Tampilkan postingan dengan label Eka Kurniawan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Eka Kurniawan. Tampilkan semua postingan

Cantik Itu Luka (2)


Sambungan dari artikel sebelumnya, novel besutan Eka Kurniawan ini cukup menarik. Kali ini yang dibahas lebih ke permasalahan teknis, ya.

Catatan: mengandung spoiler.

1. Sudut Pandang
Eka memakai sudut pandang orang ketiga. Ini jelas memberi keleluasaan untuk menceritakan semua tokoh yang penting dan cocok dengan teknik penceritaan sejarah. Seringkali dalam beberapa bab Eka mewakili satu tokoh lalu beralih ke tokoh lain pada beberapa bab. Misalnya bab tentang Dewi Ayu memakan 4 bab, kemudian beralih pada tokoh Maman Gendeng sekian bab, sebelum beralih pada tokoh lain lagi.

2. Pembuka
Kalimat pertama novel ini dimulai dengan narasi:
Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian.

Frasa keterangan waktu (Sore hari di akhir pekan bulan Maret) mengecoh pembaca

yang mengira frasa dan kalimat-kalimat lanjutannya berupa narasi tempat. Nyatanya, kalimat pertama memiliki poin penting dan tanpa basa-basi: Dewi Ayu bangkit dari kematian. Kalimat ini menjadi kunci dari keseluruhan cerita.

3. Plot/alur
Plot di awal cerita dibuat maju: bagaimana Dewi Ayu bangkit, pulang, dan bertemu Cantik. Ada sejumlah kilas balik tentang bagaimana Cantik ternyata luar biasa buruk rupa dan bagaimana ia menjalani hidup. Kemudiab cerita masuk ke topik penting pada 'saat ini', yaitu perkara siapa dan bagaimana Cantik hamil. Setelah itu cerita mundur dan bergerak perlahan dari masa kecil Dewi Ayu, masa remaja, kedatangan Maman Gendeng, Shodancho, dan Kamerad, terus sampai cerita cucu-cucu sebelum kembali ke masa kini dan menyelesaikan persoalan kehamilan Cantik.

Jalan ceritanya sendiri cukup kompleks karena Eka membawa kita masuk pada setiap tokoh yang penting dalam cerita. Meski dibagi dalam bab, pembaca dengan cepat tahu siapa yang jadi tokoh sentral dalam bab tersebut.

4. Monolog dan Dialog
Saya pikir monolog Kamerad saat koran tidak datang adalah kutipan paling menarik. Mungkin karena diucapkan berulang-ulang, sebagai pembaca saya akhirnya 'ikut' habis kesabaran dengan ucapannya yang selalu sama. Namun, saya pikir, di sini kekuatannya. Eka membuat pembaca terlibat langsung secara emosional.

5. Penutup
Penutup dalam Cantik Itu Luka benar-benar beda temponya dibanding awal dan tengah cerita. Meski tidak panjang, semua masalah, mulai dari soal hantu hingga siapa yang menghamili Cantik, dikuak di sini seperti bombardir. Satu hal yang penting, semua masalah yang ditanam di bab-bab awal, semua terjawab di sini.

Di luar hal teknis, saya pikir Cantik Itu Luka merupakan sebuah tragedi yang tidak berusaha mencari simpati. Ia seolah-olah sebuah cerita objektif yang bersandar pada sejarah. Jarang ada fiksi sejarah yang berani mengambil tokoh-tokoh nyata dilibatkan dalam cerita misalnya saat cerita diset pada tahun 1960-an.

Kesadisan yang terjadi seperti pemerkosaan, pelayanan seks tentara Jepang, pembunuhan massal tahun '65, atau sekadar tawuran antara preman dan polisi, semua ditulis tanpa berusaha menjadikannya terlihat epik. Sebaliknya, terkesan banal dan cukup menjijikkan.

Di luar semua kelebihannya, secara kebahasaan, Eka tidak terlalu mengikuti tata bahasa yang benar atau editor membiarkan cerita itu apa adanya? Entahlah.

Saya pikir, kekuatan narasi memang senjata dalam cerita ini dan tingkat kesulitan menulisnya membuat cerita ini memang layak dibaca Oprah.

Cantik Itu Luka (1)


Sudah baca Cantik Itu Luka (Eka Kurniawan)? Saya akan bahas buku ini, sedikit, dengan mengaitkannya pada genre magical realism yang saya bahas beberapa hari silam. Saya ingatkan bahwa novel ini mengandung banyak adegan kekerasan seksual. Untuk yang berusia bawah 20 tahun, tidak perlu membaca tulisan saya maupun novelnya (jarang-jarang terbit ulang). Untuk yang cukup umur dan belum baca, pembahasan di bawah mengandung spoiler.

Magical realisme memiliki ciri kunci:
- merupakan sastra serius
- di dalamnya ada hal yang magis (bisa supranatural atau makhluk fantasi), tetapi menjadi bagian dari normal atau biasa saja. Kebalikannya, hal yang normal menjadi luar biasa atau ajaib atau aneh.
- mengikuti pakem aslinya, genre ini berisi kritik sosial atau politik.

Cantik Itu Luka pada testimoni yang ditulis di sampulnya, dianggap oleh satu orang sebagai surealisme dan satunya lagi menyatakannya sebagai magical realism. Jadi, di mana posisi buku ini sebenarnya?

Sebelum masuk ke sana, saya ringkaskan dulu cerita Cantik Itu Luka:
Dewi Ayu sudah lama mati, mendadak bangkit dari kubur dan pulang ke rumah. Di sana, pembantunya yang setia masih hidup dan anaknya yang keempat, Cantik, sudah besar. Sewaktu hamil Dewi Ayu berharap anaknya yang bungsu ini lahir seburuk-buruknya rupa agar nasibnya tidak seperti dirinya atau kakak-kakaknya. Cantik pun lahir dengan tampilan fisik mengerikan dan ditakuti. Sewaktu lahir, Dewi Ayu tidak pernah mau melihat dirinya dan tidak tahu anak itu luar biasa jelek. Sekian hari setelah melahirkan, sesuai dengan ramalannya sendiri, Dewi Ayu sang pelacur nomor satu itupun meninggal.
Setelah bangkit dari kematian, suatu hari ia mendengar suara-suara aneh dari kamar Cantik dan kemudian mengetahui anak itu hamil. Cantik mengklaim yang menghamilinya seorang pria. Namun, baik Dewi Ayu maupun pembantunya pernah melihat adanya pria di kamar itu.

Cerita kemudian ditarik mundur ketika zaman kolonial. Dewi Ayu yang tinggal sendiri setelah keluarganya (kakek-nenek) tewas dalam usaha melarikan diri dari kedatangan Jepang, memutuskan untuk paksa menikah dengan pria tua. Pria itu kemudian bunuh diri.
Dalam pendudukan Jepang Dewi Ayu akhirnya dijadikan pelayan seks prajurit sampai akhirnya ia hamil. Setelah Jepang pergi, Dewi Ayu kembali ke rumahnya. Ia tetap jadi pelacur dan kemudian memiliki 2 lagi anak. Cerita kemudian beralih pada kehidupan cinta anak-anaknya dan pria-pria yang mendekati mereka, sampai mereka punya anak dan bagaimana cucu-cucu Dewi Ayu itu menjadi penutup tragedi yang berjalan dari tahun masa kolonial hingga tahun 1997.

Setelah saya baca sampai habis, saya cenderung setuju dengan pendapat kedua yang menganggap cerita ini masuk genre magical realism meski ada sedikit kegamangan. Alasan saya:
A. jelas buku ini masuk sastra serius berdasarkan topik yang dibahas (sejarah, makhluk halus, seksualitas, perkosaan)

B. jelas ada hal yang 'magis':
- Tokoh 'Cantik' lahir sesuai harapan ibunya: jelek setengah mati,
- Ibu (Dewi Ayu) yang sudah mati sekian tahun, hidup kembali,
- Adanya 'hantu komunis', 'hantu jepang', jailangkung, babi ngepet, dll,
- Hamil 'angin'

  Yang sedikit mengganggu saya, masyarakat sekitar menganggap kematian dan bangkitnya si Dewi Ayu sebagai sesuatu yang ajaib. Namun, orang-orang di sekitar Dewi Ayu seperti pembantunya dan si Cantik tidak menganggap kejadian itu ajaib. Dengan kenyataan masih ada yang menganggap keanehan itu biasa saja, saya putuskan untuk memasukkannya ke genre magical realism.

C. ada kritik sosial dan politik. Sejarah perang kemerdekaan, masa pendudukan Jepang, naiknya partai komunis dan pembunuhan massal, dari sisi politik. Dari sisi sosial, persoalan jugun ianfu, pelacuran, premanisme, perempuan dan seksualitas, superioritas pria; menjadi tema sentral buku ini.

Semuanya cocok dengan ciri magical realism. Meski sepertinya tidak serumit 100 Years of Solitude (Gabriel Marcia Marquez), Cantik Itu Luka juga mengambil rentang cerita cukup panjang, dengan 5 generasi (jika dihitung dari kakeknya Dewi Ayu) dari sebuah keluarga. Mungkin perbedaan besarnya terletak pada topik penguasaan tubuh perempuan sebagai tema utama Cantik Itu Luka.

Pembicaraan tentang teknis penulisan Cantik Itu Luka akan saya bahas pada artikel terpisah. Buku ini buat saya termasuk game changer setelah Saman. Pertanyaannya, kalian berani atau tidak, membuat cerita dengan kompleksitas seperti ini?

Catatan: pembahasan lengkap magical realism ada di sini

Pencarian Artikel

Entri yang Diunggulkan

Samurai Seven: Siapa Pemenang Sebenarnya

Inilah salah satu cerita terbaik yang pernah saya tonton. Baik versi asli maupun anime sangat menarik. Seven Samurai (1954) memiliki be...

Artikel Terpopuler Minggu Ini