Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Feminisme dalam Sastra dan Film



Minggu lalu saya membahas film “Sucker Punch” dan “Stratosphere Girl”. Beberapa pekan sebelumnya saya membahas sedikit soal “The Handmaid’s Tale”. Dalam pembahasan kemarin, saya sempat menyerempet satu kali, menggunakan kata feminisme.

Kita sering menggunakan kata tersebut. Saat ini, kadang feminisme dijadikan olok-olokan, seolah-olah kesetaraan gender sudah bukan masalah atau perempuan malah dianggap kelewat menuntut persamaan. Kadang feminisme disamakan dengan lesbian dan antipria.

Untuk memahami feminisme modern, kita harus kembali ke tahun 1949, Prancis. Simone de Beauvoir, seorang feminis dan filsuf, menulis buku “The Second Sex”. Buku ini luncur 4 tahun setelah perempuan bisa ikut pemilu di Prancis. Isinya berbicara tentang perempuan yang dihukum karena seksualitasnya atau dijadikan objek. Misalnya, perempuan dituduh penyihir karena cantik. Perempuan dibenci karena dianggap terlalu menggoda, terlalu menggairahkan, atau malah tidak menggairahkan sama sekali. Bahkan, kadang seksualitasnya dianggap sebagai ancaman (too sexually threatening). Perempuan dituntut untuk melahirkan, mengerjakan tugas domestik, dan tinggal di rumah. Ketika kembali bekerja, di masa itu, upahnya tidak memadai dan pekerjaannya hanya paruh waktu.

Namun, mungkin kita harus mundur sedikit lagi. Gerakan feminisme (modern) saat ini sudah pada gelombang keempat. Gelombang pertama fokusnya pada kesetaraan dan harus ditarik mundur ke abad 19—20 awal. Pada masa tersebut, perempuan menuntut bisa ikut memilih dalam politik, misalnya di Inggris dan Amerika. Ketimbang di Indonesia yang relatif tenang dengan Kongres Wanita yang kemudian kita sebut Hari Ibu (belum bicara soal hak memilih), tuntutan di Amerika dan Inggris mendapat reaksi negatif yang disertai tekanan dan penangkapan. Situasi ini, cukup ditangkap oleh film “Iron Jawed Angels” (meski beberapa plotnya fiktif). Puncaknya, pada tahun 1920, Kongres Amerika meloloskan Amendemen ke-19 yang memberi hak pada wanita untuk memilih. Amendemen ini menjadi pencapaian besar dalam gerakan pertama.

Jika kita kembali pada pandangan Simone de Beauvoir, saya rasa film “Mona Lisa Smile” contoh yang tepat. Film yang dibintangi Julia Robert dan Kirsten Dunst ini merupakan contoh kehidupan tahun 1950-an sebelum gelombang kedua feminisme datang. Dalam film ini, perempuan diharapkan berkeluarga lalu tinggal di rumah dan mengurus suami. Sekolah tinggi tidak perlu. Pencitraan domestikasi sangat penting, bisa dilihat pada iklan dan pin-up yang populer saat itu.

Tahun 1963, buku “The Feminine Mystique” karya Betty Friedan terbit. Betty menentang seksisme yang mengajarkan bahwa perempuan itu tempatnya di rumah dan jika mereka tidak bahagia sebagai istri (ibu rumah tangga), itu karena mereka yang rusak dan salah. Namun, menurutnya, kesalahan itu tak sepenuhnya ada pada wanita, tetapi pada dunia yang menolak perempuan mengekspresikan kreativitas dan intelektualitasnya.

Menurut Constance Grady, penulis di Vox.com, “The Feminine Mystique” tidak revolusioner dari segi ide. Namun, bagaimana buku itu terjual 3 juta kopilah yang membuatnya luar biasa. Boleh dibilang buku ini sampai di tangan para ibu rumah tangga, lalu diteruskan ke teman-teman mereka, dan begitulah rantainya memanjang. Buku ini membangkitkan kesadaran tambahan, bukan hanya kesetaraan politik, tetapi perempuan juga butuh kesetaraan sosial yang selama ini memarjinalkan perempuan sebagai pelengkap dan tugasnya cukup di rumah. Puncaknya pada pengakuan, secara teori, terhadap kesenjangan gaji, hak untuk menggunakan pengendali kehamilan (tahun 60—70-an) baik untuk yang menikah maupun yang tidak, termasuk persoalan KDRT, marital rape (perkosaan yang dilakukan pasangan menikah), dll.

Buku dan film “The Stepford Wives” pertama kali terbit tahun 1972, ditulis oleh Ira Levin (pria, lho!) kemudian dibuat versi filmnya tahun 1975. Film ini, seingat saya, juga menginspirasi Jordan Peele dalam mengerjakan “Get Out”. Dianggap sebagai novel sci-fi satir, sementara filmnya masuk kategori horor, “The Stepford Wives” bercerita mengenai perempuan sudah bisa bekerja (melampaui ekspektasi Simone de Beauvoir), tetapi perempuan penurut yang lebih dipilih (kembali ke permasalahan gelombang kedua feminisme). Suami-suami di daerah Stepford menganggap istri sebagai dekorasi (trophy wife). Saya rasa cerita ini cukup mewakili tema feminisme tahun ‘70-an.

Tahun 1980-an, Amerika dipimpin oleh Reagen yang konservatif. Feminisme saat itu dianggap membosankan dan “lebay”. Ada anggapan kalau perempuan yang tak bahagia, pembenci pria, dan kesepian itu pasti feminis. Pandangan ini menghantui sampai sekarang, tetapi sekaligus menjadi dasar kebangkitan feminisme gelombang ketiga.

Sebelum bicara tentang gelombang ketiga, saya singgung sedikit bahwa “The Handmaid’s Tale” terbit tahun 1985. Isinya secara garis besar membahas hak reproduksi, ‘objektifikasi’ perempuan, dan kekuasaan negara. “The Handmaid’s Tale” telah dibuat versi film (1989), balet; terakhir jadi serial dan versi novel grafis (atau komik) akan terbit.

Gelombang ketiga terjadi tahun 1991. Tidak terlalu jelas sebenarnya batasan gelombang kali ini. Namun, menurut artikel Grady, salah satu pencetusnya adalah kasus Anita Hill yang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Gambaran kasus ini lumayan jelas dalam film “Confirmation”, produksi HBO, tahun 2016.

Jika gelombang kedua lebih menginginkan ‘perempuan’ (woman), gelombang ketiga merangkul para gadis (girl). Grup band The Riot Grrrl secara estetis dianggap sebagai pencetus lain dari gelombang ini. Mereka marah karena cewek dianggap bodoh, jahat, dan lemah (dumb, bad, weak). Namun, landasan gelombang ini masih kurang kokoh.

Gelombang keempat, jika memang kita sekarang berada pada fase keempat, adalah sekarang. Momentumnya dimulai sejak gerakan #MeToo dan Time’s Up dicetus. Gerakan ini, lagi-lagi, mewakili soal pelecehan seksual di tempat kerja di kalangan aktris yang bekerja dengan Harvey Weinstein yang kemudian juga menyeret sederet nama pesohor lain. Meski populer lewat internet pada tahun 2017 dan menjadi gerakan internasional, gerakan atau istilah Me Too sebenarnya sudah ada dari tahun 2006. Tarana Burke mencetusnya sebagai upaya penyadaran atas kekerasan seksual yang dialami perempuan kulit warna.

Gelombang keempat sepertinya lebih didominasi aktivitas dunia maya. Terbukti #MeToo yang diawali di Twitter segera mendapat respon. Gelombang ini juga bersikap lebih terbuka terhadap body positive. Namun, gelombang keempat pun menghadapi cobaan. Masalah kesenjangan gaji antara perempuan dan pria, kekerasan domestik dan seksual masih terjadi, pandangan terhadap kecantikan, bahkan persamaan hukum belum sepenuhnya tercapai.

Penutup

Tidak mungkin saya menulis terlalu rinci. Dalam tulisan ini saya hanya mengangkat garis besar berdasarkan periodenya saja. Masalah feminisme jauh lebih banyak. Saya belum menyentuh permasalahan ras dan etnis, misalnya.

Karangan dan film lokal yang berpihak pada perempuan juga tidak terlalu banyak. Saya pikir, Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami boleh dibilang sebagai penulis feminis dan kemungkinan besar mewakili gelombang ketiga. Sementara itu, N.H. Dini bisa disebut sebagai generasi gelombang kedua. Menariknya, Gusti (situs UGM) menderetkan Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Wijaya, dan Pramoedya A. Toer sebagai novelis yang cukup feminis juga.

Kemudian, apakah masalah perempuan murni harus diselesaikan oleh perempuan saja? Kembali pada Simone de Beauvoir, menurutnya ‘masalah perempuan’ (the woman problem) sebenarnya ‘selalu masalahnya laki-laki’ (always problem of man).

Sebagai penutup, saya kutip kata pengantar yang ditulis Margaret Atwood tahun 2017 pada terbitan baru “The Handmaid’s Tale” untuk menjawab pertanyaan apakah buku ini sebuah buku feminis. Saya terjemahkan secara bebas:


Jika maksud Anda sistem ideologi yang mana semua perempuan adalah malaikat dan/atau menjadi korban tanpa pilihan moral, [jawabannya] tidak. Jika Anda maksud sebagai sebuah novel yang mana perempuan adalah manusia—dengan keragaman karakter dan tingkah laku yang tersirat—juga menarik dan penting, dan apa yang terjadi pada mereka krusial terhadap tema, struktur, dan plot dalam buku, [jawabannya] ya.
(Halaman XII)

Narasumber:

“What would Simone de Beauvoir make of #MeToo?”
BBC.  Narasi oleh Beatrix Campbell (writer and broadcaster). 26 Maret 2019. Akses 26 Maret 2019
https://www.bbc.com/ideas/videos/what-would-simone-de-beauvoir-make-of-metoo/p074jgtp

“Rebecca Walker on Third Wave Feminism | All About Women 2018”.
Sydney Opera House Talks & Ideas. 6 Maret 2018. Akses 26 Maret 2019.
https://youtu.be/dQKgJ1PJzBs

“The waves of feminism, and why people keep fighting over them, explained” oleh Constance Grady. 20 Juli 2018. Akses 6 April 2019
https://www.vox.com/2018/3/20/16955588/feminism-waves-explained-first-second-third-fourth

“Iron Jawed Angels”. Akses 6 April 2019.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Iron_Jawed_Angels

“Mona Lisa Smile”. Oleh Roger Ebert. 19 Desember 2003. Akses 6 April 2019.
https://www.rogerebert.com/reviews/mona-lisa-smile-2003

“Confirmation”. Wikipedia. Akses 8 April 2019.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Confirmation_(film)

Me Too Movement. Akses 8 April 2019.
https://metoomvmt.org/

“Me Too Movement”. Wikipedia. Akses 8 April 2019.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Me_Too_movement

“Everything you wanted to know about fourth wave feminism—but were afraid to ask” oleh Jessica Abrahams, Prospect Magazine, 14 Agustus 2017. Akses 8 April 2019.
https://www.prospectmagazine.co.uk/magazine/everything-wanted-know-fourth-wave-feminism

“Empat Penulis Novel Feminis Indonesia” oleh Gusti, 23 Oktober 2012. Akses 8 April 2019.
https://ugm.ac.id/id/berita/4622-empat.penulis.novel.feminis.indonesia

“6 Penulis Novel Perempuan Indonesia dan Karya Mereka yang Legendaris” oleh Nadia Fauzia. 6 Maret 2018. Akses 14 April 2019.
https://blog.gotomalls.com/2018/03/6-penulis-novel-perempuan-indonesia/amp/

“The Handmaid’s Tale” oleh Margaret Atwood. Penerbit Vintage, London, cetakan 2017.

Pencarian Artikel

Entri yang Diunggulkan

Samurai Seven: Siapa Pemenang Sebenarnya

Inilah salah satu cerita terbaik yang pernah saya tonton. Baik versi asli maupun anime sangat menarik. Seven Samurai (1954) memiliki be...

Artikel Terpopuler Minggu Ini