Tampilkan postingan dengan label Game of Thrones. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Game of Thrones. Tampilkan semua postingan

Logika Bahasa dan Logika Cerita

 


SAYA MAKAN ADIK TIDUR 

Semua pengarang harus tahu, hal penting dalam tulisan mereka adalah isinya. Mulai dari penokohan sampai bagaimana cerita berakhir, itu yang utama.

Sedikit orang tahu, kalau saya membalik kebutuhan mana yang lebih penting. Saya selalu memulai dari kemampuan berbahasa. Simpelnya, semua orang bisa baca tulis, tetapi belum tentu memahami isinya, bahkan belum tentu memahami logikanya.

Seperti kalimat pembuka di atas yang bisa multitafsir. Apakah saya makan adik yang sedang tidur? Apakah saya makan adik sambil tidur atau lalu tidur? Atau saya makan ketika adik tidur? Bagaimana jika kalimatnya: 'Makan adik saya tidur'? Kalimat-kalimar tersebut menjadi gamang dalam pemahaman.

Logika Bahasa dan Logika Cerita

Sebuah kata bisa menentukan seluruh cerita. Satu kata salah ditempatkan bisa merusak makna. Bahkan tidak adanya tanda koma bisa membuat orang bingung, seperti contoh di atas.

Keterampilan berbahasa tidak didapat dalam sekali belajar. Itu sebabnya latihan itu penting. Banyak membaca perlu bukan hanya untuk menambah wawasan, tetapi juga membiasakan diri dengan pola-pola kalimat. Tentu, bacaannya yang terseleksi, ya.

Logika cerita juga berkaitan dengan logika bahasa. Contoh: Para ibu berdiri di sana.
Dari sini kita tahu ada lebih dari satu ibu. Kalau kita tulis 'Ibu berdiri di sana', lebih mungkin ini hanya satu orang.

Bagaimana dengan 'Para ibu berdesakan menonton ayam sabung'? Meski kalimat ini secara struktur sudah oke, tetapi logikanya tidak terlalu tepat. Biasanya para pria yang menonton. Jadi, apakah ini salah ketik atau disengaja? Kita tidak tahu tanpa adanya teks lanjutan. Mungkin saja cerita ini tentang kaum mak-emak yang gemar judi sabung. Barangkali pengarang memang sengaja membuka kalimat dengan cara ini untuk menggelitik pikiran pembaca.

Namun, banyak juga pembaca yang tidak awas. Berita hoaks, misalnya. Mudah sekali menipu pembaca yang tidak menggerakkan logika kebahasaannya. Padahal, ada banyak petunjuk dalam teks tersebut yang bisa diuji kebenarannya.

Logika Waktu, Tempat, dan Penokohan

Kalau saya diminta mengecek cerita, biasanya mudah sekali saya mengendus kesalahan pengarang. Logika yang cacat itu biasanya datang dari logika waktu, logika tempat, logika karakterisasi, sampai logika umum. Misalnya, tokoh yang sakit di kantor lantai 30, bisa langsung didatangi dokter dalam waktu 5 menit. Daei segi lokasi, kalau dokternya lain gedung juga gak mungkin, ya. Ini logika lokasi. Contoh logika waktu: si A tinggal di Jakarta, si D di Bogor. Tengah malam ke Jakarta cuma 10 menit. Ya, sesepi-sepi Jakarta, gak mungkin juga naik motor bisa secepat itu. Logika karakterisasi itu misalnya inkonsistensi penokohan. Si A katanya tidak suka makan pedas, di tengah cerita makan pedas tanpa keluhan. Ini kan tidak masuk akal. Logika umum itu contohnya si A punya restoran dan ketika ada barang masuk tidak sesuai, langsung marah dan bahan tadi dibanting-banting. Ini tidak pas logikanya. Seolah-olah bahan tersebut tidak bisa dibuang tanpa perlu bersikap dramatis. Logika lain yang tidak nyambung: kok bisa bahan itu masuk? Biasanya restoran punya S.O.P dan suplier yang jelas. Nah, kelihatan di sini ada dua hal yang jadi masalah.

Logika Cerita

Namun, ada hal yang gak masuk akal dan dibiarkan dalam cerita. Ini saya sebut logika cerita. Contohnya dalam film Reservoir Dogs, tokoh yang sudah tertembak dan mengalami pendarahan hebat masih hidup berjam-jam (sempat pingsan juga). Atau John Wick diserang ribuan orang masih menang. Ini memang logika cerita yang ngaco, tetapi sedikit masih bisa dimaafkan. Dalam kedua contoh di atas, masing-masing punya tujuan mengapa tokohnya belum mati juga karena setup cerita yang membuat kisahnya 'bisa menerima kejanggalan ini'.

Sebagai tandingan, ada juga cerita yang sangat realistis (meski kategorinya cerita fantasi) seperti Game of Thrones. Dalam cerita ini, penonton pasti berharap Ed Stark tidak mati, diselamatkan dari hukum penggal. Kenyataannya, tidak ada yang menolong Ed. Dalam dunia nyata, banyak kasus seperti ini. Contoh lainnya adalah film Contagion yang hampir seperti prediksi wabah. Memang film ini ditopang ilmuwan PBB yang menjadi narasumber dan tentu tidak semua hal dalam cerita itu logis, tetapi masih bisa diterima akal sebagai bagian dari logika cerita. Prediksi tentang politik dan vaksin, juga kekisruhan borong belanja sudah terbukti.

Jadi, jangan sepelekan bahasa karena logika sering datang dari sebuah kata, tiap kata membentuk kalimat, dan tiap kalimat pada akhirnya membentuk cerita.

Plot Twist: False Protagonist (Protagonis Palsu)




Artikel ini mengandung spoiler (beberan)

False Protagonist atau kadang disebut decoy protagonist (Protagonis Palsu) adalah salah satu teknik plot twist yang cukup sering dipakai. Di sini, tokoh dibuat seolah-olah sebagai tokoh utama pada awal cerita, tetapi kemudian posisinya digantikan oleh tokoh lain. 

Apa manfaat menggunakan teknik ini? Teknik ini dipakai untuk membuat cerita lebih dikenang karena membuat pembaca atau penonton percaya bahwa tokoh tersebut tokoh utama, tetapi ternyata bukan.

Menampilkan protagonis atau tokoh utama palsu ini bisa dengan bermacam cara. 
A. Yang paling sering dipakai adalah dengan membunuh si tokoh. Misalnya dalam "Game of Thrones" musim pertama, penonton diyakinkan bahwa Ned Stark adalah tokoh utama cerita. Kematiannya pada episode terakhir membuat penonton terkejut dan menduga-duga siapa sebenarnya tokoh utama dari keluarga Stark. Dalam film "The Godfather", Vito Corleone adalah pemimpin keluarga dan menjadi pusat cerita sebelum ia sakit dan meninggal. Tokoh utama kemudian diganti oleh anaknya, Michael.

B. Masih dengan membunuh si tokoh, tetapi dengan memanfaatkan aktor ternama setelah muncul 5—15 menit. Tentu saja ini lebih cocok ke dalam produksi film. Contohnya, dalam film "Scream", aktris Drew Barrymore hanya bermain selama 15 menit. Namun, dalam promosi film, ia ditampilkan paling menonjol. Film lain yang menggunakan teknik ini adalah "Children of Men". Tokoh Julian yang diperankan Julianne Moore tampak sangat menjanjikan. Penonton akan berharap bahwa tokoh ini menjadi protagonis kedua dalam film. Apalagi dalam cerita, Julian adalah mantan istri tokoh utama. Saya tidak ingat tepatnya, tetapi tokoh Julian tewas dalam waktu 15—30 menit setelah tampil.

C. Menggeser tokoh yang tadinya protagonis menjadi antagonis. Dalam "Aladdin", cerita dibuka oleh sang penyihir yang melakukan perjalanan sulit dari Moroko ke Cina demi mendapatkan lampu ajaib. Sudut pandang ini baru diubah setelah ia membiarkan Aladdin terjebak di dalam gua. Cerita pun sekarang berasal dari Aladdin dan menjadikan si penyihir sebagai antagonis.

D. Menggeser tokoh utama pelan-pelan. Yang ini agak jarang karena tokoh utama dan tokoh pengganti biasanya sama-sama protagonis. Dalam serial anime "Psycho-Pass", tokoh Shinya yang tadinya menjadi sorotan, perlahan-lahan digantikan oleh Akane.  

Narasumber

"Decoy Protagonist" oleh tv tropes
https://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Main/DecoyProtagonist
(Diakses tanggal 25 April 2020)

"False Protagonist", Wikipedia.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/False_protagonist
(Diakses tanggal 25 April 2020)

"Plot twist" oleh Wikipedia
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Plot_twist
(Diakses tanggal 25 April 2020)

Plot Twist: Eucatastrophe


Artikel ini mengandung beberan (spoiler)

Eucatastrophe (baca: yuu.ketas.tro.fi) merupakan sebuah istilah yang digagas oleh J. R. R. Tolkien yang bisa diartikan sebagai sebuah kejadian tiba-tiba yang memastikan si protagonis tidak menemui malapetaka mengerikan. 

Tolkien menggunakan bahasa Yunani yaitu prefiks 'eu' dan 'catastrophe'. Prefiks 'eu' berarti 'baik'. Sementara itu, 'catastrophe' atau katastrofe dalam KBBI V diartikan sebagai (1) malapetaka besar yang datang tiba-tiba (2) sebagai istilah sastra berarti akhir drama, terutama drama klasik yang bersifat tragedi.

Hal lain yang dibahas dalam artikel ini: fakta, ciri, dan tip membuat Eucatastrophe, perbedaannya dengan deus ex machina, dan contoh.


Cerita yang mengandung eucatastrophe biasanya meletakkan si tokoh dalam bencana yang berakhir dengan kesejahteraan (well-being) atau kebaikan si tokoh. Bukan sekadar happy ending, eucatastrophe memberi sukacita (joy). Timothy Willard menulisnya sebagai "ketika segala asa sepertinya hilang, keadaan sudah begitu suram, harapan muncul". 

Dalam bahasa yang sederhana, bisa diartikan begini: situasi sudah begitu buruknya. Si tokoh sepertinya tak punya harapan untuk memperbaiki atau menyelesaikan tugasnya. Eh, datanglah sesuatu yang menyelamatkannya. Yang baca sudah harap-harap cemas sampai menahan napas. Begitu situasi terselamatkan, pembaca pun girang setengah mati.

Tolkien mengatakan bahwa eucatastrophe tidak menyangkal kegagalan mendadak oleh protagonis, melainkan menyangkal kekalahan final universal dan merupakan evangelium (kabar baik), memberi secercah pandangan tentang Sukacita, [dan] kepedihan layaknya kesedihan. (Timothy Willard mengutip Tolkien on Fairy-Stories, Expanded Edition with Commentary and Notes oleh J. R. R. Tolkien, Verlyn Flieger, and Douglas A. Anderson. London: Harper Collins Publ., 2014.)

Sebagai ilustrasi, pembaca atau penonton cemas setengah mati apakah Gandalf bisa melarikan diri dari menara Sauron dalam Lord of the Rings. Ketegangan ini dijawab dengan datangnya burung raksasa ketika situasi Gandalf sangat terdesak. Pembaca/penonton mungkin akan berteriak girang, melompat-lompat, atau bahkan merasa lega. Perasaannya meluap, lebih dari sekadar senang, tetapi sukacita (girang).

Fakta seputar Eucatastrophe

- Istilah eucatastrophe pertama kali ditulis Tolkien dalam esainya "On Fairy-Stories" pada tahun 1942 (ada juga sumber yang mengatakan tahun 1947).
- Meski minat Tolkien adalah mitologi, eucatastrophe juga erat dengan pemikiran Tolkien terhadap gospel Kristen.
- Eucatastrophe berlawanan dengan catastrophe. Catastrophe berakhir dengan tragedi. Eucatastrophe berakhir dengan kebahagiaan.
-Tolkien berbagi diskusi dengan C. S. Lewis (pengarang serial Narnia) tentang kekristenan (termasuk eucatastrophe) yang kemudian menginspirasi Lewis untuk menulis esai "Myth Became Fact" pada tahun 1944.

Ciri Eucatastrophe

1. Eucatastrophe lebih dari sekadar akhir yang bahagia. Ia adalah kesukacitaan yang 'mengambil giliran'  dalam cerita (karena tidak ada akhir yang sejati pada setiap dongeng). Ia adalah anugerah yang ajaib, tidak akan bisa diandalkan untuk terulang kembali.
2. Tidak menyangkal adanya kesedihan dan kegagalan. Namun, ia menyangkal kekalahan akhir universal (universal final defeat),dan memberikan sekilas gambaran tentang Sukacita.
3. Tiba-tiba, tak diduga
4. Ajaib
5. Happy ending
6. Tokoh berada dalam situasi terdesak dan tidak ada jalan keluar
7. Masalah terselesaikan bukan karena si tokoh yang memiliki kontrol untuk menyelesaikannya, tetapi karena ada faktor luar atau intervensi, misalnya keajaiban.

Tip Membuat Eucatastrophe

- Pastikan si tokoh meyakini bahwa dirinya sudah di ambang malapetaka.
- Meskipun kejadiannya kecil, pastikan kejadian itu sangat penting bagi si tokoh.
- Kebaikan yang datang setelah pembaca yakin kalau yang terburuklah yang akan datang, harus diungkapkan dengan segera.
- Kejadiannya tidak harus membahayakan si tokoh
- Tidak harus terjadi di akhir cerita.
- Bisa berbentuk emosi, tidak harus selalu berbentuk plot.

Eucatastrophe vs. Deus Ex Machina

Susah-susah gampang untuk melihat perbedaan eucatastrophe dengan Deus ex machina. Secara umum keduanya sama-sama:
- tiba-tiba dan tak diduga
- ajaib
- tokoh berada dalam situasi terdesak dan tidak ada jalan keluar
- sama-sama bisa dipakai dalam drama dan komedi

Untuk cerita modern, Deus ex machina bisa tercampur dengan eucatastrophe. Misalnya film "Monty Python and the Holy Grail". Sebagai sebuah komedi, film ini digadang berbau Deus ex machina, padahal memiliki happy ending. Namun, karena plotnya kelihatan tidak masuk akal (polisi modern mendadak nongol di zaman Raja Arthur), akhirnya jatuh ke Deus ex machina.

Berikut perbedaan umum antara eucatastrophe dan Deus ex machina.

                                                                                                
EucatastropheDeus Ex Machina
masuk akaltidak masuk akal
happy ending bercampur dengan kesedihan dan kesalahanhappy ending menutup ending yang masih bolong-bolong
cocok dengan cerita sering kali tidak pas dengan cerita
datang dari dalam ceritakadang-kadang bukan dari dalam cerita
harapan adalah faktor pentingharapan bukan faktor
alami dari dalam ceritapalsu dan dipaksakan


Contoh

1. Lord of the Rings (buku/film)

a) Ketika Frodo merasa mustahil untuk membuang cincin ke api gunung berapi, Gollum datang mengambil cincin itu. Pembaca/penonton merasa kejahatan menang. Namun karena terlalu gembira, Gollum terjatuh ke dalam api bersama cincinnya. Dengan demikian, Sauron dan semua kelompok kejahatan yang bersekutu dengannya berhasil dilumpuhkan. Perang yang tengah terjadi pun terhenti. Dunia terselamatkan.

b) Meskipun kebaikan telah menang, Frodo merasa dirinya berbeda ketika pulang ke kampung Hobbit dan sebagai penutup dia meninggalkan kampungnya. Ini bagian eucatastrophe yang tidak menyangkal adanya kesedihan dan kegagalan.

2. Game of Thrones (buku/serial TV)

Dalam season 8, episode 3, Perang Winterfell menjadi pertarungan keras antara manusia dan white walkers. Pada saat situasi sudah genting (sepertinya pihak manusia sudah kewalahan dan banyak tokoh penting gugur), Bran Stark berhadapan langsung dengan Night King. Night King siap membunuh Bran. Tanpa diduga, Arya muncul dan membunuhnya. Seluruh pasukan white walkers lenyap dan manusia menang. Adegan ini contoh terbaik eucatastrophe di mata saya karena sebelum momen sukacita, momen Arya nongol sempat memberi sukacita, lalu penonton sempat merasa tidak punya harapan ketika Night King mencekiknya, dan kembali bersorak ketika pisau jatuh dan ditangkap oleh tangan Arya yang lain sehingga bisa menusuk Night King. Dan kali ini benar-benar sorak panjang. Ada banyak video reaksi Youtube yang bisa dipakai dalam mempelajari reaksi penonton saat menonton episode ini.

3. Harry Potter and the Deathly Hallows (buku)

Neville berusaha menahan laju Voldemort dan disiksa dengan Sorting Hat. Orang lain tak berani melawan Voldemort. Sementara itu, banyak tokoh baik terluka dan gugur. Kemudian centaur menyerang, Neville terbebaskan, dan Harry yang diyakini sudah tewas nongol sebagai Not Quite Dead and mengalahkan Voldemort.


Narasumber:

"Eucatastrophe" oleh Wikipedia.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Eucatastrophe (diakses tanggal 27 Agustus 2019)

"Eucatastrophe: J. R. R. Tolkien and C. S. Lewis's Magic Formula for Hope" oleh Tim Willard. Situs A Pilgrim in Narnia. 21 Desember 2015.
https://apilgriminnarnia.com/2015/12/21/eucatastrophe/ (Diakses tanggal 27 Agustus 2019)

"Game of Thrones: 5 Hidden Bombshells Waiting to Rock the Battle of Winterfell". Artikel oleh Joanna Robinson di situs Vanity Fair.com. 28 April 2019.
https://www.vanityfair.com/hollywood/2019/04/game-of-thrones-melisandre-golden-company-bronn-bran-warg-crypts-secret-tunnels (diakses tanggal 27 Agustus 2019)

"Just A Fool's Hope: J. R. R. Tolkien's Eucatastrophe as the Paradigm of Christian Hope" oleh Margaret Bush di situs Scholar Crossing: Liberty University.
https://www.google.com/url?q=http://digitalcommons.liberty.edu/cgi/viewcontent.cgi%3Farticle%3D1328%26context%3Dhonors&sa=U&ved=2ahUKEwj06t21nqHkAhVBg-YKHdorAbM4ChAWMAB6BAgCEAE&usg=AOvVaw2JbPt9Ckg3fwpy074h5cMA (diakses tanggal 26 Agustus 2019)

KBBI V oleh Badan Pengembangan dan  Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Aplikasi v. 0.2.1 Beta

"Near-Villain Victory aka: Eucatastrophe" di situs TV Tropes.
https://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Main/NearVillainVictory?from=Main.Eucatastrophe (diakses tanggal 28 Agustus 2019)

"Plot Twist". Wikipedia.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Plot_twist (diakses tanggal 2 Agustus 2019)

"Plot Twist in Fiction: Making a Story Standout" oleh Francesca Turauskis. Artikel 15 Februari 2015.
https://the-artifice.com/plot-twists-in-fiction/ (diakses tanggal 2 Agustus 2019)

"The 10 Types of Plot Twists" oleh Chazda Hill. Artikel 8 Februari 2017.
http://greatstorybook.com/10-types-plot-twists/ (diakses tanggal 2 Agustus 2019)

"The Hobbit: Deus Ex Machina and Eucatastrophe" di-upload oleh Kenny di situs SlideServe.com. 27 Juli 2014.
https://www.slideserve.com/kenny/the-hobbit (diakses tanggal 26 Agustus 2019)

"WTHeck is this Narrative Technique Called Eucatastrophe?" oleh Chazda Hill. Ditulis tanggal 7 Maret 2016 di situs Great Story Book.
http://greatstorybook.com/wtheck-narrative-technique-called-eucatastrophe/ (diakses tanggal 28 Agustus 2019)

Game of Throne S8E3 — Antara Perang, Timing, dan Plot




Peringatan: artikel ini mengandung spoiler yang cukup detail.

Sebenarnya saya sudah gatal mau nulis soal Game of Thrones (GoT) dari tayangnya episode pertama musim terakhir (S8E1), tapi pembahasan soal E1 dan E2 bisa ditunda karena menurut saya E3 cukup penting untuk dibahas. Sebagai gambaran umum, musim ke-8 dibuka dengan semua sekutu Stark tiba di Winterfell. Artinya, kita melihat reuni besar, pertemuan banyak tokoh yang dulu sempat berselisih pada satu tempat. Pada E2 reuniannya sedikit memuncak dengan kedatangan Jaime, tapi dengan cepat tema reuni berbaur dengan tema ‘malam terakhir’. Semua tokoh penting melakukan refleksi dan mempersiapkan mental untuk perang. Sesuai prediksi, E3 menjadi episode pertarungan paling berdarah dan terpanjang, selama 1 jam 16 menit menurut hitungan saya.

Ada beberapa poin besar di sini:
- pembagian babak
- plot
- momen emosional
- tempo cerita
dan semuanya yang saling terkait.

Penulis, sutradara dan editor cerita GoT mengakui bahwa E3 tergolong sulit karena peperangan terjadi di beberapa lokasi. Mereka harus memastikan cerita tetap menarik (karena adegan peperangan yang terlalu panjang akan melelahkan penonton), alur tidak melulu perang-mundur-perang-mundur, dan harus ada cerita yang disampaikan. Editor cerita, David Hill, menuturkan bahwa mereka membuat 3 konsentrasi (babak) cerita: pertahanan dinding jebol, para wight merangsek ke dalam, sampai akhirnya mereka menguasai sebagian besar benteng (kastel).

Untuk memudahkan ilustrasinya, saya paparkan pembagian berdasarkan lokasi, tokoh dan kelompok orang pada awal cerita:
- di luar benteng (pasukan Dothraki dan Jorah, Unsullies, wildlings termasuk Tormund, Sam, The Hound, Edd, Beric, Podrick, Gendry, Jamie, dan Brianne),
- menara pengawas (Ser Davos dan Aria),
- di sebuah bukit ada para naga (termasuk Daenerys dan John),
- rubanah (Varys, Misandae, dan Tyrion),
- Godswood (Bran dan Theon), dan
- gerbang (Lyanna Mormont).

Setelah pasukan Dothraki disapu bersih, plot langsung mengalir. Daenerys yang tidak bisa menerima kematian mereka langsung menerbangkan diri bersama naganya. Artinya, dia meninggalkan rencana perang dan ini mengubah semua dinamika cerita. Dari sini, cerita kembali dipecah. Ada adegan perang di luar tembok dan perang di udara (naga).

Situasi semakin memburuk setelah Night King memerintahkan para wight untuk menjadi jembatan agar bisa menyeberangi parit api. Cerita yang tadinya memberi porsi hampir sama pada tiap orang di luar benteng untuk tampil di layar, sekarang berubah fokus menjadi situasi defensif hidup atau mati di dalam benteng. Sansa disuruh turun ke rubanah oleh Arya. Grup Theon mempersiapkan diri. Lyanna menunggu gerbang didobrak. Suasana kaos total. Sampai di titik ini, kita telah menyelesaikan babak pertama.

Miguel Sapochnik, sutradara untuk S8E3, mengatakan mereka membagi cerita jadi tiga genre. Babak pertama merupakan suspensi dan pembangun cerita. Miguel menandaskan bagian ini menggunakan teknik build up cerita monster ketika monsternya belum terlihat. Dalam hal ini, saya lihat segalanya dimulai ketika Dothraki habis dibantai  dalam senyap. Namun, wajah para wight belum terlihat. Hal ini menciptakan ketegangan dan kegelisahan pada wajah tokoh-tokoh lain.

Babak kedua memberi fokus pada Arya hampir 80 persen. Pertempuran di atas dinding terus memaksanya mundur. Di tempat lain The Hound kehilangan nyali dan Beric yang melihat Arya dalam kesulitan segera bertanya pada The Hound apa yang mau ia lakukan. Dari sisi karakter dan lokasi, Arya bergerak turun melewati lorong hingga tiba di perpustakaan. Genre berubah menjadi genre horor, dengan suasana gelap dan senyap, kontras terhadap suasana di luar yang kaos dan berlatar api. Bagian ini paling menegangkan karena hampir sepanjang cerita Arya harus bertahan sendiri. Sedikit banyak, saya malah teringat dengan gim “Resident Evil” dan sejenisnya. Lokasi sempat beralih pada The Hound dan Berick yang mencari Arya. Mereka bertemu di satu titik dan membarikade sebuah ruangan. Di dalamnya ada Melisandre.

Bagian ketiga menjadi genre action. Perang di udara terjadi ketika  Danearys dan John harus melawan naga berapi biru, Viserion, milik Night King. Dany sempat membakar Night King, tetapi gagal. John coba menyerang, alih-alih Night King malah menghidupkan orang-orang yang baru mati untuk mengepung John. Sementara itu, rubanah yang diyakini sebagai tempat teraman menjadi ladang pembantaian karena sihir Night King ikut membangkitkan mumi-mumi leluhur keluarga Stark. Di taman Godswood Theon dan para ironborn mati-matian menjaga Bran sampai tinggal Theon dan Bran yang tersisa hidup. John yang tadinya di luar benteng berhasil masuk. Ia melaju melewati rekan dan tokoh lain yang nyawanya sudah di ujung tanduk. Namun, usahanya pergi ke Godswood terhalang oleh Viserion. Jorah bertahan di luar benteng bersama Dany dan kedua naganya yang terluka. Night King berhadapan dengan Bran. Sebagai puncak dari situasi yang sudah luar biasa genting dan tak tertolong ini, Arya menjadi penyelamat karena sukses membunuh Night King. Wight dan Nightwalker berjatuhan jadi debu.

Kita baru selesai memecah adegan, plot, babak. Namun, buat saya bedah GoT belum kelar di sini.

Jika kita menarik garis yang lebih panjang, sebenarnya episode 3 ini dibagi 5 bagian:
- Pembuka: Sam menuruni tangga dan berpapasan dengan Tyrion, sementara persiapan final untuk perang tengah berlangsung.
- Wight menjebol benteng (genre suspense)
-Arya melawan zombi di perpustakaan (genre horor)
- Semua adegan perang di luar dan di halaman benteng, rubanah, dan Godswood (genre action)
- Penutup: Melisandre menyongsong pagi

Bayangkan, kita membuat grafik. Cerita bergerak naik dengan pelan di bagian pembuka kemudian temponya naik dengan stabil di bagian awal suspense dan meningkat drastis saat pertahanan jebol. Ketegangan bertambah saat masuk ke genre horor, turun sebentar dengan adanya dialog Arya—Melisandre. Begitu masuk ke genre action, tempo dipacu makin cepat sampai momen Arya membunuh Night King. Baru setelah itu tempo turun sampai adegan penutup selesai.

Cooling Down Pendek

Namun, tidak mungkin membuat cerita hanya terus-terusan naik tempo dan tingkat ketegangannya. Penonton butuh cooling down pendek di antara adegan ketika berhadapan dengan suspense tingkat tinggi. Hal ini dilakukan dengan memberi gambar-gambar yang diam atau indah. Contohnya dalam babak ‘genre suspense’ dan ‘genre action’), sesekali gambar hanya memperlihatkan langit biru di atas awan, dengan dua naga mengepakkan sayap seperti kupu-kupu. Adegan seperti ini, meski tidak lebih dari 4 detik, memberi jeda buat penonton untuk mengambil napas sebelum lanjut ke adegan yang menegangkan lagi. Jadi, jika kita kembali lagi pada grafik, ada gelombang naik turun kecil di antara ketegangan.

Cara lainnya adalah dengan memberi drama. Sekali lagi, berpegang pada kata-kata para penulis, sutradara, dan editor cerita: cerita harus tetap disampaikan. Kita harus mengingat bahwa adegan perang minim kata dan biasanya hanya monolog perintah untuk melakukan sesuatu. Jadi, kehadiran dialog yang tenang, membantu penonton untuk merasakan bahwa masih ada sisi manusiawi di tengah perang.

Adegan di dalam rubanah dan Godswood sebenarnya menjadi cooling down dari ketegangan di luar. Tempat-tempat yang sunyi seperti ini membantu sensori penonton untuk rileks.  Isi percakapan antara Tyrion—Sansa dan antara Theon—Bran selain jadi faktor cooling down, juga pembangkit emosi. Tyrion dan Sansa cukup canggung dan berjarak sejak mereka bertemu kembali di S8E1. Untuk pertama kalinya Sansa bisa tersenyum dan memuji Tyrion dalam episode ini. Sementara itu, percakapan Bran dan Theon menjadi titik emosional pamungkas, semacam pengakuan Bran atas loyalitas Theon yang sempat hilang. Intinya, penonton diberi kesempatan untuk bersimpati pada tokoh-tokoh tertentu.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, inilah beberapa hal yang bisa dipelajari dari GoT S8E3 dalam membuat episode perang:
- tempo itu kunci. Mulailah dengan tempo pelan lalu bangun ketegangan.

- ketegangan terjadi karena masalah baru muncul dan tidak bisa diselesaikan. Pastikan selalu berpegang pada prinsip sebab akibat.

- jika cerita dan tokoh terlalu banyak dan kompleks, beri fokus pada individual atau grup tertentu.

- jika sebuah plot sudah mencapai titik puncak, beri sedikit cooling down sebelum ke pindah adegan menegangkan selanjutnya.

- selalu ingat bahwa perang itu kejam, brutal, dan tidak indah.

- selalu ingat, dalam situasi berat, ada drama kemanusiaan.

- beri harapan, baik palsu maupun yang sebenarnya. Dalam GoT saat Dany membakar Night King, Dany berharap Night King mati, tetapi tidak terjadi. Penonton juga berharap John yang menyelamatkan Bran, tetapi harapan ini kandas.

- pada peperangan yang menentukan, pastikan ada tokoh yang mati. Setiap tokoh memiliki tujuan. Jika harus mati dalam perang, buat dia mati.

Selamat menulis.


Narasumber:
“Game of Thrones”. Musim ke-8, episode 3. Produksi HBO. Tayang dan ditonton tanggal 29 April 20019.

“The Game of Thrones—Season 8 Episode 3—Game Revealed” oleh GameofThrones. 29 April 2019. Akses pada tanggal 1 Mei 2019.
https://youtu.be/_3M0Xt97aFI

Game of Thrones: Melihat Perkembangan 3 Tokoh


Sebelum masuk pada tulisan, saya ingatkan bahwa “Game of Thrones” (serial TV) tidak cocok untuk ditonton oleh mereka yang berusia di bawah usia 20 tahun.

“Game of Thrones” sudah mendekati musim terakhir dan menjadi musim penutup setelah tayang dari tahun 2011. Serial yang dikerjakan dengan serius ini berhasil memikat jutaan penonton. Apa resepnya?

a. Cerita
Meski merupakan cerita fantasi, “Game of Thrones” cepat membuat orang larut dalam cerita. Ada tiga tema besar yang diusung: iron throne; white walker; legenda, sejarah, atau mitologi yang melingkupi cerita epos ini.

b. Desain set
Salah satu kekuatan terbesar “Game of Thrones” adalah pengambilan gambar di situs-situs asli dan bukan dalam studio, meski beberapa setting harus dilakukan dengan membangun set. Setiap tata kota juga diperhatikan dengan baik. Kota yang dilingkupi musim dingin tampak berbeda dari kehidupan di kota yang aman. Kota di daerah gurun tampak berbeda dengan kehidupan berbasis laut. Semua direncanakan dengan saksama.

c. Fesyen
Keunggulan lainnya jelas terletak pada fesyen. Sekali lagi, tim desain harus melihat perbedaan kehidupan antara kota yang dingin, kota yang aman, kota padang pasir, hingga kehidupan nomaden. Hampir semua pakaian tokoh utama (dan pakaian ningrat) berkualitas jahit tangan dengan tingkat kerumitan tinggi. Ini belum termasuk tata rambut dan aksesoris seperti bros dan kalung.

Namun, cukupkah itu untuk menjadikan cerita yang solid? Jelas tidak. Kita harus kembali pada karakter. Kisah dalam “Game of Thrones” bisa terjadi di bumi, di semesta lain, di masa depan, bahkan di dalam laut. Namun, tanpa tokoh-tokoh yang kuat, cerita ini tidak akan berhasil.

Satu hal yang saya lihat menarik adalah perkembangan para tokohnya. Beberapa tokoh yang menurut saya menyebalkan dan ‘bikin susah’ seperti Sansa, ternyata memiliki perkembangan cukup baik sehingga perbedaannya cukup jelas antara musim pertama dengan musim ketujuh. Jon Snow dan Daenerys Targaryen juga mengalami perubahan yang cukup signifikan.


Pembahasan selanjutnya mengandung bocoran (spoiler).

Salah satu tokoh yang dulu bikin saya jengkel memang Sansa. Dia ini tipikal cewek ningrat yang benar-benar fokus untuk jadi ratu. Sayangnya karena ngotot banget mau jadi istrinya Joffrey, Sansa berpartisipasi dalam mempercepat kematian Ned Stark, ayahnya, meski sebenarnya Sansa mati-matian berusaha menyelamatkan ayahnya juga. Faktor usia dan berada di kandang musuh membuat gadis ini mudah disetir dan dikelabui. Namun, beberapa kejadian selama dalam ‘sekapan’ King’s Landing membuatnya lebih serius. Wajah mudanya yang polos sudah menghilang. Ada ketakutan di sana, terutama pada Joffrey, juga kemurungan setelah ayahnya mati dan adiknya hilang. Setelah kematian Joffrey dan dibawa Littlefinger ke luar, Sansa perlahan mulai lebih kuat. Sekali lagi, hidupnya dihancurkan oleh Ramsay Gordon. Ini yang terburuk. Namun, dia dengan cepat bangkit, menjadi lebih dingin, lebih waspada, dan pelan-pelan memperlihatkan kualitasnya sebagai pemimpin. Dalam musim ke-7 penayangan, dia dipercaya Jon Snow untuk mengurus Winterfell selama Jon pergi.

Jon, si anak haram, meski menjadi bagian keluarga Stark, tetap terasing. Ia tidak pernah tahu sejarah ibunya. Catelyn, istri Ned, benci pada dirinya. Ketika pergi menjadi anggota Night’s Watch, Jon tidak dianggap. Setelah jati dirinya sebagai anak haram keluarga Stark terbuka, barulah tantangan datang. Kehidupannya di ujung perbatasan membuat Jon belajar banyak soal kepemimpinan. Di sisi lain, ia menjadi pengkhianat dengan bergabung bersama kaum wildlings. Namun, ia masih memiliki moral dan sering berbenturan di antara idealisme dan kenyataan. Ketika kembali ke Winterfell, ia jelas berselisih dengan Sansa. Sansa lebih keras mendorong Jon untuk melakukan apa yang penting, sementara Jon merasa tidak pantas memimpin klan Stark. Ujian sebenarnya terjadi ketika Jon diminta Daenerys untuk berlutut dan mengakui dirinya sebagai pemimpin.

Daenarys anak yang terbuang. Bersama kakaknya, Viserys, hidup di pengasingan. Namun, Viserys hanya memanfaatkan Daenarys untuk merebut kembali tahta keluarga. Di awal musim pertama, jelas sekali Daenarys takut pada kakaknya dan hidup tanpa pilihan. Pernikahannya dengan Khal Drogo diisi ketakutan dan terhalang bahasa. Namun, setelah penghalang itu berhasil dibuka, muncul masalah lain. Setelah suaminya mati, ia menjadi ratu dan harus membawa kaumnya ke tempat aman. Kita bisa melihat Daenerys berkembang sejak musim kedua. Pada musim ke-7 Daenerys telah membuat dirinya dikenal dan siap menyerang. Pada satu sisi dia pemimpin yang asih, tetapi dia juga cukup kejam di dalam dunia peperangan.


Dari sini kita bisa melihat bahwa
- ketiga tokoh ini sedari awal tidak dibuat sempurna.

- masing-masing menghadapi masalah dan harus bisa mengatasinya. Efek dari menyelesaikan masalah itu (baik gagal maupun berhasil) akan memberi perkembangan karakter.

- mereka tidak hanya menghadapi satu masalah. Umumnya dalam satu waktu ada dua masalah yang harus diselesaikan dan ketika satu atau keduanya teratasi, muncul masalah lain.

- masalah tertentu membuat mereka jatuh dalam emosi yang terguncang. Namun, tidak membuat mereka berhenti. Ketiga tokoh ini berjuang untuk dua hal: hidup dan idealisme atau keinginannya.

- ketiganya tidak suci kejahatan. Masing-masing harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani, idealisme, atau moral yang dianut.

- ketiganya mengalami situasi yang sangat buruk atau traumatis. Sansa melihat Ned dipenggal. Jon melihat cinta pertamanya mati terpanah. Daenerys melihat suaminya mati suri dan kehilangan bayi.

Jadi, membuat perkembangan tokoh sangat tergantung latar belakang, apa yang kemudian dihadapi si tokoh, dan bagaimana dia menyelesaikan problem.

Dalam cerita yang lebih ringan seperti cerita percintaan semata, sungguh membosankan jika masalah hanya terbatas pada usaha si tokoh utama untuk memacari si gadis terkenal. Beberapa penghalang bisa dipasang, mulai dari orang tua, mantan pacar, selingkuhan, masalah di kantor, hingga adat di daerah itu. Jika karakter si tokoh playboy kantor yang hedonis, bagaimana semua permasalahan yang timbul mengubah perilaku atau filosofinya?

Di sinilah Anda ditantang untuk berpikir, menempatkan diri sebagai si tokoh. Kita kembali pada Daenerys. Ia keguguran dan insting keibuan tetap ada dalam dirinya (perkembangan pertama). Dalam perjalanan, ia melihat bagaimana budak diperlakukan. Ini membangkitkan sense of justice (perkembangan kedua). Kita ingat bagaimana Viserys memperlakukan dirinya begitu buruk. Perkembangan ini masih berkaitan dengan insting keibuan yang ingin melindungi. Memiliki naga jelas memberi kepercayaan diri yang lebih baik (perkembangan ketiga). Ini menjadi modal dirinya sebagai pemimpin.

George R. R. Martin memang bukan perempuan. Tim penulis Game of Thrones juga kebanyakan diisi pria. Namun, mereka berpikir panjang dan menempatkan sebab akibat sebagai acuan perkembangan karakter. Jika para penulis ini tidak bisa menempatkan diri mereka pada posisi Daenerys, Jon, Sansa, atau tokoh lainnya, tidak mungkin perkembangan karakter mereka terasa alami dan masuk akal.

Poin pentingnya, penulis harus membuat biodata tokoh yang meyakinkan dan manusiawi sehingga ketika berbenturan dengan masalah, reaksi tokoh terasa wajar dan membawa tokoh pada perkembangan diri.


Selamat menulis!

Pencarian Artikel

Entri yang Diunggulkan

Samurai Seven: Siapa Pemenang Sebenarnya

Inilah salah satu cerita terbaik yang pernah saya tonton. Baik versi asli maupun anime sangat menarik. Seven Samurai (1954) memiliki be...

Artikel Terpopuler Minggu Ini