
Cerita tidak butuh logika. Katanya. Saya pun terpekur berminggu-minggu, berusaha memahaminya. Saya pasti bodoh sekali, selama ini mengerjakan riset dan melihat sebab akibat sebagai landasan logika untuk membangun karangan saya. Dalam mengarang itu, cuma imajinasi pengarang yang penting. Kita tidak boleh menghubungkan dunia nyata dengan fiksi. Karena begitu kata mayoritas, saya pindah haluan.
Beberapa hari kemudian saya baca sebuah cerita lalu tertegun pada sebuah plot. Tokoh A pingsan. Dokter tiba dalam 5 detik. Dalam sekejap dokter juga langsung menyimpulkan tokoh kesayangan saya itu kena anemia hanya dengan mengecek nadi. Kali lain saya baca sebuah cerita sejarah di zaman Victoria, sudah pakai infus plastik. Padahal ceritanya bahkan bukan kategori steampunk.
Saya pun bingung. Haruskah saya percaya pada cerita-cerita ini atau haruskah saya mencari tahu kaitan antara logika dan fiksi? Takut-takut disebut murtad dari kebenaran umum, diam-diam saya memohon pada Mbah Gugel membantu saya menemukan mentor-mentor mengarang yang berbicara tentang riset.
Saya sungguh terkejut. Mentor-mentor itu malah menyuruh pengarang meriset! Loh, kok? Saya bingung. Mau murtad bingung, mau bertahan juga bingung. Supaya tidak curhat, begini kira-kira kata mereka:
Fiksi memang cerita yang berlandaskan imajinasi pengarang. Anda memiliki 'kekuasaan' untuk membangun dunia, tokoh, dan jalan cerita. Namun, tidak semuanya bisa mengandalkan apa yang Anda pikirkan atau inginkan. Ada aspek-aspek yang harus Anda pahami dan hanya melalui riset bisa Anda pahami.
Contoh, tokoh Anda punya toko bunga. Pengetahuan seperti apa harus dimiliki si tokoh perihal dunia bunga dan bisnis? Pakaian dan peralatan seperti apa harus dimilikinya? Jargon-jargon apa yang diucapkannya ketika bertelepon dengan pemasok sebelum berbicara dengan tokoh yang sedang antri membayar? Contoh lain, tokoh Anda pindah ke Surabaya. Anda tidak pernah ke Surabaya. Bagaimana si tokoh akan menggambarkan panasnya Surabaya dibanding Jakarta atau jam berapa senja baru terasa di Surabaya dibanding Jakarta? Bahkan ketika Anda hanya bercerita tentang kota kecil tempat Anda tinggal, seberapa banyak yang benar-benar Anda ketahui?
Riset bisa dilakukan dengan beragam cara. Menjelajah internet, nongkrong di perpus, lihat film dokumenter, membaca karya orang lain dari genre yang Anda kerjakan, ngobrol, wawancara, baca koran atau majalah, peta, jalan ke galeri atau museum, dll.
Kapan kita melakukan riset? Tidak ada aturannya. Anda boleh melakukannya sebelum mengarang ataupun sambil mengarang. Yang penting, organisasikan temuan-temuan Anda agar mudah ditelusuri.
Begitulah inti wejangan para mentor tersebut. Kemudian saya pun berpikir-pikir, bagaimana kisah Holy Mother (Rikako Akiyoshi, bicara tentang medis), Bilangan Fu (Ayu Utami, bicara soal panjat tebing), Farewell to the Arms (Hemingway, perang dunia), Harry Potter (aturan main Quidditch) akan meyakinkan pembaca jika tidak ada logika di dalamnya? Rikako dan Ayu jelas-jelas berterima kasih pada narasumber mereka. Hemingway memang pernah ke Spanyol. Dan bayangkan kalau aturan Quidditch sekadar 'pokoknya ngegol, jangan tanya cara dapat poinnya bagaimana', dijamin pembaca Harpot akan kecewa.
Apa untungnya kita mengarang dengan logika? Pertama, Anda mendapat kredibilitas. Contoh, Rikako Akiyoshi dikenal sebagai penulis thriller yang selalu bisa mengangkat topik berbeda, tapi menjabarkannya cukup jelas untuk dipahami pembaca awam. Kedua, Anda terhindar dari kesalahan. Dengan begitu, pembaca merasa cerita Anda 'benar' dan 'dapat dipercaya'.
Dengan sekian banyak mentor yang saya baca tulisannya, digabung dengan analisis saya di atas, saya putuskan untuk terang-terangan kembali ke jalan logika. Tidak apa saya kembali bodoh. :) Pilihan ini bisa saya pertanggungjawabkan. Yang perlu diingat, saya maupun para mentor tersebut BUKAN meniadakan imajinasi. Sebuah cerita tetap mengutamakan imajinasi, tapi butuh riset dan logika, sekecil apa pun itu. Bagi saya pribadi, logika merupakan alat kontrol agar imajinasi tidak kebablasan. Jangan lupa, ketika cerita sampai di tangan editor, dia akan memeriksa segalanya termasuk logika cerita dan logika kalimat.
Tidak ada keharusan untuk ganti haluan dan mencicipi logika. Apapun yang Anda pilih adalah baik untuk Anda. :)
Nah, kalau ada yang ingin protes tentang tulisan ini, tolong protes pada para mentor langsung karena yang saya tulis hanya saripati tulisan mereka. Alamat masing-masing situs saya sertakan di bawah. Jangan khawatir, mereka memiliki ruang komentar, jadi silakan langsung tulis aspirasi Anda di sana, ya. :)
Terima kasih. Selamat berkarya.
Sumber bacaan:
http://authornews.penguinrandomhouse.com/creating-reality-in-fiction-writing
http://www.accomplishpress.com/why-fiction-writers-need-to-research/
http://www.writersdigest.com/editor-blogs/there-are-no-rules/how-to-research-your-novel
https://writersedit.com/fiction-writing/top-7-tips-researching-novel/
https://www.eschlerediting.com/how-logic-can-make-or-break-your-story/
http://ourhappyschool.com/journalism/importance-logic-writing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar