
*Artikel ini dibuat untuk grup kepenulisan yang mempersiapkan diri mengadakan simulasi debat. Pengetahuan saya tentang semiotika masih terbatas. Tulisan saya hanya berdasarkan pada pemahaman saya terhadap dua buku yang saya jadikan acuan.
Sebelum lebih jauh kita bicara tentang 'simulasi debat', perlu kita kuasai dulu hal-hal yang menjadi dasar perdebatan itu sendiri: kemampuan membaca pesan teks, kemampuan memahami isi teks, dan kemampuan menyikapi teks.
Dalam banyak 'debat kusir', pembicara dan penjawab sering tidak menguasai teks. Akhirnya perdebatan pun melantur. Jika kehabisan bahan, yang diserang bukan lagi teks yang jadi perdebatan, melainkan orangnya (ad hominem).
Di lain perdebatan, banyak orang tidak bisa membedakan pesan yang apa adanya, pesan berupa hinaan, pesan yang bernada satir, ataupun pesan dibalut sarkas. Sebagai contoh, ketika orang membuat berita sarkas, seringkali berita itu tidak dipahami dan langsung dianggap benar; disebarkan atau malah dicaci maki. Ketika disebar tanpa proses renungan, teks tersebut menjadi 'berita hoax' dan banyak sekali orang yang termakan karena membagi jauh lebih penting daripada menganalisa.
Jadi, bagaimana kita harus bersikap terhadap teks?
Berdasarkan pengalaman pribadi, menyandarkan diri pada semiotika membuat saya lebih netral dalam melihat pesan dari sebuah teks.
SEMIOTIKA merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. TANDA adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Contoh: 'lampu' adalah objek yang membantu penerangan atau pencahayaan. 'Tanda silang' untuk menyatakan salah atau dilarang melakukan sesuatu. 'Ayam berkokok' menandakan pagi. 'Mimpi gigi copot' dipercaya sebagai tanda orang meninggal. Jadi tanda tidak harus berupa benda, tapi bisa saja berupa kata, gambar, bunyi, bau, perbuatan, rasa, dan bahasa. Pada dasarnya, semua yang ada di alam adalah tanda.
Dengan demikian, tanda menjadi alat komunikasi. Namun, tanda baru bisa menjadi benar-benar tanda jika diberi MAKNA. Dalam model komunikasi Jakobson, komunikasi melibatkan enam unsur:
1. Pengirim
2. Konteks, Pesan, Kontak, Kode
3. Penerima.
Dalam bukunya, Nazaruddin menjelaskan: PESAN dikirim oleh PENGIRIM. Agar pesan sampai, dibutuhkan KONTAK antara pengirim dan PENERIMA. Pesan harus dikemas berdasarkan suatu KODE dan mengacu pada KONTEKS tertentu agar dapat diartikan.
(Konteks: uraian atau kalimat yang menambah kejelasan makna - KBBI)
Jadi, apa itu KODE?
Agar pesan sampai, penandaan dilakukan dengan proses seleksi dan kombinasi kata. Ada tiga kelompok kode:
1. Kode sosial:
- bahasa verbal,
- kode tubuh (kontak badan, penampilan fisik, ekspresi wajah, anggukan, tatapan, gerak tubuh),
- kode komoditas (tata busana, mobil, aksesori), dan
- kode perilaku (upacara, protokol, main-peran)
- Kode keilmuan, misalnya matematika
- Kode estetika dalam seni
- Kode stilistik dan retorik jenis karangan: eksposisi, argumen, deskripsi, dan narasi
- Kode media massa seperti fotografi, film
- Kode perseptual
- Kode ideologis
- Kode interpretif mencakup berbagai '-isme'.
Kembali ke model komunikasi Jakobson, jika pengirim dan penerima tidak ada, teks menjadi tidak punya makna. Ia sekadar kata. Jika pengirim memberi kode, tapi penerima tidak menangkap, teks selesai di sana sebagai objek belaka. Bisa pula pengirim tidak memberi tanda, tapi penerima menganggap ada tanda di dalamnya (terjadi miskomunikasi).
Contoh: G berkata, "Hari ini panas, ya." Jika H tidak melihat kalimat itu mewakili hal lain, selesai di sini. Namun, jika H melihat G berkipas sambil memegang leher, H mungkin menganggap itu tanda si G meminta minum.
Contoh lain, kata monyet tidak punya makna apa-apa sebagai kata. Monyet adalah nama benda. Benda itu hewan yang disebut monyet. Namun, ketika pengirim menjerit, "Monyet!" kepada penerima, penerima boleh jadi menganggapnya sebagai tanda kalau si pengirim pesan marah karena berteriak atau sedang menghina dirinya.
Dengan memahami bahwa kata adalah kata, tidak bermakna tanpa penandaan, tanpa pengirim dan penerima, kita bisa memakai konsep ini untuk bersikap TENANG dalam perdebatan. Lepaskan diri dari siapa yang mengirim pesan. Berikan waktu pada diri kita sendiri untuk mencerna teks yang disampaikan. Pahami. Jika belum paham, baca ulang teks tersebut. Setelah itu baru dilihat apakah menurut kita si pengirim memang memberi sinyal tertentu atau tidak. Jika ya, perlukah kita tanggapi dengan energi negatif? Tentu jawabannya tidak.
Yang saya tulis di sini merupakan langkah paling awal dalam menghadapi perdebatan. Semiotika sendiri menjadi landasan bagi banyak ilmu, termasuk sastra.
Semoga catatan ini membatu.
Narasumber:
1. Kahfie Nazaruddin. Pengantar Semiotika. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta, 2015.
2. Dr. Dwi Susanto, S.S., M. Hum. Pengantar Kajian Sastra. Center for Academic Publishing Service. Yogyakarta, 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar