
Sebelum masuk pada tulisan, saya ingatkan bahwa “Game of Thrones” (serial TV) tidak cocok untuk ditonton oleh mereka yang berusia di bawah usia 20 tahun.
“Game of Thrones” sudah mendekati musim terakhir dan menjadi musim penutup setelah tayang dari tahun 2011. Serial yang dikerjakan dengan serius ini berhasil memikat jutaan penonton. Apa resepnya?
a. Cerita
Meski merupakan cerita fantasi, “Game of Thrones” cepat membuat orang larut dalam cerita. Ada tiga tema besar yang diusung: iron throne; white walker; legenda, sejarah, atau mitologi yang melingkupi cerita epos ini.
b. Desain set
Salah satu kekuatan terbesar “Game of Thrones” adalah pengambilan gambar di situs-situs asli dan bukan dalam studio, meski beberapa setting harus dilakukan dengan membangun set. Setiap tata kota juga diperhatikan dengan baik. Kota yang dilingkupi musim dingin tampak berbeda dari kehidupan di kota yang aman. Kota di daerah gurun tampak berbeda dengan kehidupan berbasis laut. Semua direncanakan dengan saksama.
c. Fesyen
Keunggulan lainnya jelas terletak pada fesyen. Sekali lagi, tim desain harus melihat perbedaan kehidupan antara kota yang dingin, kota yang aman, kota padang pasir, hingga kehidupan nomaden. Hampir semua pakaian tokoh utama (dan pakaian ningrat) berkualitas jahit tangan dengan tingkat kerumitan tinggi. Ini belum termasuk tata rambut dan aksesoris seperti bros dan kalung.
Namun, cukupkah itu untuk menjadikan cerita yang solid? Jelas tidak. Kita harus kembali pada karakter. Kisah dalam “Game of Thrones” bisa terjadi di bumi, di semesta lain, di masa depan, bahkan di dalam laut. Namun, tanpa tokoh-tokoh yang kuat, cerita ini tidak akan berhasil.
Satu hal yang saya lihat menarik adalah perkembangan para tokohnya. Beberapa tokoh yang menurut saya menyebalkan dan ‘bikin susah’ seperti Sansa, ternyata memiliki perkembangan cukup baik sehingga perbedaannya cukup jelas antara musim pertama dengan musim ketujuh. Jon Snow dan Daenerys Targaryen juga mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Pembahasan selanjutnya mengandung bocoran (spoiler).
Salah satu tokoh yang dulu bikin saya jengkel memang Sansa. Dia ini tipikal cewek ningrat yang benar-benar fokus untuk jadi ratu. Sayangnya karena ngotot banget mau jadi istrinya Joffrey, Sansa berpartisipasi dalam mempercepat kematian Ned Stark, ayahnya, meski sebenarnya Sansa mati-matian berusaha menyelamatkan ayahnya juga. Faktor usia dan berada di kandang musuh membuat gadis ini mudah disetir dan dikelabui. Namun, beberapa kejadian selama dalam ‘sekapan’ King’s Landing membuatnya lebih serius. Wajah mudanya yang polos sudah menghilang. Ada ketakutan di sana, terutama pada Joffrey, juga kemurungan setelah ayahnya mati dan adiknya hilang. Setelah kematian Joffrey dan dibawa Littlefinger ke luar, Sansa perlahan mulai lebih kuat. Sekali lagi, hidupnya dihancurkan oleh Ramsay Gordon. Ini yang terburuk. Namun, dia dengan cepat bangkit, menjadi lebih dingin, lebih waspada, dan pelan-pelan memperlihatkan kualitasnya sebagai pemimpin. Dalam musim ke-7 penayangan, dia dipercaya Jon Snow untuk mengurus Winterfell selama Jon pergi.
Jon, si anak haram, meski menjadi bagian keluarga Stark, tetap terasing. Ia tidak pernah tahu sejarah ibunya. Catelyn, istri Ned, benci pada dirinya. Ketika pergi menjadi anggota Night’s Watch, Jon tidak dianggap. Setelah jati dirinya sebagai anak haram keluarga Stark terbuka, barulah tantangan datang. Kehidupannya di ujung perbatasan membuat Jon belajar banyak soal kepemimpinan. Di sisi lain, ia menjadi pengkhianat dengan bergabung bersama kaum wildlings. Namun, ia masih memiliki moral dan sering berbenturan di antara idealisme dan kenyataan. Ketika kembali ke Winterfell, ia jelas berselisih dengan Sansa. Sansa lebih keras mendorong Jon untuk melakukan apa yang penting, sementara Jon merasa tidak pantas memimpin klan Stark. Ujian sebenarnya terjadi ketika Jon diminta Daenerys untuk berlutut dan mengakui dirinya sebagai pemimpin.
