
Kemampuan berbahasa adalah kunci untuk bisa menyampaikan ide dengan baik. Tanpa adanya ini, seberapa baik pun suatu ide yang kita punyai, niscaya sulit untuk menyebarkannya.
Penggalan paragraf di atas adalah jawaban Ivan Lanin ketika ditanya mengapa ia tertarik kepada bahasa Indonesia di dalam bukunya Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?. Alasan ini sama persis dengan alasan kenapa saya ngotot pengarang harus bisa berbahasa yang baik dan benar. Sehebat apa pun idenya kalau tidak bisa mengungkapkannya lewat tulisan, ide itu tidak akan tersampaikan. Mulai dari yang doyan menyingkat kata (misalnya mengganti ‘-nya’ dengan huruf x yang sering saya baca sebagai ‘kali’); kalimat yang luar biasa panjang, tetapi tidak jelas intinya apa; bahasa campur aduk dalam satu kalimat; termasuk yang suka menulis dialog dalam format penulisan drama, semua ini bisa merusak ide jika dibiarkan.
Kembali ke buku Ivan Lanin, sebelum bicara lebih jauh, mungkin ada yang bertanya, xenoglosofilia itu artinya apa. Cukup menarik, kata ini belum masuk KBBI V 0.2.1 Beta yang saya unduh sekitar bulan April. Namun, kata negrofilia telah ada. Buat yang pernah baca ulasan saya tentang film “Get Out”, mungkin sempat terpapar dengan ide ‘ketertarikan pada orang kulit hitam’. Negrofilia sendiri memang sebuah istilah yang artinya ketertarikan berlebihan kepada orang kulit hitam. Sementara itu, xenoglosofilia berasal dari kata xeno (asing) dan glosso (bahasa). Keduanya adalah bahasa Yunani. Jadi xenoglosofilia bisa kita artikan sebagai ketertarikan berlebihan kepada bahasa asing.
Dari segi isi, karya Ivan Lanin ini memang banyak membahas kata-kata asing yang
biasa dipakai dalam percakapan atau tulisan orang Indonesia. Banyak yang sudah ada padanannya. Namun, tak sedikit yang perlu segera dimasukkan ke dalam KBBI. Beberapa kata yang sering dipakai misalnya meeting (menjadi miting) dan schedule (menjadi skedul) yang sebenarnya bisa ditulis jadi rapat dan jadwal. Di sisi lain kita butuh padanan untuk kata seperti hashtag, E-mail, gadget, dan widget.
Dalam ulasannya yang lain, Ivan Lanin menggali akar sebuah kata. Misalnya asal kata kepo. Untuk kata praktik, mengapa penulisan yang benar adalah <praktik dan bukan praktek? Dari mana kata praktik itu berasal? Dengan mengetahui akar kata, dari mana sebuah kata berasal, kita bisa segera paham penulisan yang benar seperti apa. Soalnya, kaidah penulisan serapan sudah diatur dalam PUEBI. Buku ini juga memuat beberapa aturan dasar menulis seperti kata depan di dan ke, pembentukan imbuhan, bentuk kata ulang, dan lain-lain.
Buku seperti ini layak kita miliki. Menjadi pengarang bukan hanya mengurus plot dan nama tokoh. Sering dalam narasi kita bisa bicara tentang kata. Coba baca lagi ulasan saya tentang The Handmaid's Tale. Pada subbab terakhir saya membahas akar sebuah kata.
Kita sering hanya menganggap lalu bahasa Indonesia karena ia adalah bahasa sehari-hari. Kita merasa sudah bisa. Saya pernah terjerembab, malu, dan akhirnya menghabiskan waktu untuk belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar. Proses yang sama ternyata dilalui Ivan Lanin.
Kita boleh menganggap bahasa lain keren. Namun, mengapa kita harus mengasingkan bahasa kita sementara kita mengarang pakai bahasa Indonesia? Mengapa kita harus kelihatan minder? Sekali lagi, kalau kita mengagungkan bahasa lain, mengapa masih menulis dalam bahasa kita?
Data Buku
Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?Pengarang: Ivan Lanin
Tebal: 214 halaman
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Cetakan pertama tahun 2018.
Narasumber: -KBBI V versi 0.2.1 Beta -Xenoglossophobia. Diakses tanggal 21 Mei 2019.
http://common-phobias.com/xenoglosso/phobia.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar