Tilik: Film yang Berbahaya

 

 

Melawan opini umum, saya merasa film Tilik membosankan. Ini contoh cerita yang terlalu mengandalkan dialog yang jadi 'tell, not show', minim konflik, hampir tidak ada progres plot, dan ada plot hole. Tentu pendapat saya bukan pendapat populer (unpopular opinion).


Sebelum sampai pada postingan ini, saya sempat mencari tahu apakah penafsiran saya soal ending benar (Dian memang 'main dengan om-om', tepatnya jadi pacar Pak Lurah). Setelah dikonfirmasi, saya berkesimpulan film ini berbahaya.

Kita balik dulu ke soal membosankan.
1. Mengandalkan dialog.
Tidak semua orang bisa seperti Tarantino. Tarantino bisa bikin dialog soal lagu Madonna (film Reservoir Dogs) dan obrolan ini gak membawa ke mana-mana selain sebuah introduksi cerita. Namun, obrolan ini menarik karena bersifat interpretasi, filsafat, dan berbenturan dengan topik lain yaitu soal ngasih tip ke pelayan dan soal daftar nama. Ada tiga hal dibicarakan secara simultan oleh sekian banyak tokoh. Meski seperti tidak punya makna, obrolan ini memberi pemahaman awal tentang beberapa tokoh dan nilai yang masing-masing mereka anut.

Film yang hanya mengandalkan dialog kalau tidak digarap dengan cermat, mudah membosankan karena biasanya bersifat telling (memberi tahu). Ini yang terjadi dengan Tilik. Semua pengetahuan kita soal Dian hanya lewat gosip. Kita mendapat gambaran karena Bu Tejo memberi tahu. Belum lagi ada 'ceramah' soal gosip tidak baik dan fitnah. Khas sinetron. Film dan buku lokal belum bisa keluar dari sifat menggurui.

Kenapa dialog-dialog film Tarantino dan film lain seperti Closer, Crash, bahkan In The Mood for Love terasa enak? Karena ada gaya film di situ. Obrolannya lancar, tapi ada kesan bahwa ini bukan obrolan yang real (misalnya ada pengulangan kata, ada pertanyaan yang dibalas pertanyaan, ada panjang pendeknya, ada tempo dan tonasi). Sementara dialog dalam Tilik masih sama dengan sinetron. Realistis. You don't get the beauty of film dialog.

Lima menit pertama, cerita Tilik masih ok. Saya langsung drop setelah adegan break di musholla (satu-satunya momen diam dan transisi dengan sinematografi yang cukup baik) mereka kembali bicara soal Dian. Pertama karena lagi-lagi mereka hanya memberi tahu. Kedua, karena memberi tahu, tidak terjadi progres. Di ending, si Bu Tejo cuma memuji-muji di depan Dian. Tidak ada konflik. Tiga puluh menit cerita tidak ada konflik.

Tadinya saya berharap bahwa obrolan Bu Tejo ingin suaminya jadi lurah bisa menimbulkan konflik. Ternyata juga tidak.

Bahkan adegan Dian dan Pak Lurah juga tidak cocok disebut konflik. Dian cuma memberi tahu tentang perasaan dan keinginannya.

2. Tidak ada plot
Perhatikan. Semua tokoh hanya MEMBERI TAHU. Namun, tidak satu orang pun maju untuk menghadapi konflik. Tidak seorang pun berani mengkonfirmasi pada Dian. Tidak ada plot utama dalam cerita ini. Semua kejadian (muntah, kebelet pipis, ditilang) hanya situasi sekunder yang kalaupun tidak terjadi, cerita tetap berjalan. Mereka tetap akan sampai ke rumah sakit, Bu Lurah tetap di ICU, dan tidak seorang pun akan mengkonfrontasi Dian.

3. Tokoh flat
Kenapa tidak ada konflik? Karena tokohnya tidak digarap. Semua tokoh tetap dengan pendirian masing-masing. Tidak seorang pun mengalami perubahan jadi lebih baik ataupun lebih buruk.

Bandingkan dengan sebuah film pendek (saya lupa judulnya) bergaya Orwellian. Di sebuah sekolah seorang guru berkata 2+2=5. Mulanya anak-anak menolak. Setelah ketua OSIS dan jajaran otoriternya masuk dan membunuh satu murid, baru kelas itu menerima 5 sebagai jawaban. Namun, ada satu anak yang sudah menulis 5 di bukunya, tertegun, lalu menggantinya jadi 4. Lihat bahwa dengan sinopsis sependek ini saya bisa memperlihatkan konflik dan bagaimana satu tokohnya dinamis (mengalami perubahan).

4. Pesan moral bermasalah
Kalau melihat ending-nya, saya menangkap pesan moralnya begini: bergosip itu baik dan terbukti benar.
Ada kesan penulis skenario berusaha membuat plot twist, tetapi saya tidak melihat ini plot twist. Saya lebih melihat ending-nya sebagai konfirmasi semua perkataan Bu Tejo benar. Padahal penonton tahu cara Bu Tejo salah. Namun, dengan ending seperti ini, tentu penonton dipaksa menerima 'kenyataan'.

Yang berbahaya sih, kalau penontonnya dari grassroot sampai menengah, ya. Film alat propaganda yang mudah dicerna karena ada bahasa visual dan audio. Karena ending-nya seperti ini, bagi kalangan tersebut bisa diartikan bahwa gosip itu baik dan informasi dari internet lebih banyak yang benar, jadi tidak perlu disaring. Kesimpulan ini malah jadi berlawanan dengan usaha di awal cerita bahwa gosip itu buruk dan informasi perlu disaring.

Sejujurnya, cerita ini cukup 10 menit dengan catatan ending harus berbeda. Saya setuju film ini memperlihatkan watak orang Indonesia yang tukang gosip. Namun, saya tidak setuju dengan epilog film ini.  Sebagai penonton saya merasa dibodohi.

2 komentar:

  1. Halo, kak. Saya baru saja habis menonton film ini. Dalam beberapa poin aku sependapat mengenai ceritanya yang lumayan membosankan. Okelah jika bahas soal Dian hanya satu kali di awal saja. Ini dibahas sampai akhir tanpa adanya konflik yang jelas. Soalnya ceritanya hanya berputar obrolan dari Bu Tejo sampai-sampai penokohannya dan oranh disekitarnya nggak ada. Terlebih soal endingnya yang menurutku gagal ngetwist. Soalnya apa yang disampaikan sudah jelas lagi gamblang. Aku harap, filmnya berakhir dengan ditampilkannya judul, jadi nggak perlu adanya scene tambahan soal Dian dan Pak Lurah. Terlebih, menurutku menyoal Dian dan Pak Lurah ini yang lebih cocok dijadikan cerita daripada obrolan ibu-ibu bergosip yang terbukti benar.

    Aku kurang paham apa yang ingin disampaikan melalui film ini selain pengambilan gambar, sinematografinya benar-benar keren. Sayangnya ceritanya yang begitu, jadinya film ini nggak ada kesan sama sekali. Sekali tonton ya sudah, beres.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Akhirnya memang jadi ambigu.

      Hapus

Pencarian Artikel

Entri yang Diunggulkan

Samurai Seven: Siapa Pemenang Sebenarnya

Inilah salah satu cerita terbaik yang pernah saya tonton. Baik versi asli maupun anime sangat menarik. Seven Samurai (1954) memiliki be...

Artikel Terpopuler Minggu Ini