Daenarys anak yang terbuang. Bersama kakaknya, Viserys, hidup di pengasingan. Namun, Viserys hanya memanfaatkan Daenarys untuk merebut kembali tahta keluarga. Di awal musim pertama, jelas sekali Daenarys takut pada kakaknya dan hidup tanpa pilihan. Pernikahannya dengan Khal Drogo diisi ketakutan dan terhalang bahasa. Namun, setelah penghalang itu berhasil dibuka, muncul masalah lain. Setelah suaminya mati, ia menjadi ratu dan harus membawa kaumnya ke tempat aman. Kita bisa melihat Daenerys berkembang sejak musim kedua. Pada musim ke-7 Daenerys telah membuat dirinya dikenal dan siap menyerang. Pada satu sisi dia pemimpin yang asih, tetapi dia juga cukup kejam di dalam dunia peperangan.
Dari sini kita bisa melihat bahwa
- ketiga tokoh ini sedari awal tidak dibuat sempurna.
- masing-masing menghadapi masalah dan harus bisa mengatasinya. Efek dari menyelesaikan masalah itu (baik gagal maupun berhasil) akan memberi perkembangan karakter.
- mereka tidak hanya menghadapi satu masalah. Umumnya dalam satu waktu ada dua masalah yang harus diselesaikan dan ketika satu atau keduanya teratasi, muncul masalah lain.
- masalah tertentu membuat mereka jatuh dalam emosi yang terguncang. Namun, tidak membuat mereka berhenti. Ketiga tokoh ini berjuang untuk dua hal: hidup dan idealisme atau keinginannya.
- ketiganya tidak suci kejahatan. Masing-masing harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani, idealisme, atau moral yang dianut.
- ketiganya mengalami situasi yang sangat buruk atau traumatis. Sansa melihat Ned dipenggal. Jon melihat cinta pertamanya mati terpanah. Daenerys melihat suaminya mati suri dan kehilangan bayi.
Jadi, membuat perkembangan tokoh sangat tergantung latar belakang, apa yang kemudian dihadapi si tokoh, dan bagaimana dia menyelesaikan problem.
Dalam cerita yang lebih ringan seperti cerita percintaan semata, sungguh membosankan jika masalah hanya terbatas pada usaha si tokoh utama untuk memacari si gadis terkenal. Beberapa penghalang bisa dipasang, mulai dari orang tua, mantan pacar, selingkuhan, masalah di kantor, hingga adat di daerah itu. Jika karakter si tokoh playboy kantor yang hedonis, bagaimana semua permasalahan yang timbul mengubah perilaku atau filosofinya?
Di sinilah Anda ditantang untuk berpikir, menempatkan diri sebagai si tokoh. Kita kembali pada Daenerys. Ia keguguran dan insting keibuan tetap ada dalam dirinya (perkembangan pertama). Dalam perjalanan, ia melihat bagaimana budak diperlakukan. Ini membangkitkan sense of justice (perkembangan kedua). Kita ingat bagaimana Viserys memperlakukan dirinya begitu buruk. Perkembangan ini masih berkaitan dengan insting keibuan yang ingin melindungi. Memiliki naga jelas memberi kepercayaan diri yang lebih baik (perkembangan ketiga). Ini menjadi modal dirinya sebagai pemimpin.
George R. R. Martin memang bukan perempuan. Tim penulis Game of Thrones juga kebanyakan diisi pria. Namun, mereka berpikir panjang dan menempatkan sebab akibat sebagai acuan perkembangan karakter. Jika para penulis ini tidak bisa menempatkan diri mereka pada posisi Daenerys, Jon, Sansa, atau tokoh lainnya, tidak mungkin perkembangan karakter mereka terasa alami dan masuk akal.
Poin pentingnya, penulis harus membuat biodata tokoh yang meyakinkan dan manusiawi sehingga ketika berbenturan dengan masalah, reaksi tokoh terasa wajar dan membawa tokoh pada perkembangan diri.
Selamat menulis!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar