
Novel yang sering disebut masuk genre speculative fiction ini dikerjakan oleh Margaret Atwood pada tahun 1985. Pernah dijadikan film dan sekarang menjadi serial TV online yang paling ditunggu. “The Handmaid’s Tale” (THL) bercerita dari perspektif tokoh wanita, Offred, ketika Republik Gilead baru berdiri. Dia bersama perempuan-perempuan lain yang berstatus handmaid hanya punya satu fungsi: melahirkan.
Dari awal cerita, pembaca digiring pada suasana depresif dan ketegangan. Dimulai dari kalimat pembuka paragraf yang tidak membuang-buang waktu:
We slept in what had once been a gymnasium.
(Kami tidur di tempat yang dulunya gimnasium.) Selanjutnya si tokoh berbicara tentang bagaimana gimnasium itu di masa lalu. Cerita kemudian bergulir pada bagaimana mereka tidur, siapa yang mengawasi, dan bagaimana mereka belajar untuk berbisik tanpa suara, lalu diam-diam saling bertukar nama asli.
Dari bab pertama, pembaca langsung tahu, ada yang tidak beres, ada suasana yang menekan. Dari sini, cerita kemudian bergerak maju dan mundur sehingga pembaca bisa menyatukan semua kepingan kisah di masa lalu dan masa sekarang (pada cerita).
Saya tidak ingin membeberkan lebih banyak plot cerita. Yang ingin saya tekankan untuk artikel kali ini adalah kekuatan kata. Atwood membius pembaca dengan monolog dan setelah saya perhatikan kekuatan kata yang dimanfaatkan Atwood ada tiga:
- Pengulangan kata,
- Permainan panjang pendek kalimat, dan
- Pengembalian kata pada maknanya.
Pengulangan Kata
Pengulangan kata memberi implikasi atas pentingnya apa yang disampaikan oleh si pembicara. Mungkin ini tradisi Barat, tetapi dalam pidato, pengulangan kata berguna menjadi amplifikasi, perpanjangan, yang membuat orang ingat nilai dari apa yang disampaikan si pembicara. Ketika diterapkan ke dalam narasi, efeknya sama.Dalam dunia literasi, pengulangan kata seperti ini disebut dengan anafora.
Contoh 1 dalam THL:
I would like to believe this is a story I’m telling. I need to believe it. I must believe it. Those who can believe that such stories are only stories have a better chance. (Halaman 49)
Pada contoh di atas, kata ‘believe’ diulang empat kali pada empat kalimat. 4x4. Untuk memahami, kita kembali pada subteks. Ketiga kalimat pertama memberi tahu kita bahwa tokoh gamang atau merasa tidak percaya. Ia harus meyakinkan dirinya dan itu terjadi pada kalimat ketiga: Aku harus percaya. Namun, kenapa ia harus percaya, baru terungkap pada kalimat keempat (konteks): Mereka yang bisa percaya kalau cerita semacam itu sekadar cerita memiliki kesempatan yang lebih baik (untuk hidup atau selamat). Kita sudah berada pada halaman 49 dan sebelum mencapai halaman ini, Offred telah bercerita cukup banyak tentang kehidupannya saat sekarang dan sebelum Republik Gilead terbentuk. Jadi kalimat keempat merupakan cara si tokoh untuk merangkum situasi yang dihadapinya.
Contoh 2 masih menggunakan kata ‘believe’, tetapi kali ini menyebar dalam beberapa paragraf (halaman 114—116). Adegan ini menceritakan apa yang Offred pikirkan tentang nasib Luke, suaminya, yang terpisah saat mereka melarikan diri. Saat ini ia tidak tahu Luke ada di mana. Ia menduga, seperti potongan adegan di bawah, bahwa Luke sudah tewas dieksekusi. Tulisan di bawah saya potong-potong untuk mengambil intisari kata yang diulang:
Paragraf 1: Here is what I believe. (Hanya 1 kalimat)
Paragraf 2: I believe Luke is lying …
Paragraf 3: I pray that the hole, … I pray that …
Paragraf 4: I believe this. (Hanya 1 kalimat)
Paragraf 5: I also believe that Luke is sitting up, …. God knows what he’s wearing. God knows what they’ve put him in. God isn’t the only one who knows, so there ….
Paragraf 6: Anyway, they don’t …
Paragraf 7: He finds it painful …. I can’t imagine. I can’t imagine he hasn’t already said whatever it is.
Paragraf 8: He is surrounded by a smell, …. I imagine him resting, because I can’t bear to imagine him at any other time, just as I can’t imagine anything below his collar, …. Does he know I am here, alive, that I’m thinking about him? I have to believe so. In reduced circumstances you have to believe all kinds of things. I believe in thought transference now, ....
Paragraf 9: I also believe that they didn’t catch him or catch up with him after all, that ….
Paragraf 10: He made contact with the others, …. I believe in the resistance as I believe there can be no light ….
Paragraf 11: Any day now ….
Paragraf 12: The message will say that …. The message will say that also. It’s this message, which may never arrive, that keeps me alive. I believe in the message.
Paragraf 13: The things I believe can’t all be true, though one of them must be. But I believe in all of them, all three versions of Luke, at one and the same time. This contradictory way of believing seems to me, right now, the only way I can believe anything. Whatever the truth is, I will be ready for it.
Paragraf 14: This also is a belief of mine. This also may be untrue.
Sekarang, mari kita bedah! Paragraf pertama dan kedua mengandung kata ‘believe’. Paragraf ketiga menjadi variasi dengan pengulangan kata ‘pray’. Paragraf keempat kembali pada kata ‘believe’ sebagai penegasan. Paragraf kelima menjadi kelanjutan apa yang diyakini si tokoh. Terjadi pengulangan kata ‘God’ dan ‘knows’. Paragraf keenam tidak mengandung pengulangan. Paragraf ketujuh mengulang kata ‘imagine’. Paragraf kedelapan masih mengulang kata ‘imagine’ lalu kembali mengulang 3 kali kata ‘believe’. Paragraf kesembilan memakai kata ‘believe’ dan mengulangnya 2 kali pada paragraf kesepuluh. Paragraf kesebelas tidak ada pengulangan kata. Paragraf kedua belas mengulang kata ‘message’ sebanyak 4 kali dan sekali ‘believe’. Paragraf ketiga belas mengulang kata ‘believe’. Paragraf keempat belas memakai kata ‘belief’ yang pengucapannya sama dengan ‘believe’.
Nah, ada semacam pola di sini. Setelah beberapa kali mengulang kata yang sama, Atwood memberi jeda dengan 2 cara: pertama, pengulangan kata baru seperti ‘pray’, ‘imagine’, ‘God’, dan ‘message’. Kedua, dengan membuat paragraf jeda yang tidak mengandung pengulangan apa pun. Contohnya paragraf 6 dan 11.
Apa yang bisa kita pelajari dari dua contoh di atas? Pengulangan kata tidak membosankan jika memiliki ritme yang tepat. Secara subteks, pembaca diingatkan apa yang ingin disampaikan (pada dua contoh di atas, tokoh butuh keyakinan dan dia memaksa dirinya untuk percaya).
Permainan Panjang Pendek Kalimat
Panjang dan pendeknya kalimat juga membantu memberi irama dan estetika dalam cerita. Perhatikan tiga contoh di bawah.Contoh 1:
I ought to feel hatred for this man. I know I ought to feel it, but it isn’t what I do feel. What I feel is more complicated than that. I don’t know what to call it. It isn’t love. (Halaman 68)
Pada contoh pertama, paragraf dimulai dengan kalimat yang panjangnya sedang, diikuti kalimat yang paling panjang (14 kata). Selanjutnya kalimat menjadi lebih pendek dan paling pendek.
Contoh 2:
I wait. I compose myself. My self is a thing I must now compose, as one composes a speech. What I must present is a made thing, not something born. (Halaman 76)
Pada contoh kedua, paragraf dibuka dengan kalimat yang sangat pendek, diikuti kalimat yang lebih panjang, paling panjang (14 kata), dan diakhiri dengan kalimat yang panjangnya sedang.
Contoh 3:
But all around the walls there are bookcases. They’re filled with books. Books and books and books, right out in plain view, no locks, no boxes. No wonder we can’t come in here. It’s an oasis of the forbidden. I try not to stare. (Halaman 147)
Pada contoh terakhir, kalimat pertama agak panjang, diikuti dengan kalimat pendek. Kalimat terpanjang mengikuti (14 kata), kemudian 2 kalimat yang panjangnya sedang. Akhirnya ditutup dengan kalimat pendek.
Agak unik bahwa semua contoh yang saya ambil memiliki sebuah kalimat panjang yang terdiri dari 14 kata. Namun, Atwood sering menggunakan kalimat yang jauh lebih panjang, dengan banyak tanda koma, tapi konteks tulisan tetap bisa dipahami. Teknik menulis super panjang tidak saya anjurkan untuk pemula. Jika Anda merasa yakin bisa membuat kalimat yang jelas meskipun panjang, silakan.
Pengembalian Kata pada Maknanya
Yang saya maksud di sini adalah banyak kata yang sudah bergeser artinya kemudian dikembalikan pada bentuk asalnya. Ringkasnya, Atwood membuat eksposisi tentang asal sebuah kata.Contoh 1:
… Rita would not allow it. She would be too afraid. The Marthas are not supposed to fraternize with us.
Fraternize means to behave like a brother. Luke told me that. He said there was no corresponding word that mean to behave like a sister. Sororize, it would have to be, he said. From the Latin. (Halaman 21)
Contoh 2:
I sit in the chair and think about the word chair. It can also mean the leader of a meeting. It can also mean a mode of execution. It is the first syllable in charity. It is the French word for flesh. None of this facts has any connection with the others. (Halaman 120)
Pada contoh pertama, paragraf pertama dan kedua berhubungan. Namun, contoh kedua berbeda. Paragraf ini pembuka adegan Offred duduk dan disajikan sarapan. Dari topik ‘duduk di kursi’, cerita mengalir pada apa saja yang ada di nampannya, kemudian berbicara banyak soal telur.
Contoh pertama lebih kepada adegan yang kemudian memiliki kilas balik. Contoh kedua merupakan eksposisi yang mengalir.
Penempatan kata untuk ‘diterjemahkan’ tepat pada contoh pertama. Pada contoh kedua, pengertian soal kursi disambung dengan sebuah paragraf yang mengatakan bahwa untuk menenangkan dirinya, Offred menjadikan ‘penerjemahan’ itu sebagai litani. Litani sendiri, dalam KBBI salah satu artinya berasal dari istilah Katolik, semacam doa yang saling bersambut pada kebaktian gereja. Secara subteks dan konteks, kita bisa melihat Offred ‘mengganti ritual doa makan’ dengan ‘menerjemahkan kata’, tetapi fungsinya sama: memberi ketenangan.
Ada banyak yang Atwood tulis sebagai ‘pengembalian kata pada artinya’. Secara filsafat, ini bisa saja diartikan sebagai dekonstruksi, membongkar hasil akhir untuk mencari awalnya. Selain itu Atwood seolah-olah juga mengembalikan teks bersubteks menjadi teks murni. Mungkin ini hanya interpretasi saya pribadi. Jika sudah membaca buku ini, Anda juga bisa membuat interpretasi lain.
Apa yang Bisa Anda Pelajari
Saya tidak berbicara tentang aturan menulis. Apa yang saya tulis kali ini lebih pada kreativitas menulis. Anda bisa mencoba teknik-teknik yang dipakai oleh Margaret Atwood sebagai nilai seni tambahan.Selamat menulis.
Catatan:
Versi buku “The Handmaid’s Tale” yang saya pakai adalah terbitan Vintage, London, cetakan 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar