Sucker Punch dan Stratosphere Girl: Underrated Film tentang Imajinasi

Saya heran, film keren kayak “Sucker Punch” gak 'lolos' pujian kritikus. Meski kelihatan seperti film action, sebenarnya film ini lumayan dalam dan perlu mikir ekstra. Jadi, untuk kategori film berbasis pahlawan, memang film berat. Toh, sudah diimbangi dengan kualitas FX yang keren. Jadi, seharusnya, film ini bisa diterima penikmat film  mainstream. Setidaknya, yang gak kuat mikir berat masih bisa enjoy; yang menikmati seni dan filsafat juga terlayani.

Kalau kita lihat plotnya, ada beberapa plot di sini. Secara garis besar diceritakan oleh Baby Doll yang imut. Satu lagi dari sisi Sweet Pea. Kedua tokoh memiliki masa lalu yang cukup kelam yang cukup berpengaruh pada psikologi mereka. Ceritanya sendiri berputar pada usaha mereka (bersama dua tokoh lain) melarikan diri.

Lari dari apa?

Nah, di sini letak menariknya. Karena kita sudah bicara soal teks, subteks, dan konteks, seharusnya lebih mudah bagi kita untuk melihat benang merah cerita. Seingat saya cerita ini diset tahun ‘60-an. Di masa itu, hak-hak dan fungsi perempuan belum sepenuhnya seperti sekarang. Jadi, perempuan sebagai superheroine, jelas tidak sesuai konteks masa tersebut.

Sebagai lapisan-lapisan latar belakang dan masalah psikologi, “Sucker Punch” mewakili kisah perempuan sebagai objek, entah objek fantasi atau objek seksual. Tarian Baby Doll yang konon seksi (selalu hanya ditunjukkan sedikit dan langsung ke adegan pertempuran), dianggap sebagai penolong untuk membuat para lelaki terlena. Namun, mengapa langsung masuk ke adegan action? Apa kaitan menari dengan kisah pertempuran epik, dari melawan samurai segede Gaban sampai nuansa peperangan ala PD II? Apakah tarian merupakan perang terhadap fantasi lelaki? Apakah ini merupakan mekanisme Sweet Pea untuk bertahan hidup dengan menciptakan imajinasi?

Apakah ini merupakan subteks? Saya yakin, ya.

Ending “Sucker Punch” tidak terlalu definitif. Artinya, bisa dibilang sebagai sebuah open ending, akhir terbuka yang bebas diinterpretasi oleh penonton. Apakah Sweet Pea berhasil keluar dari rumah sakit jiwa atau apakah itu sekadar kebebasan imajinatif? Jika kita kaitkan dengan pembuka cerita yang seolah-olah kita menonton sebuah pertunjukan panggung (adegan tirai dibuka), ini sebuah petunjuk subteks yang cukup penting. Bukan cuma subteks, film ini juga banyak meletakkan simbol-simbol untuk dipecahkan.

Menonton “Sucker Punch”, saya rasa, tidak cukup satu kali. Film ini sebenarnya semakin bisa dinikmati setelah ditonton lebih dari sekali. Mungkin yang pertama untuk menikmati gambar dan kali selanjutnya untuk memahami cerita.

Sekarang, bandingkan “Sucker Punch” dengan “Stratosphere Girl” (sinopsis bisa dibaca pada tautan yang saya tulis di akhir artikel). Film yang jauh lebih lawas ini juga mengangkat tema hampir sama. Tokoh utama pergi ke Jepang, jadi hostess, dan menyelidiki sebuah kasus pembunuhan. Benang merahnya terletak pada kesamaan atas tidak jelasnya batas imajinasi dan pemanfaatan perempuan sebagai objek. Pada “Stratosphere Girl” penonton juga bisa menginterpretasi akhir cerita dengan bebas. Apakah ini cerita sungguhan, khayalan si tokoh yang memang artis manga, atau campuran?

Kembali ke pernyataan awal saya, mengapa kritikus tidak terlalu mengapresiasi film “Sucker Punch”? Mungkin karena selera dan ekspektasi kita terhadapan tontonan superhero terlalu mainstream. Hanya ada sedikit cerita heroisme yang dalam dari sisi psikologi. Kebanyakan hanya cerita permukaan, cepat, dan mudah dipahami oleh berbagai tingkat usia dan pendidikan.

Lalu apa pentingnya dua film ini? Saya pikir keduanya hanya sedikit dari contoh film sarat konteks dan subteks. Di luar kedua film ini, saya rasa film “AmeliĆ©” (Perancis) dan “Millennium Actress” (animasi Jepang) memperlihatkan bagaimana leburnya fantasi dan kenyataan dalam bentuk cerita dan visual sebagai kesatuan subteks dan konteks.

Ada satu hal menarik yang saya pelajari dari dua artikel yang saya sertakan baik “Sucker Punch” dan “Stratosphere Girl”. Ada dialog atau monolog tokoh tertentu yang menjadi kunci untuk menjawab apakah segalanya hanya khayalan atau tidak. Untuk yang ini, Anda harus mengakses kedua tautan yang saya sertakan di akhir tulisan.


Jadi, apa saja yang bisa kita pelajari dari film-film ini?

- Bagaimana menceritakan imajinasi yang lebur dengan khayalan,

- bagaimana konteks penting untuk memahami jenis cerita psikologi,

- pentingnya pemahaman penulis (skenario) mengenai filsafat (misalnya feminisme, eskapisme, dan kapitalisme) dan psikologi untuk bisa menciptakan hubungan sebab akibat yang kuat antara tokoh dan latar belakang mereka.

- cerita yang berat tidak berarti tak menghibur. Targetkan penonton Anda. Segmentasi seringkali lebih baik. Banyak film yang tidak laku secara komersial, tetapi dihargai di kemudian hari. “Sucker Punch” bukan box office dan tidak panen pujian. Namun, ke belakang sepertinya banyak yang menghormati film ini.

Selamat menulis.

Data Sucker Punch

Sutradara: Zack Snyder
Naskah: Zack Snyder, Steve Shibuya
Pemeran: Emily Browning, Abbie Cornish, Jena Malone, Vanessa Hudgens, Jamie Chung, Carla Gugino, Oscar Isaac, Jon Hamm, Scott Glenn
Rilis: 25 Maret 2011
Negara pembuat: Amerika Serikat, Kanada

Data Stratosphere Girl

Sutradara: Matthias X Oberg
Naskah: M. X. Oberg
Pemeran: Chloe Winkel, Jon Yang, Rebecca R Palmer, Tuva Novotny, Tara Elders, Linda Steinhoff, Filip Peeters, Togo Igawa
Rilis: 9 September 2004
Negara pembuat: Jerman dan regional Eropa

Narasumber

Untuk memahami lebih dalam soal “Stratosphere Girl”, silakan baca artikel ini (dengan judul sama, ditulis oleh Fatchur Rochim) yang saya akses tanggal 2 April 2019: https://m.kapanlagi.com/film/insight-hollywood/stratosphere-girl.html

Dan untuk lebih mendalami soal “Sucker Punch”, silakan lihat video komentar “You Don’t Understand Sucker Punch” oleh ASCseries yang saya akses tanggal 31 Maret 2019: https://youtu.be/qQm1rBqh53Y

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pencarian Artikel

Entri yang Diunggulkan

Samurai Seven: Siapa Pemenang Sebenarnya

Inilah salah satu cerita terbaik yang pernah saya tonton. Baik versi asli maupun anime sangat menarik. Seven Samurai (1954) memiliki be...

Artikel Terpopuler Minggu Ini