang kuat atau besar. Fungsi majas litotes adalah untuk merendahkan diri.

Contoh:
Maaf, ya, makanannya cuma kecil-kecilan. (Padahal jamuannya cukup baik, bisa jadi malah mewah)
Selamat datang di gubuk kami. (Padahal rumahnya bukan gubuk, melainkan rumah KPR yang cukup bagus)

Hiperbola

Majas hiperbola melukiskan sesuatu dengan mengganti peristiwa atau tindakan yang sesungguhnya dengan kata-kata yang lebih hebat.

Contoh:
Aduh, macetnya! Benar-benar tua di jalan. (Tua di jalan maksudnya buang-buang waktu atau sia-sia. Perjalanan itu sendiri tidak mungkin menyebabkannya tua.)
Panasnya hari ini bikin wajahku meleleh. (Panasnya hari membuat si pembicara berkeringat banyak, tetapi wajahnya tidak meleleh).


Narasumber:
Intisari Sastra Indonesia untuk SMP dan SMA oleh Yadi Mulyadi, Ani Andriyani, dan Auliya M. Fajwah. Penerbit Yrama Widya, Bandung. 2016.
Mengayakan Kalimat dan Imajinasi, Panduan No. 1 Menjadi Penulis Andal dan Profesional oleh Burhan Fanani, S.Pd.. Penerbit Araska, Yogyakarta. 2016.

The Handmaid’s Tale: Sihir Kata


Novel yang sering disebut masuk genre speculative fiction ini dikerjakan oleh Margaret Atwood pada tahun 1985. Pernah dijadikan film dan sekarang menjadi serial TV online yang paling ditunggu. “The Handmaid’s Tale” (THL) bercerita dari perspektif tokoh wanita, Offred, ketika Republik Gilead baru berdiri. Dia bersama perempuan-perempuan lain yang berstatus handmaid hanya punya satu fungsi: melahirkan.

Dari awal cerita, pembaca digiring pada suasana depresif dan ketegangan. Dimulai dari kalimat pembuka paragraf yang tidak membuang-buang waktu:

We slept in what had once been a gymnasium.

(Kami tidur di tempat yang dulunya gimnasium.) Selanjutnya si tokoh berbicara tentang bagaimana gimnasium itu di masa lalu. Cerita kemudian bergulir pada bagaimana mereka tidur, siapa yang mengawasi, dan bagaimana mereka belajar untuk berbisik tanpa suara, lalu diam-diam saling bertukar nama asli.

Dari bab pertama, pembaca langsung tahu, ada yang tidak beres, ada suasana yang menekan. Dari sini, cerita kemudian bergerak maju dan mundur sehingga pembaca bisa menyatukan semua kepingan kisah di masa lalu dan masa sekarang (pada cerita).


Saya tidak ingin membeberkan lebih banyak plot cerita. Yang ingin saya tekankan untuk artikel kali ini adalah kekuatan kata. Atwood membius pembaca dengan monolog dan setelah saya perhatikan kekuatan kata yang dimanfaatkan Atwood ada tiga:

- Pengulangan kata,
- Permainan panjang pendek kalimat, dan
- Pengembalian kata pada maknanya.

Pengulangan Kata

Pengulangan kata memberi implikasi atas pentingnya apa yang disampaikan oleh si pembicara. Mungkin ini tradisi Barat, tetapi dalam pidato, pengulangan kata berguna menjadi amplifikasi, perpanjangan, yang membuat orang ingat nilai dari apa yang disampaikan si pembicara. Ketika diterapkan ke dalam narasi, efeknya sama.

Dalam dunia literasi, pengulangan kata seperti ini disebut dengan anafora.

Contoh 1 dalam THL:
I would like to believe this is a story I’m telling. I need to believe it. I must believe it. Those who can believe that such stories are only stories have a better chance. (Halaman 49)

Pada contoh di atas, kata ‘believe’ diulang empat kali pada empat kalimat. 4x4. Untuk memahami, kita kembali pada subteks. Ketiga kalimat pertama memberi tahu kita bahwa tokoh gamang atau merasa tidak percaya. Ia harus meyakinkan dirinya dan itu terjadi pada kalimat ketiga: Aku harus percaya. Namun, kenapa ia harus percaya, baru terungkap pada kalimat keempat (konteks): Mereka yang bisa percaya kalau cerita semacam itu sekadar cerita memiliki kesempatan yang lebih baik (untuk hidup atau selamat). Kita sudah berada pada halaman 49 dan sebelum mencapai halaman ini, Offred telah bercerita cukup banyak tentang kehidupannya saat sekarang dan sebelum Republik Gilead terbentuk. Jadi kalimat keempat merupakan cara si tokoh untuk merangkum situasi yang dihadapinya.


Contoh 2 masih menggunakan kata ‘believe’, tetapi kali ini menyebar dalam beberapa paragraf (halaman 114—116). Adegan ini menceritakan apa yang Offred pikirkan tentang nasib Luke, suaminya, yang terpisah saat mereka melarikan diri. Saat ini ia tidak tahu Luke ada di mana. Ia menduga, seperti potongan adegan di bawah, bahwa Luke sudah tewas dieksekusi. Tulisan di bawah saya potong-potong untuk mengambil intisari kata yang diulang:

Paragraf 1: Here is what I believe. (Hanya 1 kalimat)
Paragraf 2: I believe Luke is lying
Paragraf 3: I pray that the hole, … I pray that
Paragraf 4: I believe this. (Hanya 1 kalimat)
Paragraf 5: I also believe that Luke is sitting up, …. God knows what he’s wearing. God knows what they’ve put him in. God isn’t the only one who knows, so there ….
Paragraf 6: Anyway, they don’t
Paragraf 7: He finds it painful …. I can’t imagine. I can’t imagine he hasn’t already said whatever it is.
Paragraf 8: He is surrounded by a smell, …. I imagine him resting, because I can’t bear to imagine him at any other time, just as I can’t imagine anything below his collar, …. Does he know I am here, alive, that I’m thinking about him? I have to believe so. In reduced circumstances you have to believe all kinds of things. I believe in thought transference now, ....
Paragraf 9: I also believe that they didn’t catch him or catch up with him after all, that ….
Paragraf 10: He made contact with the others, …. I believe in the resistance as I believe there can be no light ….
Paragraf 11: Any day now ….
Paragraf 12: The message will say that …. The message will say that also. It’s this message, which may never arrive, that keeps me alive. I believe in the message.
Paragraf 13: The things I believe can’t all be true, though one of them must be. But I believe in all of them, all three versions of Luke, at one and the same time. This contradictory way of believing seems to me, right now, the only way I can believe anything. Whatever the truth is, I will be ready for it.
Paragraf 14: This also is a belief of mine. This also may be untrue.

Sekarang, mari kita bedah! Paragraf pertama dan kedua mengandung kata ‘believe’. Paragraf ketiga menjadi variasi dengan pengulangan kata ‘pray’. Paragraf keempat kembali pada kata ‘believe’ sebagai penegasan. Paragraf kelima menjadi kelanjutan apa yang diyakini si tokoh. Terjadi pengulangan kata ‘God’ dan ‘knows’. Paragraf keenam tidak mengandung pengulangan. Paragraf ketujuh mengulang kata ‘imagine’. Paragraf kedelapan masih mengulang kata ‘imagine’ lalu kembali mengulang 3 kali kata ‘believe’. Paragraf kesembilan memakai kata ‘believe’ dan mengulangnya 2 kali pada paragraf kesepuluh. Paragraf kesebelas tidak ada pengulangan kata. Paragraf kedua belas mengulang kata ‘message’ sebanyak 4 kali dan sekali ‘believe’. Paragraf ketiga belas mengulang kata ‘believe’. Paragraf keempat belas memakai kata ‘belief’ yang pengucapannya sama dengan ‘believe’.

Nah, ada semacam pola di sini. Setelah beberapa kali mengulang kata yang sama, Atwood memberi jeda dengan 2 cara: pertama, pengulangan kata baru seperti ‘pray’, ‘imagine’, ‘God’, dan ‘message’. Kedua, dengan membuat paragraf jeda yang tidak mengandung pengulangan apa pun. Contohnya paragraf 6 dan 11.

Apa yang bisa kita pelajari dari dua contoh di atas? Pengulangan kata tidak membosankan jika memiliki ritme yang tepat. Secara subteks, pembaca diingatkan apa yang ingin disampaikan (pada dua contoh di atas, tokoh butuh keyakinan dan dia memaksa dirinya untuk percaya).

Permainan Panjang Pendek Kalimat

Panjang dan pendeknya kalimat juga membantu memberi irama dan estetika dalam cerita. Perhatikan tiga contoh di bawah.

Contoh 1:
I ought to feel hatred for this man. I know I ought to feel it, but it isn’t what I do feel. What I feel is more complicated than that. I don’t know what to call it. It isn’t love. (Halaman 68)

Pada contoh pertama, paragraf dimulai dengan kalimat yang panjangnya sedang, diikuti kalimat yang paling panjang (14 kata). Selanjutnya kalimat menjadi lebih pendek dan paling pendek.


Contoh 2:
I wait. I compose myself. My self is a thing I must now compose, as one composes a speech. What I must present is a made thing, not something born. (Halaman 76)

Pada contoh kedua, paragraf dibuka dengan kalimat yang sangat pendek, diikuti kalimat yang lebih panjang, paling panjang (14 kata), dan diakhiri dengan kalimat yang panjangnya sedang.


Contoh 3:
But all around the walls there are bookcases. They’re filled with books. Books and books and books, right out in plain view, no locks, no boxes. No wonder we can’t come in here. It’s an oasis of the forbidden. I try not to stare. (Halaman 147)

Pada contoh terakhir, kalimat pertama agak panjang, diikuti dengan kalimat pendek. Kalimat terpanjang mengikuti (14 kata), kemudian 2 kalimat yang panjangnya sedang. Akhirnya ditutup dengan kalimat pendek.

Agak unik bahwa semua contoh yang saya ambil memiliki sebuah kalimat panjang yang terdiri dari 14 kata. Namun, Atwood sering menggunakan kalimat yang jauh lebih panjang, dengan banyak tanda koma, tapi konteks tulisan tetap bisa dipahami. Teknik menulis super panjang tidak saya anjurkan untuk pemula. Jika Anda merasa yakin bisa membuat kalimat yang jelas meskipun panjang, silakan.

Pengembalian Kata pada Maknanya

Yang saya maksud di sini adalah banyak kata yang sudah bergeser artinya kemudian dikembalikan pada bentuk asalnya. Ringkasnya, Atwood membuat eksposisi tentang asal sebuah kata.

Contoh 1:
… Rita would not allow it. She would be too afraid. The Marthas are not supposed to fraternize with us.
Fraternize means to behave like a brother. Luke told me that. He said there was no corresponding word that mean to behave like a sister. Sororize, it would have to be, he said. From the Latin. (Halaman 21)

Contoh 2:
I sit in the chair and think about the word chair. It can also mean the leader of a meeting. It can also mean a mode of execution. It is the first syllable in charity. It is the French word for flesh. None of this facts has any connection with the others. (Halaman 120)

Pada contoh pertama, paragraf pertama dan kedua berhubungan. Namun, contoh kedua berbeda. Paragraf ini pembuka adegan Offred duduk dan disajikan sarapan. Dari topik ‘duduk di kursi’, cerita mengalir pada apa saja yang ada di nampannya, kemudian berbicara banyak soal telur.

Contoh pertama lebih kepada adegan yang kemudian memiliki kilas balik. Contoh kedua merupakan eksposisi yang mengalir.

Penempatan kata untuk ‘diterjemahkan’ tepat pada contoh pertama. Pada contoh kedua, pengertian soal kursi disambung dengan sebuah paragraf yang mengatakan bahwa untuk menenangkan dirinya, Offred menjadikan ‘penerjemahan’ itu sebagai litani. Litani sendiri, dalam KBBI salah satu artinya berasal dari istilah Katolik, semacam doa yang saling bersambut pada kebaktian gereja. Secara subteks dan konteks, kita bisa melihat Offred ‘mengganti ritual doa makan’ dengan ‘menerjemahkan kata’, tetapi fungsinya sama: memberi ketenangan.

Ada banyak yang Atwood tulis sebagai ‘pengembalian kata pada artinya’. Secara filsafat, ini bisa saja diartikan sebagai dekonstruksi, membongkar hasil akhir untuk mencari awalnya. Selain itu Atwood seolah-olah juga mengembalikan teks bersubteks menjadi teks murni. Mungkin ini hanya interpretasi saya pribadi. Jika sudah membaca buku ini, Anda juga bisa membuat interpretasi lain.

Apa yang Bisa Anda Pelajari

Saya tidak berbicara tentang aturan menulis. Apa yang saya tulis kali ini lebih pada kreativitas menulis. Anda bisa mencoba teknik-teknik yang dipakai oleh Margaret Atwood sebagai nilai seni tambahan.

Selamat menulis.


Catatan:
Versi buku “The Handmaid’s Tale” yang saya pakai adalah terbitan Vintage, London, cetakan 2017.

Teks, Subteks, dan Konteks



Beberapa minggu ini ketika wara-wiri di Youtube saya menemukan video edukasi tentang dialog dalam film. Meski selama ini saya sudah punya konsep membuat dialog menarik itu seperti apa, ternyata video-video ini menampilkan teori lain yang cukup menarik. Misalnya, saya selama ini tidak tahu perkara teks, subteks, dan konteks. Padahal pengetahuan ini krusial untuk dipahami.

Dulu saya pernah menulis tentang semiotika. Teks, subteks, dan konteks hampir mirip pemahamannya dengan semiotika. Dalam semiotika kita melihat sebuah kata atau informasi kemudian melihat bagaimana ia dikirim dan diterima. Semiotika berbicara banyak soal konteks.

Makna

Teks merupakan kata yang tertulis. Tidak harus satu. Bisa berupa frasa maupun kalimat. Dalam sebuah cerita, teks hanya memiliki makna yang sebenarnya. Jika tokoh berkata, “Berlian.” artinya memang batu berlian. Teks merupakan lapisan permukaan dari lapisan lain yang lebih dalam: subteks.

Subteks adalah daya emosional yang terkandung dalam sebuah ide atau pikiran. Ia merupakan niatan si tokoh yang terdiri dari kondisi emosional, keinginan, hasrat, tujuan, dll. Dalam subteks, ada pesan tersembunyi, pesan implisit yang harus ditemukan oleh pembaca atau pendengar. Jadi, ketika tokoh mengatakan sesuatu, pesan tersembunyi itulah yang seharusnya ditangkap, bukan kata-kata yang mereka ucapkan. Contoh, ketika tokoh berkata, “Berlian.”, bisa jadi yang ia maksud adalah orang yang cerdas atau cemerlang.

Hingga di sini, timbul pertanyaan. Mengapa kita tidak bisa memastikan pesan di balik kata ‘berlian’? Bisa saja berlian itu nama orang, ‘kan? Ini terjadi karena kita tidak memiliki konteks.

Konteks merupakan hal yang menjadi pegangan pembaca atau pendengar, berisi informasi yang dibutuhkan seperti siapa nama tokohnya, sedang di mana, hari apa, dll. Konteks memuat setting, hubungan (relationship) yang sebelumnya ada, dinamika kekuatan, dan aturan dunia yang dinavigasikan si tokoh. Jadi, kalau tokoh mengacungkan surat sambil berteriak, “Dari Berlian!”, kita segera mengasosiasikannya dengan nama orang. Bisa juga ada paragraf atau bab terdahulu yang menjelaskan siapa tokoh Berlian itu.


Gampangnya:

Teks itu kata (penanda, signifier).
Subteks itu niatan atau kode (makna di bawah penanda).
Konteks itu setting dan worldview.


Dari sini muncul lagi pertanyaan baru: mana yang lebih dulu?

Konteks sangat penting untuk dibangun lebih dulu. Mengapa? Karena dengan adanya konteks, pembaca atau pendengar memiliki akses terhadap makna yang jelas (clear meaning) dan secara emosional akan terlibat.


Manfaat

Dialog yang hanya terdiri dari teks tanpa diselingi subteks akan terasa membosankan.

Contoh:

Sebuah keluarga bersiap berangkat pagi hari.
Anak: pagi, Ma, Pa.
Mama: Pagi, Sayang.
Papa: Pagi.
Anak: Pa, uang jajanku untuk minggu ini belum dikasih.
Papa: ini.
Ayah dan anak kemudian keluar menuju mobil. Di rumah tetangga, nyonya rumah sedang menyiram bunga.
Anak: pagi, Tante Chan!
Tetangga: Eh, pagi. Dah mau berangkat, ya?


Dialog ini tidak memiliki tujuan lain selain apa yang terjadi saat itu.


Contoh lain:

A bertamu ke rumah B untuk mengerjakan tugas sekolah. Ketika waktunya makan malam …
B: makan, yuk. Udah disiapin nih.
A: aduh, aku masih kenyang. (pesan sebenarnya: aku segan)
B: udah santai aja. Gak ada siapa-siapa ini! (pesan sebenarnya: aku tahu kamu segan)

Contoh ini memperlihatkan subteks memberi peranan tarik ulur antara si A dan B sampai akhirnya A menyerah.

Obrolan tentang politik biasanya juga sarat dengan lapisan dalam. Perang kata-kata tidak frontal, tetapi lawan bicara (dan pembaca/pendengar) paham apa yang dimaksud si pembicara. Selain itu, bisa juga subteks terjadi ketika pembicaraan terjadi dalam situasi tertekan. Misalnya, ketika menghadapi kesulitan atau kemalangan. Orang cenderung tidak mengatakan terus terang. Biasanya mereka menyampaikan secara tidak langsung.

Contoh:
Ada orang yang mengatakan, “Mana si A? Mana?” Meski diucapkan dengan kemarahan, sebenarnya si pembicara ingin menyampaikan pesan kalau ia cemas karena A belum tiba setelah ditunggu sekian lama.

Contoh lain subteks, yang tak harus ‘arti terselubung’ adalah tema. Kadang, penulis bisa meletakkan tema atau ide penting dari keseluruhan cerita dalam sepenggal kalimat bersubteks. Misalnya dalam “Pride and Prejudice”, ada sebuah kalimat:

It is a truth universally acknowledged that a single man in possession of a great fortune, must be in want of a wife.

(Sudah merupakan kebenaran universal bahwa seorang pria single yang memiliki kekayaan pasti menginginkan istri)

Kalimat di atas merupakan subteks dalam bentuk majas ironi. Artinya apa yang tampak bertentangan dengan kenyataan atau yang dipikirkan si tokoh (atau bahkan si penulis). Buku ini juga mempunyai tema besar tentang rasa cinta yang datang bukan karena harta. Jadi penggalan kalimat di atas merupakan subteks atas dua hal: tema cerita dan ironi.

***


Jika kalimat dalam teks lebih penuh, subteks akan ikut penuh, sementara konteks akan menjadi lebih spesifik. Dengan begitu, pembaca atau pendengar lebih terprovokasi untuk mencari koneksi, mengisi kekosongan antarkata dan artinya.

Artinya? Penulis telah membangun investasi audiens (audience investment) biasanya dalam bentuk investasi emosi. Pembaca atau pendengar merasa memiliki wawasan spesial tentang dunia si tokoh. Inilah yang kemudian disebut illusion of intimacy atau ilusi kedekatan yang membantu penulis membuat tokoh yang menarik.


Untuk pemahaman lebih mendalam, silakan baca dan tonton video dari alamat yang saya sematkan ini:
Thought.co: “Understanding Subtext” oleh Richard Nordquist.
https://www.thoughtco.com/subtext-definition-1692006https://www.thoughtco.com/subtext-definition-1692006

Writer’s Digest: “Creating Setting and Subtext in Your Fiction” oleh Cris Freese
https://www.writersdigest.com/editor-blogs/there-are-no-rules/creating-setting-and-subtext-in-your-fiction

Youtube: “Dialogue Part 1: Text, Subtext, Context” oleh The Art of Story https://youtu.be/Ge0b5EPdL8I

Youtube: “How to Write Great Dialogue” oleh The Closer Look https://youtu.be/hEgsIV98ZmU

Kalimat Pendek yang Catchy

Patience, you must have my young padawan.
-Yoda, Star Wars-

Ada yang menyadari kalau Yoda bicara, strukturnya suka dibalik, tidak mengikuti tata bahasa yang seharusnya? Selama ini saya tidak perhatian, tapi setelah baca How to Write Short karya Roy Peter Clark, saya jadi sering bermain dengan kalimat.

Sebelum kita bahas lebih lanjut, kita lihat dulu struktur kalimat yang seharusnya. Dalam bahasa Indonesia, kutipan Yoda bisa diterjemahkan, "Kesabaran, kau harus miliki, padawan mudaku." Jika kita buat dalam struktur tata kalimat yang seharusnya, kalimat itu bentuknya, "Kau harus memiliki kesabaran, padawan mudaku."

Pertanyaannya, mengapa kata 'kesabaran' (patience) yang malah diletakkan di awal kalimat? Apa efeknya pada pendengar? Ketika kata kesabaran diletakkan di awal kalimat, Yoda menekankan bahwa kesabaran itu penting. Pendengar juga langsung menangkap pentingnya kesabaran untuk ia miliki tanpa perlu ingat lanjutan kata-katanya.

Sekarang, lihat contoh ini dari Macbeth, karya Shakespeare:
The queen, my lord, is dead.
(Sang ratu, Yang Mulia, telah wafat.)
Sekarang bayangkan struktur yang benar:
A. Sang ratu telah wafat, Yang Mulia.
B. Yang Mulia, sang ratu telah wafat.

Di sini, struktur dan intonasi menjadi kunci. Dalam bahasa Inggris, ketika mengucapkan The queen, nadanya naik. Ketika mengucapkan my lord nadanya jauh lebih rendah daripada saat mengucapkan is dead. Dengan demikian kita bisa menangkap bahwa queen adalah penekanannya pertama dan is dead penekanan kedua. Pemberian jeda oleh frasa my lord juga memberi ketegangan, seperti menggantung sejenak.

Hal kedua yang bisa kita cermati, kalimat dalam berbahasa Inggris itu hanya terdiri dari enam atau tujuh kata. Singkat, padat, mudah diingat, dan catchy.

Sekarang, kita lihat kutipan Martin Luther King Jr., yang kalimatnya sedikit lebih panjang, tapi esensinya sama dengan pembahasan kita di atas.

1. Love is the only force capable of transforming an enemy into friend.
(Cinta adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah seorang musuh menjadi teman)
Bentuk lain: Satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah seorang musuh menjadi teman adalah cinta.
Jika kita cermati di sini, ada dua hal penting dalam kalimat aslinya: cinta dan musuh menjadi teman. Jadi dengan meletakkan satu di awal dan satu di akhir, kita bisa melihat apa intisari kalimat itu.

2. The quality, not the longevity, of one's life is what is important.
(Kualitas, bukannya usia panjang, dari kehidupan seseorang itulah yang penting)
Bentuk lain: Apa yang penting dalam kehidupan manusia adalah kualitasnya, bukan panjang usianya.
Sama dengan kalimat bijak Yoda, kata kualitas adalah bagian yang ingin ditekankan oleh King.

Nah, kalian bisa berlatih di buku coretan atau menggunakan tokoh-tokoh yang telah kalian buat, mengucapkan kata-kata dengan penekanan pada kata tertentu.
Selamat mencoba.

Majas: Simile, Metafora, dan Personifikasi



Sewaktu dulu saya wara-wiri di sebuah international school, ternyata pelajaran tentang majas sudah diperkenalkan sejak SD. Sekurangnya, kelas 4 ada tiga majas yang harus dikuasai. Ketiganya masih dari kelompok majas perbandingan.

1. Simile
Simile mungkin yang paling mudah di antara tiga majas. Majas ini membandingkan dua hal yang berbeda, tapi mengandung sesuatu yang serupa.
Cirinya ditandai dengan penggunaan kata seperti, bagai, laksana.
Contoh:
- Tubuh Andi lincah bagaikan kancil.
- Kecantikannya laksana bulan.
- Ia menggelepar seperti ikan megap-megap.

2. Metafora
Ini majas yang menggambarkan sesuatu dengan membandingkan langsung pada hal lain; sebuah ekspresi yang menjelaskan manusia atau objek dengan mereferensikannya pada sesuatu yang memiliki karakteristik sama.
Contoh:
- Pikiran adalah lautan.
- Ia bintang yang bersinar.
- Dia itu kamus berjalan.

3. Personifikasi
Personifikasi merupakan gaya bahasa yang menempatkan benda mati seolah-olah seperti manusia.
Contoh:
- Pohon menari-nari ditiup angin.
- Akhirnya matahari pun bangun.
- Ombak bergulung marah.

Apa bedanya simile dan metafora?
Perbedaan utama terletak pada kata 'seperti'. Simile pasti menggunakan kata tersebut, sementara dalam metafora tidak boleh sama sekali. Dalam metafora, sesuatu adalah sesuatu yang lain.

Dalam bahasa Inggris perbedaan keduanya tampak lebih jelas:
- You are as strong as a bear. (Simile)
- He slept like a log. (Simile)
- The snow is a white carpet. (Metafora)
- Life is a rollercoaster. (Metafora)

Dua contoh yang pertama membandingkan seseorang terhadap benda (log, kayu) atau hewan (bear, beruang).

Dua contoh terakhir berbeda. Yang satu mengatakan kalau salju adalah karpet putih. Jadi salju dan karpet seolah-olah hal yang sama. Keduanya memiliki kesamaan: lembut dan menghampar. Contoh yang kedua menyatakan bahwa hidup itu rollercoaster. Hidup hanya dimiliki makhluk hidup, sementara rollercoaster benda mati. Namun, dalam hal ini keduanya memiliki kualitas sama, yaitu naik turun.

***
Narasumber:
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/metaphor
https://examples.yourdictionary.com/metaphor-examples-for-kids.html
https://examples.yourdictionary.com/examples-of-similes.html
Buku Intisari Sastra Indonesia: untuk SMP dan SMA oleh Yadi Mulyadi, Ani Andriyani, dan Auliya Millatina Fajwah. Penerbit Yrama Widya, 2016, Bandung.

Tata Bahasa: Penting untuk Pengarang



Mana yang benar:
'dijakarta' atau 'di Jakarta'
'di sini' atau 'disini'
'di tusuk' atau 'ditusuk'
'bukunya' atau 'buku nya'
'ku ambil' atau 'kuambil'
'budi, eliza, roni' atau 'Budi, Eliza, Roni'

Bukan sekali saya melihat orang menulis 'dijakarta'. Mayoritas malah menulis 'disini' dan 'di tusuk'. Juga banyak yang menulis -nya dan ku- terpisah. Menulis nama orang tanpa huruf kapital? Banyak pelakunya.

Kesalahan berbahasa seperti contoh di atas, sepertinya sudah mendarah daging bagi orang Indonesia, termasuk pengarang. Padahal, contoh di atas telah dipelajari sejak SD. Ini kesalahan yang mendasar dan harus cepat diperbaiki.
Ada banyak yang bisa dilakukan. Misalnya:
  • baca ulang pelajaran bahasa Indonesia dari masa SD,
  • ke perpustakaan sekolah (meski sebagai alumni), 
  • cari buku ketatabahasaan di toko buku (atau yang online), buku baru maupun bekas.
  • telusuri internet. Banyak sekali bahan kebahasaan di sana,
  • berguru atau bertanya pada guru bahasa (meski sudah jadi alumni)
  • download Permendikbud 2015 tentang PUEBI dan KBBI V. Gratis.
Jangan jadikan miskin kuota, tinggal di hutan, dan merasa ada editor sebagai alasan menghindari peningkatan kemampuan berbahasa. Editor itu kerjaannya bukan melulu memperbaiki saltik (typo). Tanggung jawabnya jauh lebih luas. Kemampuan berbahasa yang baik juga memberi faktor plus untuk meloloskan naskah yang Anda kirim.

Bahasa itu kompleks. Bahasa juga butuh latihan.

Kita sering menganggap sepele bahasa. Kita menganggap mempelajari bahasa itu tidak penting. Apalagi bahasa Indonesia. Lucunya, kita ini ngaku-ngaku pengarang. Menulis cerita juga pakai bahasa Indonesia. Karena menganggap sepele, kita tidak sadar bahwa bahasa itu kompleks. Bahasa juga butuh latihan. Tidak bisa hanya sekali baca aturannya lalu hapal dan langsung menerapkan.

Jadi, sebagai saran terakhir dari tulisan ini:
  • selalu perbarui pengetahuan Anda soal berbahasa,
  • lakukan latihan menulis untuk mengecek apakah kalimat Anda sudah efisien, tepat sasaran, dan secara struktur benar, dan
  • selalu anggap diri Anda sebagai editor minor yang akan memastikan tidak ada saltik dan kesalahan-kesalahan berbahasa yang seharusnya bisa Anda hindari.
Selamat berbahasa Indonesia.

Narasumber Kebahasaan

1. Tata Bahasa Dasar Bahasa Indonesia Karangan Dr. S. Effendi, Djoko Kentjono, M.A., dan Prof. Dr. Basuki Suhardi.
Diterbitkan oleh Penerbit Rosda. Boleh dibilang buku ini mencakup semua materi tata bahasa, mulai dari fonem hingga paragraf. Desain buku juga baik sehingga mudah dibaca. ⚠ Khusus jika menemukan kata namun, di buku-buku Effendi biasanya boleh diletakkan di tengah kalimat (intrakalimat), tetapi menurut KBBI namun dipakai untuk menghubungkan 2 kalimat yang bertentangan, dipisah oleh titik (antarkalimat)

2. Keterangan dan Perakit dalam Kalimat
Karangan Dr. S. Effendi. Diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Mandiri. Buku ini secara spesifik hanya membahas tentang kalimat yang tentunya terdiri dari kata. Oleh karena itu cukup detail membahas kata sifat, frasa sifat, kata keterangan, kata depan, frasa depan, struktur klausa, dan perakit kalimat.  ⚠ Khusus jika menemukan kata namun, di buku-buku Effendi biasanya boleh diletakkan di tengah kalimat (intrakalimat), tetapi menurut KBBI namun dipakai untuk menghubungkan 2 kalimat yang bertentangan, dipisah oleh titik (antarkalimat).

3. Sintaksis Bahasa Indonesia
Karangan Prof. Dr. Achmas H.P. Diterbitkan oleh PT Pustaka Mandiri. Aslinya terbit tahun 2012, tetapi entah mengapa saya menemukannya di toko buku baru-baru ini. Meski terbit sudah lama, saya rasa isinya tetap padu dengan EBI 2015. Isinya mirip dengan buku karya Pak Effendi karena sintaksis berhubungan erat dengan kata, frasa, klausa, dan kalimat.

Image and video hosting by TinyPic 4. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia
 Karangan Dr. Junaiyah Matanggui dan Prof. Dr. E. Zaenal Arifin. Diterbitkan oleh Pustaka Mandiri pertama kali tahun 2014. Buku ini juga saya temukan beberapa bulan yang lalu di toko buku.  Saya rasa buku ini sangat membantu kita melihat kesalahan-kesalahan berbahasa sehari-hari, terutama dalam menulis. Cakupan termasuk soal EBI (masih disebut sebagai EYD), pilihan kata, penyusunan kalimat, paragraf, wacana, bahkan surat resmi. Hal-hal yang disorot juga bermacam-macam seperti jargon, bahasa dalam surat kabar/media massa, pidato, juga secara spesifik melihat penggunaan kata berimbuhan, partikel, kata depan, dll yang penerapannya salah.

5. EYD & Seputar Kebahasa-Indonesiaan
Karangan Ernawati Waridah. Terbit tahun 2008 di bawah Penerbit Kawan Pustaka. Memang buku lama, tetapi masih cukup baik untuk digunakan. Jika Anda ingin membeli buku EBI terbaru, usahakan yang isinya seperti buku ini, yaitu mencakup: pedoman pembentukan istilah, singkatan dan akronim, daftar kata baku dan tidak baku, jenis kata, makna kata dan pertalian makna, gaya bahasa, serta daftar tanda dan lambang.

6. Permendikbud 50 Tahun 2015 tentang PUEBI
E-book tentang PUEBI dalam format pdf Alamat situs resmi: http://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2016/01/salinan-permendikbud-nomor-50-tahun-2015-tentang-pedoman-umum-ejaan-bahasa-indonesia Dapat diunduh secara gratis. Jika melakukan pencarian dengan Google, cukup masukkan kata kunci: “permendikbud 50 tahun 2015”

 7. PUEBI Daring
PUEBI berdasarkan Permendikbud 50 tahun 2015 yang disalin oleh Ivan Lanin dengan alamat situs https://ivanlanin.github.io/puebi/

 8. KBBI Edisi V Daring
Kamus Besar Bahasa Indonesia V telah diluncurkan oleh pemerintah. Penampilannya simpel dan ringkas sehingga waktu loading yang dibutuhkan cukup pendek. Selain itu, isi situs dimutakhirkan secara berkala. Situs bisa diakses pada alamat http://kbbi.kemdikbud.go.id/

KBBI V9. Aplikasi KBBI Edisi V
Dikeluarkan oleh pemerintah pada bulan November 2016 dan dapat diunduh dari Google Play dan iTunes. Keunggulan lainnya, aplikasi ini bisa dipakai dalam keadaan offline dan diperbarui secara berkala.

10. Khalayak Bahasa
Ini adalah portal tanya-jawab kebahasaan. Jika merasa ada pertanyaan, coba cari-cari dulu jawabannya di sini.  Alamat situs: http://khalayak.portalbahasa.com/

11. Situs Ivan Lanin (di GitHub)
Ada tiga halaman yang bisa dipelajari yaitu tentang tata bahasa yaitu bentuk terikat, partikel pun yang ditulis serangkai, dan daftar kata yang ditulis serangkai. Alamat situs: https://gist.github.com/ivanlanin

12. Soft Ilmu
Situs yang membahas berbagai topik pelajaran sekolah ini, lumayan banyak membahas Bahasa Indonesia. Silakan kunjungi http://www.softilmu.com/search/label/Bahasa%20Indonesia?m=1

13. Guru Berbahasa
Situs ini memiliki banyak topik meski sedikit terganggu dengan popped-up advertisement . Alamatnya http://www.guruberbahasa.com

Edit Linguistik 14. Edit Linguistik

15. Mengayakan Kalimat dan Imajinasi: Panduan No. 1 Menjadi Penulis Andal dan Profesional.
Isinya mencakup jenis-jenis menulis, tata bahasa, diksi, gaya bahasa, dan bagaimana kita mengayakan imajinasi serta kreativitas. Beberapa hal dalam buku ini tidak mengikuti tata bahasa, seperti menulis nama merk dengan huruf kecil dan kata keterang dimasukkan dalam kelompok objek (halaman 100-101). Namun, penjelasan untuk diksi dan gaya bahasa cukup menarik. Karangan Burhan Fanani, S.Pd. Terbitan Araska, Yogyakarta. Cetakan Pertama, Agustus 2016.

16. Praktik Penyuntingan Kalimat

Selamat membaca.

Pencarian Artikel

Entri yang Diunggulkan

Samurai Seven: Siapa Pemenang Sebenarnya

Inilah salah satu cerita terbaik yang pernah saya tonton. Baik versi asli maupun anime sangat menarik. Seven Samurai (1954) memiliki be...

Artikel Terpopuler Minggu Ini