Tampilkan postingan dengan label Gaya Bahasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gaya Bahasa. Tampilkan semua postingan

Literary Devices


Halo sobat buku,

Literary devices bisa diterjemahkan sebagaimana adanya sebagai alat literasi. Saya tidak terlalu yakin istilah ini populer di Indonesia. Namun, elemen-elemennya cukup umum didengar. Pada dasarnya, alat literasi merujuk pada struktur yang biasa dipakai penulis untuk menyampaikan pesan dalam ceritanya kepada pembaca. Penggunaan alat literasi membantu pembaca dalam mengartikan, menginterpretasi, dan menganalisa cerita.

Menurut situs literarydevices.net, sebenarnya alat literasi ini bisa dipecah dua: elemen literasi dan teknik literasi.

Majas Metonimia, Litotes, dan Hiperbola


Ketiga majas di bawah ini masuk majas perbandingan.

Metonimia

Majas yang satu ini menggunakan nama barang, merek, ciri khas sebagai pengganti (penyebutan) barang itu sendiri.

Contoh:
BMW itu melaju kencang. (Merek BMW menggantikan kata mobil)
Satpam membariskan honda berdasarkan warna. (Honda menggantikan kata motor dan belum tentu semuanya memang merek itu.)

Litotes

Litotes merupakan majas yang berupa pernyataan, yang memperkecil atau melemahkan sesuatu untuk menyatakan sesuatu yang kuat atau besar. Fungsi majas litotes adalah untuk merendahkan diri.

Contoh:
Maaf, ya, makanannya cuma kecil-kecilan. (Padahal jamuannya cukup baik, bisa jadi malah mewah)
Selamat datang di gubuk kami. (Padahal rumahnya bukan gubuk, melainkan rumah KPR yang cukup bagus)

Hiperbola

Majas hiperbola melukiskan sesuatu dengan mengganti peristiwa atau tindakan yang sesungguhnya dengan kata-kata yang lebih hebat.

Contoh:
Aduh, macetnya! Benar-benar tua di jalan. (Tua di jalan maksudnya buang-buang waktu atau sia-sia. Perjalanan itu sendiri tidak mungkin menyebabkannya tua.)
Panasnya hari ini bikin wajahku meleleh. (Panasnya hari membuat si pembicara berkeringat banyak, tetapi wajahnya tidak meleleh).


Narasumber:
Intisari Sastra Indonesia untuk SMP dan SMA oleh Yadi Mulyadi, Ani Andriyani, dan Auliya M. Fajwah. Penerbit Yrama Widya, Bandung. 2016.
Mengayakan Kalimat dan Imajinasi, Panduan No. 1 Menjadi Penulis Andal dan Profesional oleh Burhan Fanani, S.Pd.. Penerbit Araska, Yogyakarta. 2016.

The Handmaid’s Tale: Sihir Kata


Novel yang sering disebut masuk genre speculative fiction ini dikerjakan oleh Margaret Atwood pada tahun 1985. Pernah dijadikan film dan sekarang menjadi serial TV online yang paling ditunggu. “The Handmaid’s Tale” (THL) bercerita dari perspektif tokoh wanita, Offred, ketika Republik Gilead baru berdiri. Dia bersama perempuan-perempuan lain yang berstatus handmaid hanya punya satu fungsi: melahirkan.

Dari awal cerita, pembaca digiring pada suasana depresif dan ketegangan. Dimulai dari kalimat pembuka paragraf yang tidak membuang-buang waktu:

We slept in what had once been a gymnasium.

(Kami tidur di tempat yang dulunya gimnasium.) Selanjutnya si tokoh berbicara tentang bagaimana gimnasium itu di masa lalu. Cerita kemudian bergulir pada bagaimana mereka tidur, siapa yang mengawasi, dan bagaimana mereka belajar untuk berbisik tanpa suara, lalu diam-diam saling bertukar nama asli.

Dari bab pertama, pembaca langsung tahu, ada yang tidak beres, ada suasana yang menekan. Dari sini, cerita kemudian bergerak maju dan mundur sehingga pembaca bisa menyatukan semua kepingan kisah di masa lalu dan masa sekarang (pada cerita).


Saya tidak ingin membeberkan lebih banyak plot cerita. Yang ingin saya tekankan untuk artikel kali ini adalah kekuatan kata. Atwood membius pembaca dengan monolog dan setelah saya perhatikan kekuatan kata yang dimanfaatkan Atwood ada tiga:

- Pengulangan kata,
- Permainan panjang pendek kalimat, dan
- Pengembalian kata pada maknanya.

Pengulangan Kata

Pengulangan kata memberi implikasi atas pentingnya apa yang disampaikan oleh si pembicara. Mungkin ini tradisi Barat, tetapi dalam pidato, pengulangan kata berguna menjadi amplifikasi, perpanjangan, yang membuat orang ingat nilai dari apa yang disampaikan si pembicara. Ketika diterapkan ke dalam narasi, efeknya sama.

Dalam dunia literasi, pengulangan kata seperti ini disebut dengan anafora.

Contoh 1 dalam THL:
I would like to believe this is a story I’m telling. I need to believe it. I must believe it. Those who can believe that such stories are only stories have a better chance. (Halaman 49)

Pada contoh di atas, kata ‘believe’ diulang empat kali pada empat kalimat. 4x4. Untuk memahami, kita kembali pada subteks. Ketiga kalimat pertama memberi tahu kita bahwa tokoh gamang atau merasa tidak percaya. Ia harus meyakinkan dirinya dan itu terjadi pada kalimat ketiga: Aku harus percaya. Namun, kenapa ia harus percaya, baru terungkap pada kalimat keempat (konteks): Mereka yang bisa percaya kalau cerita semacam itu sekadar cerita memiliki kesempatan yang lebih baik (untuk hidup atau selamat). Kita sudah berada pada halaman 49 dan sebelum mencapai halaman ini, Offred telah bercerita cukup banyak tentang kehidupannya saat sekarang dan sebelum Republik Gilead terbentuk. Jadi kalimat keempat merupakan cara si tokoh untuk merangkum situasi yang dihadapinya.


Contoh 2 masih menggunakan kata ‘believe’, tetapi kali ini menyebar dalam beberapa paragraf (halaman 114—116). Adegan ini menceritakan apa yang Offred pikirkan tentang nasib Luke, suaminya, yang terpisah saat mereka melarikan diri. Saat ini ia tidak tahu Luke ada di mana. Ia menduga, seperti potongan adegan di bawah, bahwa Luke sudah tewas dieksekusi. Tulisan di bawah saya potong-potong untuk mengambil intisari kata yang diulang:

Paragraf 1: Here is what I believe. (Hanya 1 kalimat)
Paragraf 2: I believe Luke is lying
Paragraf 3: I pray that the hole, … I pray that
Paragraf 4: I believe this. (Hanya 1 kalimat)
Paragraf 5: I also believe that Luke is sitting up, …. God knows what he’s wearing. God knows what they’ve put him in. God isn’t the only one who knows, so there ….
Paragraf 6: Anyway, they don’t
Paragraf 7: He finds it painful …. I can’t imagine. I can’t imagine he hasn’t already said whatever it is.
Paragraf 8: He is surrounded by a smell, …. I imagine him resting, because I can’t bear to imagine him at any other time, just as I can’t imagine anything below his collar, …. Does he know I am here, alive, that I’m thinking about him? I have to believe so. In reduced circumstances you have to believe all kinds of things. I believe in thought transference now, ....
Paragraf 9: I also believe that they didn’t catch him or catch up with him after all, that ….
Paragraf 10: He made contact with the others, …. I believe in the resistance as I believe there can be no light ….
Paragraf 11: Any day now ….
Paragraf 12: The message will say that …. The message will say that also. It’s this message, which may never arrive, that keeps me alive. I believe in the message.
Paragraf 13: The things I believe can’t all be true, though one of them must be. But I believe in all of them, all three versions of Luke, at one and the same time. This contradictory way of believing seems to me, right now, the only way I can believe anything. Whatever the truth is, I will be ready for it.
Paragraf 14: This also is a belief of mine. This also may be untrue.

Sekarang, mari kita bedah! Paragraf pertama dan kedua mengandung kata ‘believe’. Paragraf ketiga menjadi variasi dengan pengulangan kata ‘pray’. Paragraf keempat kembali pada kata ‘believe’ sebagai penegasan. Paragraf kelima menjadi kelanjutan apa yang diyakini si tokoh. Terjadi pengulangan kata ‘God’ dan ‘knows’. Paragraf keenam tidak mengandung pengulangan. Paragraf ketujuh mengulang kata ‘imagine’. Paragraf kedelapan masih mengulang kata ‘imagine’ lalu kembali mengulang 3 kali kata ‘believe’. Paragraf kesembilan memakai kata ‘believe’ dan mengulangnya 2 kali pada paragraf kesepuluh. Paragraf kesebelas tidak ada pengulangan kata. Paragraf kedua belas mengulang kata ‘message’ sebanyak 4 kali dan sekali ‘believe’. Paragraf ketiga belas mengulang kata ‘believe’. Paragraf keempat belas memakai kata ‘belief’ yang pengucapannya sama dengan ‘believe’.

Nah, ada semacam pola di sini. Setelah beberapa kali mengulang kata yang sama, Atwood memberi jeda dengan 2 cara: pertama, pengulangan kata baru seperti ‘pray’, ‘imagine’, ‘God’, dan ‘message’. Kedua, dengan membuat paragraf jeda yang tidak mengandung pengulangan apa pun. Contohnya paragraf 6 dan 11.

Apa yang bisa kita pelajari dari dua contoh di atas? Pengulangan kata tidak membosankan jika memiliki ritme yang tepat. Secara subteks, pembaca diingatkan apa yang ingin disampaikan (pada dua contoh di atas, tokoh butuh keyakinan dan dia memaksa dirinya untuk percaya).

Permainan Panjang Pendek Kalimat

Panjang dan pendeknya kalimat juga membantu memberi irama dan estetika dalam cerita. Perhatikan tiga contoh di bawah.

Contoh 1:
I ought to feel hatred for this man. I know I ought to feel it, but it isn’t what I do feel. What I feel is more complicated than that. I don’t know what to call it. It isn’t love. (Halaman 68)

Pada contoh pertama, paragraf dimulai dengan kalimat yang panjangnya sedang, diikuti kalimat yang paling panjang (14 kata). Selanjutnya kalimat menjadi lebih pendek dan paling pendek.


Contoh 2:
I wait. I compose myself. My self is a thing I must now compose, as one composes a speech. What I must present is a made thing, not something born. (Halaman 76)

Pada contoh kedua, paragraf dibuka dengan kalimat yang sangat pendek, diikuti kalimat yang lebih panjang, paling panjang (14 kata), dan diakhiri dengan kalimat yang panjangnya sedang.


Contoh 3:
But all around the walls there are bookcases. They’re filled with books. Books and books and books, right out in plain view, no locks, no boxes. No wonder we can’t come in here. It’s an oasis of the forbidden. I try not to stare. (Halaman 147)

Pada contoh terakhir, kalimat pertama agak panjang, diikuti dengan kalimat pendek. Kalimat terpanjang mengikuti (14 kata), kemudian 2 kalimat yang panjangnya sedang. Akhirnya ditutup dengan kalimat pendek.

Agak unik bahwa semua contoh yang saya ambil memiliki sebuah kalimat panjang yang terdiri dari 14 kata. Namun, Atwood sering menggunakan kalimat yang jauh lebih panjang, dengan banyak tanda koma, tapi konteks tulisan tetap bisa dipahami. Teknik menulis super panjang tidak saya anjurkan untuk pemula. Jika Anda merasa yakin bisa membuat kalimat yang jelas meskipun panjang, silakan.

Pengembalian Kata pada Maknanya

Yang saya maksud di sini adalah banyak kata yang sudah bergeser artinya kemudian dikembalikan pada bentuk asalnya. Ringkasnya, Atwood membuat eksposisi tentang asal sebuah kata.

Contoh 1:
… Rita would not allow it. She would be too afraid. The Marthas are not supposed to fraternize with us.
Fraternize means to behave like a brother. Luke told me that. He said there was no corresponding word that mean to behave like a sister. Sororize, it would have to be, he said. From the Latin. (Halaman 21)

Contoh 2:
I sit in the chair and think about the word chair. It can also mean the leader of a meeting. It can also mean a mode of execution. It is the first syllable in charity. It is the French word for flesh. None of this facts has any connection with the others. (Halaman 120)

Pada contoh pertama, paragraf pertama dan kedua berhubungan. Namun, contoh kedua berbeda. Paragraf ini pembuka adegan Offred duduk dan disajikan sarapan. Dari topik ‘duduk di kursi’, cerita mengalir pada apa saja yang ada di nampannya, kemudian berbicara banyak soal telur.

Contoh pertama lebih kepada adegan yang kemudian memiliki kilas balik. Contoh kedua merupakan eksposisi yang mengalir.

Penempatan kata untuk ‘diterjemahkan’ tepat pada contoh pertama. Pada contoh kedua, pengertian soal kursi disambung dengan sebuah paragraf yang mengatakan bahwa untuk menenangkan dirinya, Offred menjadikan ‘penerjemahan’ itu sebagai litani. Litani sendiri, dalam KBBI salah satu artinya berasal dari istilah Katolik, semacam doa yang saling bersambut pada kebaktian gereja. Secara subteks dan konteks, kita bisa melihat Offred ‘mengganti ritual doa makan’ dengan ‘menerjemahkan kata’, tetapi fungsinya sama: memberi ketenangan.

Ada banyak yang Atwood tulis sebagai ‘pengembalian kata pada artinya’. Secara filsafat, ini bisa saja diartikan sebagai dekonstruksi, membongkar hasil akhir untuk mencari awalnya. Selain itu Atwood seolah-olah juga mengembalikan teks bersubteks menjadi teks murni. Mungkin ini hanya interpretasi saya pribadi. Jika sudah membaca buku ini, Anda juga bisa membuat interpretasi lain.

Apa yang Bisa Anda Pelajari

Saya tidak berbicara tentang aturan menulis. Apa yang saya tulis kali ini lebih pada kreativitas menulis. Anda bisa mencoba teknik-teknik yang dipakai oleh Margaret Atwood sebagai nilai seni tambahan.

Selamat menulis.


Catatan:
Versi buku “The Handmaid’s Tale” yang saya pakai adalah terbitan Vintage, London, cetakan 2017.

Teks, Subteks, dan Konteks



Beberapa minggu ini ketika wara-wiri di Youtube saya menemukan video edukasi tentang dialog dalam film. Meski selama ini saya sudah punya konsep membuat dialog menarik itu seperti apa, ternyata video-video ini menampilkan teori lain yang cukup menarik. Misalnya, saya selama ini tidak tahu perkara teks, subteks, dan konteks. Padahal pengetahuan ini krusial untuk dipahami.

Dulu saya pernah menulis tentang semiotika. Teks, subteks, dan konteks hampir mirip pemahamannya dengan semiotika. Dalam semiotika kita melihat sebuah kata atau informasi kemudian melihat bagaimana ia dikirim dan diterima. Semiotika berbicara banyak soal konteks.

Makna

Teks merupakan kata yang tertulis. Tidak harus satu. Bisa berupa frasa maupun kalimat. Dalam sebuah cerita, teks hanya memiliki makna yang sebenarnya. Jika tokoh berkata, “Berlian.” artinya memang batu berlian. Teks merupakan lapisan permukaan dari lapisan lain yang lebih dalam: subteks.

Subteks adalah daya emosional yang terkandung dalam sebuah ide atau pikiran. Ia merupakan niatan si tokoh yang terdiri dari kondisi emosional, keinginan, hasrat, tujuan, dll. Dalam subteks, ada pesan tersembunyi, pesan implisit yang harus ditemukan oleh pembaca atau pendengar. Jadi, ketika tokoh mengatakan sesuatu, pesan tersembunyi itulah yang seharusnya ditangkap, bukan kata-kata yang mereka ucapkan. Contoh, ketika tokoh berkata, “Berlian.”, bisa jadi yang ia maksud adalah orang yang cerdas atau cemerlang.

Hingga di sini, timbul pertanyaan. Mengapa kita tidak bisa memastikan pesan di balik kata ‘berlian’? Bisa saja berlian itu nama orang, ‘kan? Ini terjadi karena kita tidak memiliki konteks.

Konteks merupakan hal yang menjadi pegangan pembaca atau pendengar, berisi informasi yang dibutuhkan seperti siapa nama tokohnya, sedang di mana, hari apa, dll. Konteks memuat setting, hubungan (relationship) yang sebelumnya ada, dinamika kekuatan, dan aturan dunia yang dinavigasikan si tokoh. Jadi, kalau tokoh mengacungkan surat sambil berteriak, “Dari Berlian!”, kita segera mengasosiasikannya dengan nama orang. Bisa juga ada paragraf atau bab terdahulu yang menjelaskan siapa tokoh Berlian itu.


Gampangnya:

Teks itu kata (penanda, signifier).
Subteks itu niatan atau kode (makna di bawah penanda).
Konteks itu setting dan worldview.


Dari sini muncul lagi pertanyaan baru: mana yang lebih dulu?

Konteks sangat penting untuk dibangun lebih dulu. Mengapa? Karena dengan adanya konteks, pembaca atau pendengar memiliki akses terhadap makna yang jelas (clear meaning) dan secara emosional akan terlibat.


Manfaat

Dialog yang hanya terdiri dari teks tanpa diselingi subteks akan terasa membosankan.

Contoh:

Sebuah keluarga bersiap berangkat pagi hari.
Anak: pagi, Ma, Pa.
Mama: Pagi, Sayang.
Papa: Pagi.
Anak: Pa, uang jajanku untuk minggu ini belum dikasih.
Papa: ini.
Ayah dan anak kemudian keluar menuju mobil. Di rumah tetangga, nyonya rumah sedang menyiram bunga.
Anak: pagi, Tante Chan!
Tetangga: Eh, pagi. Dah mau berangkat, ya?


Dialog ini tidak memiliki tujuan lain selain apa yang terjadi saat itu.


Contoh lain:

A bertamu ke rumah B untuk mengerjakan tugas sekolah. Ketika waktunya makan malam …
B: makan, yuk. Udah disiapin nih.
A: aduh, aku masih kenyang. (pesan sebenarnya: aku segan)
B: udah santai aja. Gak ada siapa-siapa ini! (pesan sebenarnya: aku tahu kamu segan)

Contoh ini memperlihatkan subteks memberi peranan tarik ulur antara si A dan B sampai akhirnya A menyerah.

Obrolan tentang politik biasanya juga sarat dengan lapisan dalam. Perang kata-kata tidak frontal, tetapi lawan bicara (dan pembaca/pendengar) paham apa yang dimaksud si pembicara. Selain itu, bisa juga subteks terjadi ketika pembicaraan terjadi dalam situasi tertekan. Misalnya, ketika menghadapi kesulitan atau kemalangan. Orang cenderung tidak mengatakan terus terang. Biasanya mereka menyampaikan secara tidak langsung.

Contoh:
Ada orang yang mengatakan, “Mana si A? Mana?” Meski diucapkan dengan kemarahan, sebenarnya si pembicara ingin menyampaikan pesan kalau ia cemas karena A belum tiba setelah ditunggu sekian lama.

Contoh lain subteks, yang tak harus ‘arti terselubung’ adalah tema. Kadang, penulis bisa meletakkan tema atau ide penting dari keseluruhan cerita dalam sepenggal kalimat bersubteks. Misalnya dalam “Pride and Prejudice”, ada sebuah kalimat:

It is a truth universally acknowledged that a single man in possession of a great fortune, must be in want of a wife.

(Sudah merupakan kebenaran universal bahwa seorang pria single yang memiliki kekayaan pasti menginginkan istri)

Kalimat di atas merupakan subteks dalam bentuk majas ironi. Artinya apa yang tampak bertentangan dengan kenyataan atau yang dipikirkan si tokoh (atau bahkan si penulis). Buku ini juga mempunyai tema besar tentang rasa cinta yang datang bukan karena harta. Jadi penggalan kalimat di atas merupakan subteks atas dua hal: tema cerita dan ironi.

***


Jika kalimat dalam teks lebih penuh, subteks akan ikut penuh, sementara konteks akan menjadi lebih spesifik. Dengan begitu, pembaca atau pendengar lebih terprovokasi untuk mencari koneksi, mengisi kekosongan antarkata dan artinya.

Artinya? Penulis telah membangun investasi audiens (audience investment) biasanya dalam bentuk investasi emosi. Pembaca atau pendengar merasa memiliki wawasan spesial tentang dunia si tokoh. Inilah yang kemudian disebut illusion of intimacy atau ilusi kedekatan yang membantu penulis membuat tokoh yang menarik.


Untuk pemahaman lebih mendalam, silakan baca dan tonton video dari alamat yang saya sematkan ini:
Thought.co: “Understanding Subtext” oleh Richard Nordquist.
https://www.thoughtco.com/subtext-definition-1692006https://www.thoughtco.com/subtext-definition-1692006

Writer’s Digest: “Creating Setting and Subtext in Your Fiction” oleh Cris Freese
https://www.writersdigest.com/editor-blogs/there-are-no-rules/creating-setting-and-subtext-in-your-fiction

Youtube: “Dialogue Part 1: Text, Subtext, Context” oleh The Art of Story https://youtu.be/Ge0b5EPdL8I

Youtube: “How to Write Great Dialogue” oleh The Closer Look https://youtu.be/hEgsIV98ZmU

Kalimat Pendek yang Catchy

Patience, you must have my young padawan.
-Yoda, Star Wars-

Ada yang menyadari kalau Yoda bicara, strukturnya suka dibalik, tidak mengikuti tata bahasa yang seharusnya? Selama ini saya tidak perhatian, tapi setelah baca How to Write Short karya Roy Peter Clark, saya jadi sering bermain dengan kalimat.

Sebelum kita bahas lebih lanjut, kita lihat dulu struktur kalimat yang seharusnya. Dalam bahasa Indonesia, kutipan Yoda bisa diterjemahkan, "Kesabaran, kau harus miliki, padawan mudaku." Jika kita buat dalam struktur tata kalimat yang seharusnya, kalimat itu bentuknya, "Kau harus memiliki kesabaran, padawan mudaku."

Pertanyaannya, mengapa kata 'kesabaran' (patience) yang malah diletakkan di awal kalimat? Apa efeknya pada pendengar? Ketika kata kesabaran diletakkan di awal kalimat, Yoda menekankan bahwa kesabaran itu penting. Pendengar juga langsung menangkap pentingnya kesabaran untuk ia miliki tanpa perlu ingat lanjutan kata-katanya.

Sekarang, lihat contoh ini dari Macbeth, karya Shakespeare:
The queen, my lord, is dead.
(Sang ratu, Yang Mulia, telah wafat.)
Sekarang bayangkan struktur yang benar:
A. Sang ratu telah wafat, Yang Mulia.
B. Yang Mulia, sang ratu telah wafat.

Di sini, struktur dan intonasi menjadi kunci. Dalam bahasa Inggris, ketika mengucapkan The queen, nadanya naik. Ketika mengucapkan my lord nadanya jauh lebih rendah daripada saat mengucapkan is dead. Dengan demikian kita bisa menangkap bahwa queen adalah penekanannya pertama dan is dead penekanan kedua. Pemberian jeda oleh frasa my lord juga memberi ketegangan, seperti menggantung sejenak.

Hal kedua yang bisa kita cermati, kalimat dalam berbahasa Inggris itu hanya terdiri dari enam atau tujuh kata. Singkat, padat, mudah diingat, dan catchy.

Sekarang, kita lihat kutipan Martin Luther King Jr., yang kalimatnya sedikit lebih panjang, tapi esensinya sama dengan pembahasan kita di atas.

1. Love is the only force capable of transforming an enemy into friend.
(Cinta adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah seorang musuh menjadi teman)
Bentuk lain: Satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah seorang musuh menjadi teman adalah cinta.
Jika kita cermati di sini, ada dua hal penting dalam kalimat aslinya: cinta dan musuh menjadi teman. Jadi dengan meletakkan satu di awal dan satu di akhir, kita bisa melihat apa intisari kalimat itu.

2. The quality, not the longevity, of one's life is what is important.
(Kualitas, bukannya usia panjang, dari kehidupan seseorang itulah yang penting)
Bentuk lain: Apa yang penting dalam kehidupan manusia adalah kualitasnya, bukan panjang usianya.
Sama dengan kalimat bijak Yoda, kata kualitas adalah bagian yang ingin ditekankan oleh King.

Nah, kalian bisa berlatih di buku coretan atau menggunakan tokoh-tokoh yang telah kalian buat, mengucapkan kata-kata dengan penekanan pada kata tertentu.
Selamat mencoba.

Majas: Simile, Metafora, dan Personifikasi



Sewaktu dulu saya wara-wiri di sebuah international school, ternyata pelajaran tentang majas sudah diperkenalkan sejak SD. Sekurangnya, kelas 4 ada tiga majas yang harus dikuasai. Ketiganya masih dari kelompok majas perbandingan.

1. Simile
Simile mungkin yang paling mudah di antara tiga majas. Majas ini membandingkan dua hal yang berbeda, tapi mengandung sesuatu yang serupa.
Cirinya ditandai dengan penggunaan kata seperti, bagai, laksana.
Contoh:
- Tubuh Andi lincah bagaikan kancil.
- Kecantikannya laksana bulan.
- Ia menggelepar seperti ikan megap-megap.

2. Metafora
Ini majas yang menggambarkan sesuatu dengan membandingkan langsung pada hal lain; sebuah ekspresi yang menjelaskan manusia atau objek dengan mereferensikannya pada sesuatu yang memiliki karakteristik sama.
Contoh:
- Pikiran adalah lautan.
- Ia bintang yang bersinar.
- Dia itu kamus berjalan.

3. Personifikasi
Personifikasi merupakan gaya bahasa yang menempatkan benda mati seolah-olah seperti manusia.
Contoh:
- Pohon menari-nari ditiup angin.
- Akhirnya matahari pun bangun.
- Ombak bergulung marah.

Apa bedanya simile dan metafora?
Perbedaan utama terletak pada kata 'seperti'. Simile pasti menggunakan kata tersebut, sementara dalam metafora tidak boleh sama sekali. Dalam metafora, sesuatu adalah sesuatu yang lain.

Dalam bahasa Inggris perbedaan keduanya tampak lebih jelas:
- You are as strong as a bear. (Simile)
- He slept like a log. (Simile)
- The snow is a white carpet. (Metafora)
- Life is a rollercoaster. (Metafora)

Dua contoh yang pertama membandingkan seseorang terhadap benda (log, kayu) atau hewan (bear, beruang).

Dua contoh terakhir berbeda. Yang satu mengatakan kalau salju adalah karpet putih. Jadi salju dan karpet seolah-olah hal yang sama. Keduanya memiliki kesamaan: lembut dan menghampar. Contoh yang kedua menyatakan bahwa hidup itu rollercoaster. Hidup hanya dimiliki makhluk hidup, sementara rollercoaster benda mati. Namun, dalam hal ini keduanya memiliki kualitas sama, yaitu naik turun.

***
Narasumber:
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/metaphor
https://examples.yourdictionary.com/metaphor-examples-for-kids.html
https://examples.yourdictionary.com/examples-of-similes.html
Buku Intisari Sastra Indonesia: untuk SMP dan SMA oleh Yadi Mulyadi, Ani Andriyani, dan Auliya Millatina Fajwah. Penerbit Yrama Widya, 2016, Bandung.

Pencarian Artikel

Entri yang Diunggulkan

Samurai Seven: Siapa Pemenang Sebenarnya

Inilah salah satu cerita terbaik yang pernah saya tonton. Baik versi asli maupun anime sangat menarik. Seven Samurai (1954) memiliki be...

Artikel Terpopuler Minggu Ini